Chapter 17 - Dia Lagi

Terlihat Aluna menyerahkan helm pada

lelaki yang di ketahui Dia adalah Devan.

Yang Alan tahu dia adalah Mantan kekasih

Aluna. Hatinya kini terasa sesak melihat kejadian

di bawah sana. Ia terus melihat drama itu dengan ekspresi sulit diartikan.

Aluna tiba-tiba menatap ke atas, tepatnya

ke arah Alan di sela-sela obrolannya

dengan Devan.

Alan hanya diam dan terus

menatapnya, menurut Aluna tatapan itu

tajam. Mengerikan.

"Itu siapa?" Tanya Devan menunjuk ke atas

mengarah pada Alan.

"Emm..itu..sa-" Ucapan Aluna terpotong

karena ayu keluar dari rumah.

"Eh Aluna baru pulang?" Ayu menyapa

Aluna yang masih berdiri mematung.

"I..iya." Aluna berusaha tersenyum pada

ayu untuk menutup rasa gugupnya.

"Ini siapa?" Tanya Ayu bermaksud ingin

tahu siapa Devan.

"Temen kok."

"Tante saya pamit dulu, assalamualaikum"

kemudian Devan meninggalkan kompleks

Alan. Aluna bernafas lega karena Devan tidak bertanya macam-macam.

***

Semuanya telah berlalu. Kini Aluna

sudah kembali di rumahnya karena Maya

mempercepat pekerjaannya sehingga ia

bisa pulang lebih awal. Kini Aluna sedang

menguncir kuda rambutnya, ia berencana

akan latihan basket bersama Devan.

Beberapa hari terakhir semenjak

kedatangan Devan. Aluna lebih sering

menghabiskan waktu bersamanya.

Aluna sering pulang dan berangkat

bersama Devan. Sampai-sampai Aluna

melupakan statusnya sebagai tunangan

Alan karena Alan tak pernah muncul di

hadapannya.

Walaupun beberapa hari lalu ia tinggal

satu atap, namun Alan tak pernah ia temui.

Terakhir kali ia melihatnya ketika Alan di

balkon kamarnya sedang menatap Aluna

dan Devan, kini ia akan di jemput oleh devan. Rupanya tak lama motor Devan sudah terparkir di

pekarangan rumah Aluna.

"Lun?" Tiba-tiba Suara Maya terdengar di

balik pintu.

Aluna langsung membawa tas ranselnya

dan mengambil ponsel di atas nakas.

"Iya Bun?" Tanya Aluna sambil menutup

pintu kamar.

"Kamu latihan sama Devan?" Memang

Maya sudah tahu siapa Devan. Tapi Maya

tidak pernah tahu jika dulu putrinya

menjalin hubungan bersama Devan.

"Iya bun. Kenapa emang?" Tanya Aluna

heran.

"Bunda mau mengingatkan. Nggak baik

perempuan udah tunangan deket-deket

sama laki-laki lain. Kan udah pada tahu

kamu udah tunangan sama Alan, jadi

bunda minta kamu jaga sikap yah? Walaupun Devan temen kamu." Kemudian Maya turun meninggalkan Aluna yang masih berdiri mematung.

Ia memikirkan perkataan Maya. Benar

memang, ia juga merasa bersalah. Apakah

Alan merasa tidak suka dengan sikapnya?

Entahlah, untuk kali ini ia harus bisa menghubungi Alan karena sudah berkali-kali ia menelfon dan mengirim pesan namun tidak ada jawaban.

Kemana manusia bisu itu? Pikir Aluna.

Sudahlah, ia takut kesorean jadi ia harus

buru-buru menemui Devan yang sudah

menunggu.

"Maaf Dev lama ya?"

"Enggak kok santai aja kalo. Nih pake

helmnya." Devan menyerahkan helm itu

pada Aluna.

Sampailah di lapangan basket terbuka

dengan kursi di setiap sudut. Suasana

tenang dan udara segar membuat siapapun

akan nyaman bila berlama-lama disini.

"Ayo Dev mulai." Aluna melempar bola

basketnya ke Devan.

"Ih kok curang sih!" Devan mencari

cara agar Aluna lengah sehingga ia bisa

merebut bolanya. Ada-ada saja Devan!

"Gue ngga curang. Lo aja yang ngga

fokus." Devan dengan muka tengilnya

dan mengeluarkan lidahnya. Sungguh

menyebalkan.

"Dev sini lo jangan curang dong!" Aksi

kejar-kejaran pun terjadi diantara mereka.

Devan yang memegang bola basketnya

dengan erat dan Aluna yang berusaha

merebut bola itu.

Menyenangkan bukan? Sungguh momen

ini yang Aluna rindukan.

"Udah ah capek." Aluna langsung terduduk

di tepi Lapangan. Nafasnya pun tidak

teratur.

"Nih minum." Devan menyodorkan botol

minuman yang ia bawa ke Aluna.

"Gue rindu momen ini Dev." lirih Aluna

setelah nafasnya mulai teratur.

"Maafin gue Lun. Gue harusnya dulu nggak

ka-" ucapan Devan terpotong.

"Udah gue maafin. Udah terlanjur

nggak apa-apa." Aluna tersenyum manis.

Kemudian kepalanya seolah terdorong

untuk bersandar di pundak Devan.

Tangan Devan tergerak untuk

merangkulnya. Sungguh ini seperti

sepasang kekasih yang begitu serasi.

***

"Pah Alan bener-bener nggak mau

nerima perusahaan itu. Harus berapa

kali Alan bilang pah!" Ucapan Alan

dengan nada tinggi itu sudah terbiasa.

Menurutnya, Adam terlalu memaksa

dirinya untuk menuruti kemauan Adam.

"Nak, ini untuk kebaikan kamu. Jadi

apa susahnya kamu terima?" Adam

menyodorkan berkas agar Alan menanda

tangani berkas itu. Jika sudah berarti

Alan akan menjadi penerus perusahaan

Keluarga Fidelyo.

"Alan, apa kamu mau minum? Biar nanti

ibu buatkan." Tanya Revina-Istri kedua

Adam.

"Nggak usah." ketusnya. Ia sebenarnya

sangat amat terpaksa untuk datang

kerumah Adam. Ini karena paksaan dari

Ayu, mengingat ia sudah berjanji akan

menuruti kemauan Ayu jadi mau tidak

mau ia mendatangi kediaman Adam.

"Abang?" Tiba-tiba suara Gadis SMP yang

baru masuk ke rumahnya. Ketika melihat

Alan ia langsung berlari menemui Alan

yang sedang duduk ruang tamu bersama

Revina dan Adam.

"Eh Ayla? Gimana Bimbelnya?" Tanya

Revina sambil menyalami Ayla.

"Tenang aja bu. Beres." Ayla mengacungkan

jempolnya sedangkan Alan?

Ia tidak tertarik untuk menyapa Anak

perempuan itu.

"Abang?" Tangan Ayla sudah tepat di depan

Alan karena ia ingin menyalami abangnya

walaupun bukan Abang kandung.

"Alan!" Bentak Adam. Ia melihat bahwa

Alan sudah keterlaluan pada Ayla.

Mau tidak mau, ia menerima Tangan Ayla.

Ayla pun tersenyum manis kemudian ia di sebelah Alan.

"Ayla? Kamu ganti baju dulu gih. Nanti

bisa main sama abangmu." perintah Adam

lembut.

"Iya pah." Ayla menurut dan pergi dari

ruang tamu megah itu.

"Alan papah mohon nak. Perusahaan

ini penting bagi papah, apa kamu tega

nantinya Kakek kecewa sama kamu kalo

kamu nggak bisa nerusin perusahaan ini?"

Adam kini serius,ia harus terus berusaha

meluluhkan hati anaknya itu.

"Buat apa pah? Kenapa harus Alan?

Serahkan saja pada anak manja itu. Anak

kesayangan papah." setelah mengucap itu

Alan pergi begitu saja tanpa mengucapkan

apapun.

"Sudah mas lain kali pasti Alan

mau menerima." Revina berusaha

menenangkan Adam agar ia tidak terbawa

emosi oleh sikap Putranya .

Alan dengan raut muka begitu

menyeramkan karena ia sekarang sedang

menahan emosinya. Kini ia lebih memilih

untuk pergi ke makam Adel karena itu

membuat Alan lebih tenang.

Dulu Adel-lah yang selalu menenangkan

Alan jika dirinya sedang terbawa emosi

oleh sikap Adam.

Setelah sampai, ia membawa sebuket

bunga indah berwarna merah. Ia letakan

di atas makam Adel dan menyiramkan air

yang tadi ia beli di depan area makam.

"Adel." ujarnya lirih. Tangannya terus

mengusap batu nisan itu. Ia menunduk

tanpa sadar air matanya jatuh mengalir.

"Maafin aku Del." Kini Alan sudah

menangis tersedu-sedu.

Alan mengeluarkan kalung yang

selalu ia pakai dengan bandul Cincin

pertunangannya dengan Aluna.

"Aku udah tunangan Del, ini bukan

kemauan aku. Tapi kemauan Mamah."

Ia menunjukan cincin itu seolah ada

seseorang di depannya.

Kemudian Alan mendoakan mantan

kekasihnya itu dengan khusyuk.

Setelah itu ia mencium batu nisan

bertuliskan Adelia Putri cukup lama.

Air matanya terus menetes membasahi

batu nisan itu.

Kemudian ia bangkit dan tersenyum.

"Aku pergi dulu sayang. Semoga kamu

selalu bahagia ya. Nanti kapan-kapan

aku mampir lagi kesini." karena cuaca

mendung ia harus cepat-cepat pulang.