Setelah perjalanan jalur udara hampir dua
jam. Akhirnya mereka sampai di bandara
Ngurah Rai, Bali.
"Huaaaaa akhirnya kita sampe." Ujar Lio
sambil meregangkan ototnya. Mereka
kini sudah turun dari pesawat dan sedang
menunggu jemputan mobil yang Alan
sewa.
"Gue laper nih, makan dulu kek." Rai
memang sudah makan tadi sebelum
berangkat. Namun di antara mereka hanya
Rai yang selalu ingin makan namun bentuk
tubuh Rai tidak terlihat gemuk.
"Gue seneng banget sumpah akhirnya bisa
ke Bali." heboh Lio seperti anak kecil.
"Makasih banget Lan. Udah bawa Gue
kesini." Alan hanya menanggapi senyuman
kecil, ia melihat wajah Lio di balik kaca
mata hitamnya.
"Kita naik apa ke hotel?" Tanya Gibran.
Tiba-tiba dua mobil berwarna hitam
menghamburkan mereka. Dan keluarlah
dari masing-masing mobil satu orang
suruhan Adam.
"Ini kunci mobilnya Mas Alan." pria dewasa
dengan jas hitam menyerahkan kunci
mobil.
Kini mereka sudah sampai di hotel bintang
lima yang langsung mengarah ke pantai.
Laura dan Dara kini sedang membereskan
pakaian mereka. Sedangkan Aluna, ia
merenung menatap langit siang berwarna
biru. Terlihat indah, bibirnya terangkat ke
atas. Namun hatinya, ia sangat rapuh. Laura yang menyadari bahwa Aluna sedang melamun itu, ia langsung menghampiri sahabatnya dan di susul oleh Dara.
"Lun?" Panggil Dara yang berdiri di
sebelah kiri Aluna, dan Laura di sebelah kanan.
Aluna langsung tersadar, ia melihat ke arah sahabatnya itu dan tersenyum seolah menutupi rasa sakit yang ia rasakan.
"Lo kenapa?" Tanya Laura sambil mengusap punggung Aluna. Aluna hanya menggelengkan lemah tanpa sadar air matanya kini jatuh.
"Lo kenapa nangis Lun?" Dara dan Laura nampak khawatir melihat sahabatnya itu. Mereka memeluk Aluna memberikan semangat pada sahabatnya itu.
"Devan.." lirih Aluna membuat keduanyasemakin bingung.
"Devan kenapa? ada masalah sama Devan?" Tanya Dara hati-hati.
Kemudian Aluna menjelaskan kejadian kemarin saat bertemu dengan Devan di depan rumahnya. Air matanya kini terus mengalir deras, bahkan sampai mata Aluna terlihat sangat merah dan sembab.
"Udah Lun. Nggak perlu mikirin dia lagi ya? Di sini ada kita dan ada Alan. Alan udah jadi tunangan lo, jadi mau nggak mau lo harus nerima kenyataan ini." Dara berusaha memberikan semangat agar Aluna tidak murung lagi.
"Janji ya sama kita lo boleh nangis hari ini aja. Besok-besok nggak perlu nangisin si Devan lagi." Aluna mengangguk Setelah mendengar perkataan Laura.
"Lo tau nggak? Cobaan itu anugerah. Tuhan ngasih cobaan buat kita karena Tuhan lagi nunjukin rasa sayangnya ke kita. Tuhan sayang sama lo Lun, dia nggak biarin lo terus menerus sama Devan karena Devan nggak baik buat lo. Mungkin ini udah jalannya, suatu saat lo akan bahagia sama Alan dan mungkin Devan akan bahagia sama wanita yang nerima dia apa adanya. Lo cewek kuat kok, ada kita di samping lo." perkataan Laura membuat Aluna tersenyum bahagia. Ia beruntung masih memiliki sahabat seperti Laura dan Dara.
Benar kata Laura, Tuhan lagi nunjukin rasa sayang ke Aluna. Dan kini Aluna menghapus air matanya dan tersenyum melihat kedua sahabatnya itu.
Saat mereka bertiga berpelukan, kini pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Buset pada ngapain kalian." Suara Lio membuat ketiganya terkejut. Mereka langsung melepaskan pelukannya.
"Ngagetin aja sih. Ngapain lo kesini?" Tanya Laura sinis.
"Kita mau ke pantai, barang kali kalian ikut."
"Ehh Aluna, lo habis nangis ya?" Lio sedari tadi memperhatikan wajah Aluna yang memerah dan mata bengkak.
"Udah deh lo keluar dulu. Kalian tunggu di bawah ntar kita nyusul" usir Dara, ia mendorong paksa Lio dan menutup pintu rapat-rapat.
"Lun mending lo langsung cuci muka aja
deh." Aluna menuruti dara agar ia tidak terlalu terlihat memerah.
***
Kini mereka tengah bermain air di tepi pantai. Hanya Aluna yang duduk menyendiri di atas pasir putih. Iya terus memandang ke depan,bmelihat kenyataan yang begitu pahit menurutnya. Ia berfikir jika Devan kembali maka perjodohan itu akan batal dan ia akan bahagia bersama Devan. Namun kenyataannya tidak.
Lamunan Aluna buyar karena deringan
yang begitu nyaring bersumber dari ponsel
Aluna yang berada di slingbagnya.
"Hallo?"
"Iya kenapa, Dev?"
"Tadi gue ke rumah lo, tapi kata bunda lo lagi liburan sama temen-temen lo ya?"
"Iya, emang ada apa lo ke rumah gue?"
"Ada undangan pernikahan buat lo Lun."
"Hah? Dari siapa? Keluarga lo? Atau kakak lo?"
"Dari gue."
"M..maksud lo?"
"Jenny hamil, gue harus tanggung jawab. Gue mau nikahin Jenny secara agama dulu karena status gue yang masih pelajar."
Deg.
Tanpa sadar Aluna menetaskan air matanya. Ia benar-benar tidak menyangka akan seperti ini. Semuanya sangat menyakitkan bagi Aluna.
"Lo masih di situ kan Lun? Masih dengerin gue?"
"I..iya masih kok."
"Gu..gue minta maaf Lun."
"Semuanya udah takdir."
"Terus Jenny di keluarin dari sekolah?"
"Iya karena nggak mungkin kalo keadaannya dia lagi kayak gitu di paksain sekolah."
"Kapan acaranya, Dev?"
"Rencananya besok. Dari sekolah cuma
lo, Dara sama Laura yang gue undang. Lo bisa dateng kan?"
"Besok gue masih di Bali Dev, sorry banget nggak bisa dateng."
"Ya udah nggak pa-pa. Nanti kita bisa ketemu setelah lo pulang liburan. Selamat bersenang-senang Aluna."
Aluna kembali memasukan ponselnya ke
dalam slingbag. Ia memeluk lututnya dan menunduk. Ia menangis jadi-jadiannya sampai-sampai celana yang ia kenakan terasa begitu basah oleh air mata.
Laura dan Dara yang kini sedang selfi di tepi pantai dengan pemandangan indah tersadar bahwa Aluna tidak bersama mereka.
"Goblok banget kita nggak sadar Aluna nggak ada." Dara yang baru ingat langsung menyumpah serapahi dirinya.
"Eh kok kalian berdua Aluna mana?" Tanya Gibran.
"Itu bukan si? Tadi Aluna pake baju abu-abu kan?" Tunjuk Lio pada gadis yang tengah memeluk lututnya dan menunduk hingga tak terlihat wajahnya.
"Kayaknya deh, kita susul aja." kemudian mereka menyusul Aluna.
Suara sesenggukan terdengar oleh mereka
membuat mereka nampak kebingungan harus bagaimana.
"Lun? Lo kenapa?" Tanya dara mengusap punggung Aluna.
Aluna hanya diam mengabaikan pertanyaan teman-temannya itu.
"Lan lo kan tunangannya, coba kalo lo
yang tanya." ujar Rai pada Alan. Memang benar usul Rai. Namun Alan dan Aluna saja tidak pernah saling curhat.
"Gue nggak pa-pa." Tiba-tiba Aluna berdiri dan meninggalkan mereka. Nampak wajahnya sangat memprihatinkan.
"Lan lo kejar dong." Gibran mendorong Alan agar mengejar Aluna.
Kemudian Alan mengejar Aluna. Sampai di
sebuah tempat yang terlihat sepi dan tak
ada pengunjung. Aluna duduk di kayu yang melengkung ia menghadap ke arah pantai, melihat ombak kecil. Tiba-tiba Alan langsung duduk di sebelah Aluna dan menatap lurus ke depan.