Aku masih terpaku dengan keadaan ini. Benarkah aku berada di masa kerajaan Singasari? Bagaimana bisa?
Kutatap wajahku di cermin, penampilan serta wajah pucatku sungguh tidak biasa. Rasanya memang benar-benar diriku ini bangkit dari kematian, tetapi kenapa harus di tempat ini dan di tubuh gadis ini. Wajahnya juga sangat mirip denganku, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Keberuntungan atau karma?
"Raden Ayu," panggil seseorang dari arah belakang. Kuputar pandangannku pada wanita yang memanggil. Rupanya wanita bertubuh kurus yang memanggil. "Raden Ayu kenapa?" tanyanya saat menghampiriku yang masih duduk di depan cermin.
"Siapa namamu tadi? Lalu ... aku harus panggil apa? Kau kan lebih tua dariku."
Bukannya menjawab pertanyaanku, wanita bertubuh kurus itu malah tertawa kecil seolah pertanyaanku adalah sebuah lelucon yang patut ditertawakan, ditambah lagi wanita bertubuh gemuk juga menertawaiku.
"Raden Ayu, namaku Laksmi dan yang kurus ini Widuri. Kami ini pelayan Raden Ayu. Jadi, Raden Ayu hanya perlu memanggil kami dengan nama, tidak perlu yang lain," jawab wanita bertubuh gemuk.
Apa tidak apa-apa jika aku memanggil merek dengan nama, jika di masa depan itu dianggap tidak sopan, tetapi ... ini masa lalu, mungkin memang sudah seharusnya seperti itu. Lebih baik aku jalani saja kehidupan ini, lagi pula mau pergi pun tidak bisa.
"Baiklah, Laksmi, Widuri. Aku mau tanya. Sebenarnya apa yang terjadi hingga aku mengalami hal ini? Maksudku ... bagaimana aku mati sebelumnya." Aku mencoba mencaritahu, mungkin jawabannya aku membuatku mengerti bagaimana bisa diriku ada di tempat ini.
Tidak ada yang menjawab, keduanya terlihat ragu. Entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, yang jelas sesekali mereka saling tatap seolah meminta satu sana lain menjawab pertanyaanku yang tidak kunjung dijawab.
"Kenapa diam?" Aku agak memaksa kali ini.
Mereka masih sama, diam dan hanya saling tatap. Entah apa yang srbemarnya sedang mereka pikirkan, hanya saja aku yang di sini sudah sangat penasaran.
"Jika tidak mau jawab, biar aku tanya yang lain," ancamku seraya beranjak dari depan cermin rias. Sontak kedua pelayan itu menghalangiku dengan dan mengatakan bahwa mereka akan menjelaskan semua yang mereka tahu.
Untunglah, ancamanku berhasil, lagi pula bertanya pada yang lain pun hanya akan membuatku bingung. Baiklah, mari dengarkan penjelasan mereka.
Aku kembali duduk di depan cermin rias. Namun, kali ini aku berhadapan langsung dengan dua wanita yang mengaku sebagai pelayan setiaku itu.
"Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya, Raden Ayu. Yang jelas salah satu pelayan laki-laki di sini menemukan Raden Ayu di bawah jurang yang cukup dalam. Di hutan dekat desa ini. Saat itu, kami melihat sendiri, bagaimana para pelayan saling membantu untuk mengangkat Raden Ayu yang sudah tidak bernyawa ke atas," jelasnya Laksmi sambil meneteskan air mata.
Aku jatuh ke sungai, sedangkan Dwika jatuh ke jurang. Apa dia juga bunuh diri--sama seperti yang aku lakukan? Jika iya, apa masalah yang dia punya? Aku rasa tidak ada yang tidak menyayanginya di sini. Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Dwika, mungkin nanti aku akan menemukan jawaban kenapa diriku bisa terbangun di masa lalu seperti ini.
Jika aku ada di sini, itu artinya ... aku yang di masa depan pasti mati. Apa akan ada yang menangisi kepergianku? Aku rasa tidak. Mereka meninggalkan aku dalam kesendirian yang menyedihkan.
"Raden Ayu, Raden Ayu tidak haus? Sejak tadi Raden Ayu berlarian, pasti haus. Mau diambilkan air?" Tawaran Widuri membuatku tiba-tiba haus. Benar juga, sejak aku bangun sama sekali belum minum apapun.
"Boleh, tolong ambilkan."
Widuri bergegas pergi meninggalkanku dan Laksmi yang sedang memijat tanganku. Sebenarnya sedikit risih. Namun, wanita bertubuh gemuk ini memaksa. Jadi, aku terima saja, lagi pula pijatannya membuatku nyaman.
Jika dipikir lagi, ada enaknya jadi Dwika, keluarga lengkap dan punya pelayan khusus seperti Laksmi dan Widuri, berbeda sekali denganku yang hidup sendiri setelah kepergian Ayah. Aku punga Tante Gina, tetapi wanita itu tidak peduli padaku.
"Ini airnya, Raden Ayu." Widuri memberikanku semangkuk air untuk minum. Rasanya segar sekali. Secara tidak sadar, semua orang di sini membuatku panik hingga melupakan rasa haus.
"Terima kasih, ya," ucapku setelah menghsbiskan air yang Widuri bawa.
"Itu sudah tugasku, Raden Ayu."
Dua orang ini benar-benar baik, beruntung aku memiliki mereka di saat aku tidak mengenal siapun di sini.
Aku memandang sekitar, ruangan ini mirip properti yang digunakan untuk pementasan Ken Dedes dan Ken Arok. Ruangan yang kuno dilengkapi beberapa guci emas, ranjang dari kayu yang dilengkapi kain seperti kelambu berwarna putih. Tidak ada listrik, yang ada hanya lilin-lilin yang menerangi ruangan ini.
Mengingat pementasan itu membuatku sakit hati. Saat aku berusaha tetap tegar, Bu Widya malah mengganti posisi Ken Dedes yang harusnya kuperankan dengan Valery. Ditambah kemesraan Dewa dan gadis itu membuatku tambah sakit hati.
Sekar, lupakan saja. Jalani kehidupanmu saat ini. Dengan aku terbangun di masa lalu seperti ini mungkin akan membuatku lupa dengan segala rasa sakit yang kubawa.
"Raden Ayu, Guru Hanggarenu meminta Raden Ayu menemuinya setelah Raden Ayu mandi," ucap Widuri sambil meletakan mangkuk air yang kuberikan padanya di atas meja kecil dekat dengan ranjang.
"Ba-baiklah, tapi ... di mana toiletnya?" tanyaku.
Bukannya menjawab, kedua pelayan yang itu malah saling tatap seolah tidak mengerti apa yang kubicarakan. Memang ada yang salah dari pertanyaaku?
Oh, aku lupa, mereka pasti tidak mengerti maksud ucapanku tentang toilet. Ya, aku yang salah karena menanyakan hal itu.
"Maksudku ... di mana tempat aku mandi?" tanyaku lagi, kali ini kuganti pertanyaan agar keduanya mengerti maksudku.
"Mari ikut kami, Raden Ayu," ajak Laksmi seraya berjalan mengambil kain berwarna merah yang entah akan digunakan untuk apa.
Kuikuti langkah Laksmi dan Widuri yang kusuruh jalan di depan karena aku tidak tahu jalan. Awalnya mereka menolak karena status mereka yang merupakan pelayan, tetapi kupaksa hingga mereka mau menuruti perintahku.
Mereka membawaku ke sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat beberapa kendi-kendi besar yang ditutupi dengan kayu. Karena penasaran, kubuka salah satu kendi besar yang berada di sebelah kananku. Rupanya isi kendi itu adalah air.
"Ini air untuk mandi?" tanyaku sambil menutup kembali tutup kendi besar yang kubuka tadi.
"Untuk mandi dan memasak, Raden Ayu. Para pelayan laki-laki akan mengambil air dari sungai setiap pagi. Kami para pelayan wanita di sini yang memisahkan air untuk mandi dan memasak," jelas Laksmi.
"Lalu, aku mandi di mana?"
"Raden Ayu tunggu di sini. Akan kusiapkan dulu."
Wanita bertubuh gemuk itu berjalan sambil membawa kain merah yang ia bawa dari kamar tadi. Ia membentangkan kain merah yang rupanya besar itu lalu mengikat ujungnya di sebuah bambu panjang yang sudah ada sejak aku datang. Terlihat seperti bilik darurat hasilnya.
"Mari masuk, Raden Ayu. Tempat mandinya sudah siap." Widuri menuntunku masuk ke tempat yang sudah disiapkan itu.
Keduanya masuk bersamaan denganku, sontak kuhentikan langkah lalu menatap mereka dengan perasaaan tidak nyaman.
"Kalian mau apa?" tanyaku pada keduanya.
"Kami mau bantu Raden Ayu mandi." Jawaban Widuri membuatku tertawa. Mana ada wanita dewasa yang perlu bantuan untuk mandi sedangkan dirinya sehat.
Melihatku tertawa, Laksmi dan Widuri hanya saling tatap tanpa bicara apapun lagi. Mungkin bagi mereka aku ini aneh karena menolak bantuan.
"Tapi, Raden Ayu, kami harus bantu. Raden Ayu harus menggunakan lulur. Mari kami bantu." Widuri memaksa, aku tetap tidak mengijinkan mereka membantuku mandi.
"Aku bisa sendiri. Aku tidak mau dibantu, tunjukan saja mana yang harus kupakai."
Widuri meminta Laksmi membawakan lulur yang mereka siapkan. Wanita itu memberikan lulur dari mangkuk emas yang sudah mereka siapkan sejak tadi. Saat kucium lulur itu, wanginya harum sekali, seperti wangi bunga melati.
"Lulur ini terbuat dari apa?" tanyaku penasaran.
"Ini terbuat dari tumbukan bunga wijaya kusuma dan bunga melati, Raden Ayu. Ini akan menyehatkan kulit Raden Ayu," jelas Laksmi.
"Jadi ini cara wanita di zaman dulu agar glowing."
"A-apa yang Raden Ayu katakan? Apa itu glowing?" tanya Laksmi dengan ekspresi bingungnya.
Ah, aku lupa, mana mungkin mereka tahu arti glowing. Harusnya aku tidak mengatakan apapun tadi, sekarang hanya membuat mereka bingung.
"Emm, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan. Kalian tunggu saja di luar, aku mau mandi dulu." Kepaksa Laksmi dan Widuri menjauh dari bilik mandi. Ini waktu pribadiku, jadi tidak ada yang boleh ikut campur.
"Raden Ayu, jangan lupa gosok tubuh Raden Ayu dengan batu yang ada di dekat kendi air sebelum menggunakan lulur," ucap salah satu dari wanita pelayan itu. Aku belum mengenal suara mereka, jadi tidak tahu siapa yang bicara.
Kuambil batu yang seukuran dengan sabun batangan dan menggosokannya ke tubuh sesuai instruksi. Kukira akan menyakitkan. Namun, ternyata tidak dan kulitku jadi lebih bersih.
Setelah ritual mandi selesai, aku dituntun Laksmi dan Widuri kembali ke kamar. Dengan keadaan yang masih basah, aku diminta menunggu karena Widuri harus mengambil pakaian yang akan kukenakan.
"Raden Ayu, mari kami bantu berpakaian," kata Widuri menawarkan bantuan.
"Tidak! Aku tidak mau kalian bantu. Keluar! Aku akan berpakaian sendiri," tolakku mentah-mentah.
"Tapi, Raden Ayu. Apa Raden Ayu bisa memakainya? Biasanya kami selalu membantu Raden Ayu."
Jika dipikir lagi, mana bisa aku memakainya sendiri apalagi pakaian yang kulihat hanyalah kain berwarna merah muda dan kain jarit berwarna hitam.
"Ba-baiklah, kalian bo-boleh bantu." Mendadak aku merasa gugup hingga berkata dengan gagap.
Mendengar ijin yang keluar dari mulutku, Laksmi dan Widuri tersenyum aneh. Keduanya membuatku jadi ragu lagi menerima bantuan.
"Eh, tunggu ... ka-kalian ini normal, kan?" tanyaku memastikan. Kedua tanganku refleks menutupi tubuh bagian atas.
"Normal? Maksud Raden Ayu apa?" tanya Laksmi seraya saling tatap dengan Widuri.
"Ya ... maksudku ... kalian itu suka laki-laki, kan?"
Dua pelayan itu mengangguk bersamaan. Lega rasanya, aku jadi tidak perlu takut mereka memikirkan hal-hal aneh jika mereka membantuku berpakaian.
Kedua pelayan itu membantuku dengan telaten. Ternyata menjadi wanita zaman dahulu itu sulit, lihatlah, berpakaian saja sesulit ini.
"Sudah siap, Raden Ayu," ucap Laksmi seraya memastikan kembali pakaianku.
"Kalian yakin ini sudah kuat? Bagaimana jika kain jarit ini lepas? Aku akan malu nanti."
"Tidak, Raden Ayu. Aku pastikan ini sudah kuat. Tidak akan lepas."
Walau Laksmi mengatakan kain jarit yang kukenakan sudah terikat dengan kuat, tetap saja ada rasa takut. Bagaimana jika tiba-tiba lepas? Aku akan sangat malu nanti.
Di tengah keraguan, samar-samar kudengar suara dua pria yang sedang berbincang dan tertawa. Rasa penasaran mulai menyelimuti hingga kuputuskan untuk keluar dan memeriksanya. Namun, Laksmi dan Widuri menghalangi jalan.
"Raden Ayu mau pergi ke mana? Raden Ayu belum siap untuk keluar. Wewangiannya saja belum dipakai," kata Widuri yang menghalangi jalan.
Rasa penasaran membuatku tidak peduli. Aku memaksa tetapi mereka tetap tidak mengijinkanku keluar.
"Eh ... kalian dengar ada suara mendesis tidak? Seperti suara ular. Cepat periksa, bagaimana jika ada ular di kamarku? Aku takut ular, cepat cari!" Widuri dan Laksmi bergegas melaksanakan perintahku.
Mereka akan sibuk dengan ular yang tidak pernah ada. Aku sengaja melakukannya agar mereka tidak menghalangiku.
Saat para pelayan itu sibuk, aku bergegas berlari keluar untuk menghilangkan rasa penasaran. Kucari asal suara dua pria yang sedang berbincang itu. Suara itu sepertinya berasal dari tempat pertama aku bangun.
Benar dugaanku, ada dua pria yang berbincang di tempat pertama aku terbangun. Pria yang kuketahui bernama Sanggeni sedang berbincang dengan pria lain.
Aku penasaran tentang siapa pria yang berbincang dengan Kakang Sanggeni. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi duduk pria itu membelakangiku. Siapa dia sebenarnya?
Seorang pelayan muncul membawa minuman, sepertinya aku akan melihat wajahnya saat dia menoleh nanti.
"Dewa." Kulihat wajah pria itu. Dia ... Dewa, pria yang menyakiti hatiku.
Bagaimana dia bisa berada di sini?