"Eh kita ada ide, gimana kalo liburan
bareng?" Usul Dara.
"Yeee bilang aja lo modus mau deket-deket
sama Gibran." Sinis Aluna yang duduk di sebelah Dara.
"Iri bilang boss." Gibran bersuara.
Aluna hanya memutar bola matanya
malas.
"Gimana kalo kita ke Bali?" Usul Rai.
"Widih boleh tuh." Laura menyetujui.
"Kalo kalian mau ke Bali boleh aja biar
om yang sewakan hotel di sana." tiba-tiba
Adam datang bersama Revina.
Alan tak menghiraukannya. Ia tetap fokus
pada layar ponsel berlogo Apple. Rai yang di dekatnya menyenggol lengan Alan agar Alan menyapa Adam setidaknya tidak terlalu fokus pada layar ponsel. Namun Alan tetap lah Alan, jika dia sudah membenci seseorang ia sulit untuk
menerimanya kembali. Kesalahan Adam memanglah fatal jadi sulit untuk Alan menerima.
"Gimana? Nanti om carikan hotel yang
langsung mengarah ke pantai?" Katanya
lagi.
"Boleh sih om, kita tergantung Alan aja."
Balas Gibran.
"Gimana Lan?" Tanya Adam memandang
putranya.
Alan hanya mengangguk, ia enggan untuk
menjawab pertanyaan Adam.
"Oke, jadi kalian mau berlibur kapan nih?"
Tanya Revina ikut nimbrung.
"Kalo Lusa gimana?" Usul Lio dan di
angguki semuanya kecuali Alan.
"Oke. Tapi om sama tante nggak bisa ikut
cuma bisa sewain hotelnya. Kalian tinggal
berangkat aja semuanya beres." Ucap Adam
terlihat bahagia. Ia sengaja melakukan ini
agar Alan bisa luluh padanya.
"Ya sudah om sama Tante pulang dulu ya?"
Pamit Adam dan Revina kemudian mereka
semua menyalami Keduanya.
***
Abang Burhan.
"Gimana dek naik kelas ngga?" Ledek
Burhan.
"Naik lah ya kali gue kaga naik."
"Peringkat berapa dek?"
"Sejak kapan lo panggil gue dek?"
"Terserah gue dong."
"Gue peringkat lima bang. Lumayan naik satu tingkat."
"Widih kalo ayang Alan peringkat berapa?"
"Idih sejak kapan sih lo jadi alay gini, ketularan bule ya?"
"Whahaha kan lo tunangan Alan emang lo
sama si Alan nggak ayang-ayangan?"
"Boro-boro mau Ayang-ayangan kelamaan
deket aja gue bisa darah tinggi."
"Ehh. Udah dulu ya bang gue mau
shopping nih sama temen-temen. Babay
Abangkuuuuu."
Aluna yang sudah siap dengan celana
hitam ketat dan Hoodie putih dengan
rambut yang di biarkan terurai. Ia mengambil slingbag lalu memakai sepatu converse putih miliknya.
"Bun pamit yah?" Pamit Aluna dengan
Maya yang sedang menonton tv.
"Emang temen-temen kamu udah pada
dateng?" Tanya Maya.
"Udah kok Bun, mereka udah di depan."
"Ya sudah hati-hati sayang." Acungan
jempol dari Aluna, kemudian ia melangkahkan kakinya meninggalkan Maya yang sedang menonton gosip di televisi.
"Eh foto dulu yuk mau posting di Instagram
nih." Ajak Aluna pada Laura dan dara yang
tengah duduk di depan mobil.
"Gue udah tadi." balas Laura.
"Anjir gue nggak diajak."
"Sini gue fotoin." Kemudian Aluna berpose di depan mobil berwarna putih milik Laura. Hanya lima jepretan karena mereka harus buru-buru ke Mall takutnya kesorean.
Mobil putih itu melaju. Laura fokus
menyetir dan kedua temannya hanya fokus
dengan ponsel masing-masing. Aluna membuka akun Instagramnya, ia berniat memposting foto yang tadi.
Tidak terasa mereka sudah sampai di
area parkir. Kemudian mereka turun dan masuk kedalam.
"Lun lo nggak ada niatan beliin sesuatu buat si Alan?" Tanya Dara yang kini sedang memilih sepatu untuk Gibran.
"Ogah." ia mencoba beberapa sepatu namun tidak ada yang menarik menurut Aluna.
Setelah satu jam lebih, akhirnya mereka
selesai mencari apa yang mereka inginkan. Dara yang membeli sepatu berwarna navy untuk Gibran dan baju renang terbuka untuk berenang di pantai Bali. Begitu juga dengan Laura dan Aluna
mereka membeli bikini, rencananya akan
di pakai saat berlibur di Bali.
Kini mereka tengah menyantap spaghetti
carbonara di restoran mewah.
"Eh nanti kita kesana baik pesawat kan?
Udah pada beli tiket?" Tanya Aluna.
"Oh iya yah gue lupa." Laura menepuk jidatnya.
"Lo coba telfon Alan aja." Ujar Dara pada Aluna.
"Kok gue sih."
"Yang tunangannya siapa? Apa Alan buat
gue aja kayaknya lo nggak mau." ceplos Laura.
Aluna hanya memutar bola matanya
malas. Kemudian ia menelfon Alan.
"Ya?"
"Yang beli tiket pesawat ke Bali siapa Lan? Apa ll yang beli?"
"Gue sama temen-temen udah urus semua."
"Bagus deh kalo gitu gue nggak usah ribet."
"Kata mamah besok sebelum berangkat mau ketemu lo dulu."
"Berarti ke bandara bareng lo dong?"
"Iyalah. Gue di suruh jemput lo."
"Jangan pake motor ya. Bawaan gue
banyak kayaknya."
"Kita cuma tiga hari."
"Iya juga sih. Gue lagi di mall nih bareng
temen-temen. Gue tutup ya?" Tanpa menjawab ucapan Aluna, Alan langsung memutuskan sambungan teleponnya.
"Dasar laknat!" Aluna menggerutu sebal. Alan selalu saja begitu.
"Jadi gimana Lun?" Tanya Laura serius.
"Kita tinggal berangkat aja semuanya udah
di urus. Paling keluar uang buat tiket." Aluna menyeruput jus mangga.
"Widih enak dong." Balas Dara.
***
Bunyi bel sedari tadi terus berbunyi.
Mengganggu Aluna yang kini sedang menonton drama Korea. Kini Aluna sedang sendirian di rumah karena Maya sedang pergi ke butiknya.
Mau tak mau Aluna harus membuka pintu.
Kalian tau siapa yang datang? Laki-laki bertubuh tegap dengan motor CBR hijaunya. Dia Devan, Arnold Devanno berasal dari keluarga kaya raya.
Aluna kembali menutup pintu namun tangan kekar itu menahan agar pintu itu tidak tertutup.
"Lun gue mohon. Apa alesan lo putusin
gue?" Devan sudah memohon berkali-kali
agar Aluna menjelaskan sebab dirinya di
putuskan.
"Laki-laki brengsek kaya lo pantesnya
sama jalang kaya Jenny!" Aluna memutar
bola matanya malas. Ia sungguh malas meladeni laki-laki Ini.
"Jenny?" Tanya Devan sambil mengernyitkan keningnya.
"Udah berapa kali lo ngelakuin hal bodoh sama Jenny?"
"Gue nggak gi-" ucapan Devan terpotong
karena Aluna kini benar-benar emosi.
"Gue tau lo sering keluar masuk club bareng Jenny kan?" Pertanyaan itu sebenarnya Aluna tidak ingin lontarkan. Namun ia ingin mencari kebenaran.
"Dengerin gue, gue emang 'pernah' dan itu
gue di jebak sama perempuan murahan itu Lun. Gue waktu itu dalam keadaan mabuk." Devan mengakuinya, ia memang sudah pernah melakukan sesuatu di dalam ruangan tertutup karena keadaan dirinya sedang mabuk berat.
Plak.
Tamparan keras berhasil membuat pipi Devan memerah. Namun ia tahu, sakit yang ia alami di pipi akibat tamparan Aluna tidak sebanding
dengan sakit hati yang Aluna alami. Menyesal. Satu kata dapat mewakili semuanya. Devan benar-benar menyesal telah tergoda dengan perempuan murahan itu. Sungguh ia tidak tahu jika dirinya di jebak oleh Jenny.
Aluna tersadar apa yang tadi ia lakukan.
Telapak tangan yang tadi ia layangkan di
pipi Devan kini memerah. Air matanya
jatuh mengalir, namun ekspresi Aluna
tetap menatap telapak tangan itu.