Chapter 5 - Guru Wayujeno

"Kau tidak memberi salam pada Ayah, Dwika?" tanya Kakang Sanggeni dengan ekspresi tidak ramahnya.

Kakang Sanggeni pasti masih marah dengan kejadian sebelumnya soal aku menampar Raden Banyu Biru. Aku sudah menjelaskan semuanya, bahkan Raden Banyu Biru saja sudah memaafkan aku, tetapi Kakang Sanggeni masih saja marah.

"Kakang, jangan seperti itu pada Dwika. Mungkin, Dwika lupa, jangan kasar padanya." Mbakyu Roro Ageng yang baik hati membelaku.

Beruntung aku memiliki kakak perempuan seperti Mbakyu Roro Ageng yang selalu membelaku. Selain cantik, Mbakyu Roro Ageng juga bijaksana dalam menilai sesuatu.

"Sanggeni, apa sebenarnya yang membuatmu bersikap seperti itu pada adikmu. Tidak biasanya kau terlihat marah padanya?" tanya Ayah pada Kakang Sanggeni.

"Ayah, Dwika baru saja menampar Raden Banyu Biru. Padahal Raden Banyu tidak salah apa-apa."

Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak membela diri. Aku tahu bahwa aku salah. Dijelaskan sejelas apapun juga tidak akan ada yang mengerti kenapa aku melakukan hal itu.

"Sanggeni, adikmu ini baru saja hidup kembali. Tolong pahamilah dia, mungkin ia tidak berniat buruk," ucap Ibu seraya tersenyum padaku. Sesaat senyum Ibu membuatku merasa benar-benar ada di rumah sendiri. Jika boleh diungkapkan, aku ingin sekali mengatakan betapa rindunya aku pada Ibu walau yang tersenyum padaku saat ini bukanlah Ibu kandungku.

Kakang Sanggeni masih menatapku. Namun, kali ini raut wajahnya tidak terlihat marah. Mungkinkah artinya dia sudah memaafkan aku?

"Kakang, maafkan aku ... sungguh tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakiti Raden Banyu Biru atau membuat Kakang malu. Aku kira Raden Banyu Biru adalah orang lain yang kukenal, tapi nyatanya semua tidak seperti pikiranku." Aku menundukan kepala untuk menunjukan rasa bersalahku.

Kakang Sanggeni berdiri dan berjalan ke arahku. Saat tepat berdiri di depanku, pria tiba-tiba tersenyum seraya memelukku erat. Ini kali pertama aku merasakan dipeluk oleh seorang kakak. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal ini karena aku adalah anak tunggal.

"Dwika, Kakang minta maaf padamu. Harusnya kakang lebih bijak dari Raden Banyu Biru yang bisa memaafkan kesalahanmu," ucap Kakang Sanggeni saat melepas pelukannya dariku. "Kau mau maafkan kakang, Dwika?" lanjut pria yang berdiri di depanku.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, hanya pelukan padaku Kakang Sanggeni yang bisa kulakukan sebagai jawaban atas permintaan maafnya.

Di sini aku punya orang tua yang lengkap, kakak laki-laki yang baik serta kakak ipar yang selalu perhatian padaku. Mereka semua juga sangat tulus. Mungkinkah semua ini keberuntungan?

Di tengah raaa bahagiaku, Ayah berdeham dengan keras dan membuyarkan suasana. Aku baru ingat, aku datang ke sini karena Ayah memanggil dan sejak tadi sama sekali tidak ada hal penting yang Ayah katakan.

"Duduklah, Nak," pinta Ayah sambil menunjukan sebuah kotak kayu untuk duduk yang berada tepat di samping Mbakyu Roro Ageng duduk.

Perasaan cemas memghampiri lagi, apalagi raut wajah Ayah tampak serius dari sebelumnya, bahkan sekarang tanganku sedikit gemetar.

Kulangkahkan kaki mendekat untuk duduk di tempat yang Ayah tunjukan. Perasaan cemasku bertambah saat semua orang benar-benar fokus menatapku.

Sebenarnya ada apa ini?

"Dwika, besok, Guru Wayujeno akan datang untuk menengokmu. Dia ingin melihat bagaiamana keadaanmu," jelas Ayah tentang tujuannya memanggilku.

"Guru Wayujeno?"

"Iya, Nak. Kenapa, apa kau merasa ada yang aneh? Kenapa sepertinya kau tidak mengenali Guru Wajuno?"

Aku harus jawab apa sekarang? Aku tidak mungkin mengatakan tidak mengenal sosok Guru Wayujeno, mereka  semua akan merasa aneh padaku.

"Tidak, Ayah. Aku mengenal Guru Wayujeno, hanya saja banyak hal yang membuatku bingung setelah hidup kembali. Pirikan kacau dan kadang melupakan sesuatu." Semoga saja alasanku ini tepat. Aku kan tidak mungkin mengatakan bahwa diriku ini dalah Sekar Arum bukan Dwika Arum.

"Ayah mengerti, Dwika. Sekarang istirahat saja agar dirimu lebih baik." Ayah tersenyum padaku. Senyumnya sama dengan Ayah kandungku. Pria yang kusebut Ayah di sini membuat rindu pada Ayah kandungku terobati.

Sesuai perintah, aku kembali ke kamar. Pikiranku masih fokus pada Guru Wayujeno. Siapa sebenarnya dia? Apa dia orang yang penting? Atau ... mungkin dia hanya kerabat Ayah?

Tunggu ... untuk apa aku bersusah payah memikirkan siapa Guru Wayujeno? Aku kan bisa bertanya pada Laksmi dan Widuri. Keduanya pasti bisa menghilangkan rasa penasaranku.

"Laksmi, Widuri," panggilku pada kedua pelayan yang selalu bersamaku. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang jawab. Ke mana mereka pergi? Biasanya mereka selalu ada setiap kupanggil.

Rasa bosan menghampiriku, andai ada ponsel di sini, aku pasti bisa menghilangkan rasa bosan ini.

Tiba-tiba terlintas lagi wajah Raden Banyu Biru dalam pikiran. Tatapan laki-laki itu seperti tatapan Dewa saat pertama kali aku dan dia berjumpa. Aku ingat hari itu, pertemuan tidak terduga terjadi di sebuah kafe.

Aku melihat Dewa sedang bermain gitar sambil menyanyikan lagu yang liriknya sangat romantis. Beberapa wanita yang ada di kafe itu membawa bunga satu tangkai bunga mawar merah lalu satu persatu mereka memberikan bunga-bunga itu pada Dewa.

Dewa bak pusat perhatian dan dia pun terlihat suka dengan para perempuan yang memberinya bunga. Namun, semua itu terlihat di awal saja. Saat di belakang ia malah memberikan semua bunga yang dia dapat padaku.

Bunga-bunga itu adalah benda pertama yang seorang laki-laki berikan padaku, jadi aku sangat senang terlebih lagi wajah Dewa yang tampan membuatku tambah bahagia.

"Raden Ayu." Panggilan itu membuyarkan kenangan yang sedang kuingat kembali.

Rupanya Widuri yang memanggil sambil membawa beberapa tumpukan kain jarit. "Raden Ayu, ini jarit-jarit baru. Aku akan simpan. Raden Ayu pilih satu untuk digunakan besok, ya?" lanjut Widuri sambil merapikan jarit-jarit yang ia bawa.

"Kenapa jarit baru? Bukankah ada jarit lama yang bersih?"

"Raden Ayu, bukankah Raden Ayu akan bertemu Guru Wayujeno?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Widuri. Aku makin penasaran siapa sebenarnya Guru Wayujeno. Apa dia orang yang sangat penting hingga aku harus berpakaian serba baru dan rapi?

"Widuri, siapa sebenarnya Guru Wayujeno?" tanyaku yang sudah sangat penasaran dengan sosok Guru Wayujrno.

"Raden Ayu lupa?" tanya Widuri seraya menghampiri dan duduk di hadapanku.

"Bukan lupa, pikiranku kacau, Widuri. Kau tahu, sulit rasanya mengingat beberapa hal setelah aku hidup kembali."

"Kasihan sekali, Raden Ayu." Widuri mengelus-elus tanganku menunjukan perhatiannya.

Aku tersenyum pada Widuri. Entah itu Laksmi atau Widuri, aku selalu merasa tenang jika mereka sudah memberikan perhatian seperti ini. Rasanya kehidupanku di sini akan baik-baik saja jika mereka bersamaku.

"Raden Ayu, Guru Wayujeno itu adalah kakang seperguruan ayah Raden Ayu. Guru Wayujeno ini bukan orang biasa, beliau bisa melihat sesuatu yang lain dari orang lain."

"Maksudmu, beliau punya sixth sense?"

Seketika Widuri menunjukan ekspresi bingungnya. Oh, aku lupa, lagi-lagi berbicara hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang di sini.

"Sik-sik apa, Raden Ayu?" tanyanya polos.

Aku ingin tertawa saat mendengarnya. Namun, kucoba tahan.

"Bukan apa-apa, lupakan. Maksudku, beliau ini orang sakti?"

"Benar, Raden Ayu. Guru Wayujeno adalah orang sakti."

Mendengar penjelasan Widuri, aku makin penasaran dengan sosok Guru Wayujeno dan apa tujuan sebenarnya datang menemuiku. Apa hanya untuk menjenguk?