Terlihat Aluna menyerahkan helm pada
lelaki yang di ketahui Dia adalah Devan.
Yang Alan tahu dia adalah Mantan kekasih
Aluna. Hatinya kini terasa sesak melihat kejadian
di bawah sana. Ia terus melihat drama itu dengan ekspresi sulit diartikan.
Aluna tiba-tiba menatap ke atas, tepatnya
ke arah Alan di sela-sela obrolannya
dengan Devan.
Alan hanya diam dan terus
menatapnya, menurut Aluna tatapan itu
tajam. Mengerikan.
"Itu siapa?" Tanya Devan menunjuk ke atas
mengarah pada Alan.
"Emm..itu..sa-" Ucapan Aluna terpotong
karena ayu keluar dari rumah.
"Eh Aluna baru pulang?" Ayu menyapa
Aluna yang masih berdiri mematung.
"I..iya." Aluna berusaha tersenyum pada
ayu untuk menutup rasa gugupnya.
"Ini siapa?" Tanya Ayu bermaksud ingin
tahu siapa Devan.
"Temen kok."
"Tante saya pamit dulu, assalamualaikum"
kemudian Devan meninggalkan kompleks
Alan. Aluna bernafas lega karena Devan tidak bertanya macam-macam.
***
Semuanya telah berlalu. Kini Aluna
sudah kembali di rumahnya karena Maya
mempercepat pekerjaannya sehingga ia
bisa pulang lebih awal. Kini Aluna sedang
menguncir kuda rambutnya, ia berencana
akan latihan basket bersama Devan.
Beberapa hari terakhir semenjak
kedatangan Devan. Aluna lebih sering
menghabiskan waktu bersamanya.
Aluna sering pulang dan berangkat
bersama Devan. Sampai-sampai Aluna
melupakan statusnya sebagai tunangan
Alan karena Alan tak pernah muncul di
hadapannya.
Walaupun beberapa hari lalu ia tinggal
satu atap, namun Alan tak pernah ia temui.
Terakhir kali ia melihatnya ketika Alan di
balkon kamarnya sedang menatap Aluna
dan Devan, kini ia akan di jemput oleh devan. Rupanya tak lama motor Devan sudah terparkir di
pekarangan rumah Aluna.
"Lun?" Tiba-tiba Suara Maya terdengar di
balik pintu.
Aluna langsung membawa tas ranselnya
dan mengambil ponsel di atas nakas.
"Iya Bun?" Tanya Aluna sambil menutup
pintu kamar.
"Kamu latihan sama Devan?" Memang
Maya sudah tahu siapa Devan. Tapi Maya
tidak pernah tahu jika dulu putrinya
menjalin hubungan bersama Devan.
"Iya bun. Kenapa emang?" Tanya Aluna
heran.
"Bunda mau mengingatkan. Nggak baik
perempuan udah tunangan deket-deket
sama laki-laki lain. Kan udah pada tahu
kamu udah tunangan sama Alan, jadi
bunda minta kamu jaga sikap yah? Walaupun Devan temen kamu." Kemudian Maya turun meninggalkan Aluna yang masih berdiri mematung.
Ia memikirkan perkataan Maya. Benar
memang, ia juga merasa bersalah. Apakah
Alan merasa tidak suka dengan sikapnya?
Entahlah, untuk kali ini ia harus bisa menghubungi Alan karena sudah berkali-kali ia menelfon dan mengirim pesan namun tidak ada jawaban.
Kemana manusia bisu itu? Pikir Aluna.
Sudahlah, ia takut kesorean jadi ia harus
buru-buru menemui Devan yang sudah
menunggu.
"Maaf Dev lama ya?"
"Enggak kok santai aja kalo. Nih pake
helmnya." Devan menyerahkan helm itu
pada Aluna.
Sampailah di lapangan basket terbuka
dengan kursi di setiap sudut. Suasana
tenang dan udara segar membuat siapapun
akan nyaman bila berlama-lama disini.
"Ayo Dev mulai." Aluna melempar bola
basketnya ke Devan.
"Ih kok curang sih!" Devan mencari
cara agar Aluna lengah sehingga ia bisa
merebut bolanya. Ada-ada saja Devan!
"Gue ngga curang. Lo aja yang ngga
fokus." Devan dengan muka tengilnya
dan mengeluarkan lidahnya. Sungguh
menyebalkan.
"Dev sini lo jangan curang dong!" Aksi
kejar-kejaran pun terjadi diantara mereka.
Devan yang memegang bola basketnya
dengan erat dan Aluna yang berusaha
merebut bola itu.
Menyenangkan bukan? Sungguh momen
ini yang Aluna rindukan.
"Udah ah capek." Aluna langsung terduduk
di tepi Lapangan. Nafasnya pun tidak
teratur.
"Nih minum." Devan menyodorkan botol
minuman yang ia bawa ke Aluna.
"Gue rindu momen ini Dev." lirih Aluna
setelah nafasnya mulai teratur.
"Maafin gue Lun. Gue harusnya dulu nggak
ka-" ucapan Devan terpotong.
"Udah gue maafin. Udah terlanjur
nggak apa-apa." Aluna tersenyum manis.
Kemudian kepalanya seolah terdorong
untuk bersandar di pundak Devan.
Tangan Devan tergerak untuk
merangkulnya. Sungguh ini seperti
sepasang kekasih yang begitu serasi.
***
"Pah Alan bener-bener nggak mau
nerima perusahaan itu. Harus berapa
kali Alan bilang pah!" Ucapan Alan
dengan nada tinggi itu sudah terbiasa.
Menurutnya, Adam terlalu memaksa
dirinya untuk menuruti kemauan Adam.
"Nak, ini untuk kebaikan kamu. Jadi
apa susahnya kamu terima?" Adam
menyodorkan berkas agar Alan menanda
tangani berkas itu. Jika sudah berarti
Alan akan menjadi penerus perusahaan
Keluarga Fidelyo.
"Alan, apa kamu mau minum? Biar nanti
ibu buatkan." Tanya Revina-Istri kedua
Adam.
"Nggak usah." ketusnya. Ia sebenarnya
sangat amat terpaksa untuk datang
kerumah Adam. Ini karena paksaan dari
Ayu, mengingat ia sudah berjanji akan
menuruti kemauan Ayu jadi mau tidak
mau ia mendatangi kediaman Adam.
"Abang?" Tiba-tiba suara Gadis SMP yang
baru masuk ke rumahnya. Ketika melihat
Alan ia langsung berlari menemui Alan
yang sedang duduk ruang tamu bersama
Revina dan Adam.
"Eh Ayla? Gimana Bimbelnya?" Tanya
Revina sambil menyalami Ayla.
"Tenang aja bu. Beres." Ayla mengacungkan
jempolnya sedangkan Alan?
Ia tidak tertarik untuk menyapa Anak
perempuan itu.
"Abang?" Tangan Ayla sudah tepat di depan
Alan karena ia ingin menyalami abangnya
walaupun bukan Abang kandung.
"Alan!" Bentak Adam. Ia melihat bahwa
Alan sudah keterlaluan pada Ayla.
Mau tidak mau, ia menerima Tangan Ayla.
Ayla pun tersenyum manis kemudian ia di sebelah Alan.
"Ayla? Kamu ganti baju dulu gih. Nanti
bisa main sama abangmu." perintah Adam
lembut.
"Iya pah." Ayla menurut dan pergi dari
ruang tamu megah itu.
"Alan papah mohon nak. Perusahaan
ini penting bagi papah, apa kamu tega
nantinya Kakek kecewa sama kamu kalo
kamu nggak bisa nerusin perusahaan ini?"
Adam kini serius,ia harus terus berusaha
meluluhkan hati anaknya itu.
"Buat apa pah? Kenapa harus Alan?
Serahkan saja pada anak manja itu. Anak
kesayangan papah." setelah mengucap itu
Alan pergi begitu saja tanpa mengucapkan
apapun.
"Sudah mas lain kali pasti Alan
mau menerima." Revina berusaha
menenangkan Adam agar ia tidak terbawa
emosi oleh sikap Putranya .
Alan dengan raut muka begitu
menyeramkan karena ia sekarang sedang
menahan emosinya. Kini ia lebih memilih
untuk pergi ke makam Adel karena itu
membuat Alan lebih tenang.
Dulu Adel-lah yang selalu menenangkan
Alan jika dirinya sedang terbawa emosi
oleh sikap Adam.
Setelah sampai, ia membawa sebuket
bunga indah berwarna merah. Ia letakan
di atas makam Adel dan menyiramkan air
yang tadi ia beli di depan area makam.
"Adel." ujarnya lirih. Tangannya terus
mengusap batu nisan itu. Ia menunduk
tanpa sadar air matanya jatuh mengalir.
"Maafin aku Del." Kini Alan sudah
menangis tersedu-sedu.
Alan mengeluarkan kalung yang
selalu ia pakai dengan bandul Cincin
pertunangannya dengan Aluna.
"Aku udah tunangan Del, ini bukan
kemauan aku. Tapi kemauan Mamah."
Ia menunjukan cincin itu seolah ada
seseorang di depannya.
Kemudian Alan mendoakan mantan
kekasihnya itu dengan khusyuk.
Setelah itu ia mencium batu nisan
bertuliskan Adelia Putri cukup lama.
Air matanya terus menetes membasahi
batu nisan itu.
Kemudian ia bangkit dan tersenyum.
"Aku pergi dulu sayang. Semoga kamu
selalu bahagia ya. Nanti kapan-kapan
aku mampir lagi kesini." karena cuaca
mendung ia harus cepat-cepat pulang.