Di halaman belakang rumah terdapat
kolam renang Yang cukup luas dan lahan
untuk tanaman obat-obatan dan berbagai
rempah-rempah.
"Alan nggak butuh!" Tegas Alan sambil
menyodorkan foto-foto itu.
Aluna hanya diam menunduk. Maya
pernah menceritakan bahwa Alan dan
Adam sering bertengkar, dan kini ia takut
jika keduanya akan bertengkar disini.
"Kenapa? Apa yang kurang lan? Biar
nanti papah tambahin. Atau kamu nggak
suka dekorasinya?" Tanya Adam bingung.
Padahal ia sudah membelikannya sesuai
dengan ke sukaan Alan, karena dulu Alan
pernah menceritakan angan-angannya
untuk mempunyai rumah seperti itu.
"Mamah kamu sudah menyetujui Nak.
Jadi apa yang buat kamu menolak?" Tanya
Adam lagi.
"Kita permisi pah. Besok ulangan."
Kemudian Alan Menggenggam Tangan
Aluna dan bangkit dari Hadapan Adam.
Adam memijat keningnya. Ia tidak tahu
harus seperti apa menghadapi putranya
agar Alan menerimanya kembali.
***
Selama perjalanan Aluna yang biasanya
mengoceh tidak jelas kini hanya bisa diam
karena ekspresi Alan lebih menyeramkan
dari sebelumnya. Ia mungkin sedang
menahan amarahnya.
Ponsel berdering nyaring. Suara itu
berasal dari tas ransel Aluna. Ia langsung
mengambil ponselnya.
Bunda.
"Hallo bun?"
"Maaf sayang, bunda harus ngurus keperluan
butik disini. Jadi bunda pulangnya satu
minggu lagi, tadi Bunda udah bilang sama
Tante Ayu biar kamu tinggal di sana dulu."
"Nggak mau Bun. Aluna bisa nginep di
rumah Laura atau Dara."
"Kamu taukan di rumah Laura itu banyak
anak kecil, nanti takutnya ngerepotin. Terus
kalo di rumah Dara kamu dulu pernah
nginep dua minggu kan disana? Jadi bunda
rasa nggak enak."
"Bunnn kan bisa suruh mereka nginep di
rumah."
"Enggak sayang. Bunda udah transfer
uang untuk kebutuhan kamu selama satu
minggu. Kata Tante Ayu nanti kamu tidur di lantai bawah takutnya ada fitnah kalo kamu tidur di lantai atas, kan Alan kamarnya di atas. Tolong kamu nurut sama bunda ya, bunda lagi pusing disini. Maafin bunda sayang, bunda tutup yah kamu hati-hati."
Sambungan Terputus.
Aluna mendengus kesal, kenapa hidupnya
seperti ini? Kenapa semakin hari semakin
dekat dengan manusia bisu ini.
Aluna memijat keningnya dan
memejamkan matanya. Dunia remajanya
sudah rusak semua. Rusak hanya karena
perjodohan sialan ini. Aluna sangat
tertekan, ia takut jika nanti menikah ia
tidak bisa bahagia.
Alan tahu jika gadis di sampingnya sedang
memikirkan sesuatu.
Ia kemudian tergerak untuk menanyakan
sesuatu padanya, namun ia berfikir ulang.
Terus berfikir hingga akhirnya telah
sampai di depan gerbang rumah Aluna.
"Masuk dulu Lan." Ujar Aluna terlihat
murung.
"Nggak usah." Alan terus memandang
ke depan tanpa melihat wajah murung
Aluna. Ia nampak tidak peduli namun di
hatinya ia ingin tahu apa yang terjadi pada
tunangannya itu.
"Kata bunda gue suruh nginep di rumah
lo. Lo bisa bantuin gue bawa barang?
Ngga banyak sih yang penting cukup untuk
satu minggu." Jelas Aluna kemudian ia
membuka pintu mobil.
Aluna membereskan pakaiannya dalam
lemari cukup besar yang terdapat di kamar
tamu itu. Aluna hanya membawa beberapa
pakaian yang sekiranya cukup untuk
beberapa hari kedepan.
Ponsel yang terletak di atas nakas berbunyi
nyaring mengganggu si empunya yang
sedang membereskan pakaiannya.Mau
tidak mau ia harus mengangkat telepon itu
takutnya penting.
Dara.
"Apaan? Ganggu gue tau nggak!"
"Gue kerumah lo kok sepi sih? Emang nggak
ada orang ya?"
"Besok gue ceritain. Gue lagi di rumah
Alan"
"Hah? Ngapain?"
"Lo budek ya? Gue bilang besok gue
ceritain bego!"
"Iya maap, yaudah gue balik." Panggilan
terputus.
***
"Lusuh amat muka." Ujar Lio melihat Alan
yang terlihat murung.
"Gapapa" singkatnya,ia memang sangat
acuh pada keadaan sekitar.
Melihat Mbok Ijah membawa pesanan
teman-temannya, ia langsung memesan
kopi, "Mbok Kopi kaya biasa ya"
"Siap." Balas mbok Ijah sambil
mengacungkan jempolnya di sela-sela
meletakan pesanan Lio, Rai dan Gibran.
"Lan lo kayaknya harus ati-ati deh sama si
Devan anak baru itu." ujar Gibran menatap
Alan serius.
Alan yang sedang fokus dalam ponselnya
langsung beralih pada Gibran. Ia
mengernyitkan dahinya,siapa yang ia
maksud? Bahkan Alan pun tidak tahu siapa
Devan yang Gibran bicarakan.
Seolah Gibran tahu dari tatapan Alan
bahwa ia bertanya apa maksudnya.
Gibran menghela nafasnya, ia langsung
menjelaskan pada Alan.
"Devan itu anak baru di kelas Dara. Nah
gue di ceritain sama Dara kalo Devan itu
mantan Luna. Katanya, Devan itu pergi
tanpa pamit sama Luna dan sekarang dia
dateng bermaksud buat kembali lagi sama
Luna."
Alan mengernyitkan dahinya bingung. Ia
acuh pada ucapan Gibran barusan.
"Apa hubungannya sama gue?" Alan
kembali pada ponselnya.
Lio yang sudah tahu ceritanya dan
sekarang ia tertegun dengan ucapan Alan
barusan.
"Astaghfirullah. Lo ngga takut gitu kalo
Luna tunangan lo bakal balik sama
mantannya?"
"Gue tunangan sama dia atas kemauan
nyokap. Kalo dia ngga mau ya gue
bersyukur karena gue sama sekali
nggak suka sama dia." Ia mengepulkan
asap rokoknya, ia terlihat tidak peduli.
Bahkan tidak ada perasaan khawatir atau
cemburu. Kata orang adanya cemburu
karena adanya cinta, Alan tidak cemburu
karena Alan tidak cinta. Ralat, bukan tidak
cinta. Namun belum cinta.
Berjam-jam mereka duduk dan bersenda
gurau di warung mbok Ijah. Kini jam sudah
menunjukkan pukul 7 malam, mereka
kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Alan juga akan pulang, ia melajukan
motornya.
"Alan kamu baru pulang?" Tanya Ayu
sedang menonton televisi di ruang
keluarga. Semenjak Ayu sembuh ruangan
itu terasa hangat, sebelumnya sangat dingin
dan terlihat bayang-bayang pertengkaran
Adam dan Ayu.
Semua foto Adam dan ayu pun sudah Alan
simpan di gudang, ia menggantinya dengan
foto Ayu, jadi seisi ruang keluarga banyak
foto ayu.
"Iya mah, Alan tadi ke warung biasa sama
temen-temen." Alan menyalami Ayu dan
duduk di sampingnya. Ia ikut menonton
televisi, tayangan sinetron yang Alan
tidak suka. Tapi ia hanya berniat ingin
menemani Ayu.
Suara pintu terbuka terdengar dari arah
Kamar tamu. Terlihat gadis tinggi dengan
kaos pendek dan celana pendek keluar
dari Kamar itu. Rambutnya di cepol
namun masih menyisakan beberapa helai
di bawahnya, membuat Aluna terlihat
cantik.
Alan yang melihat Aluna langsung teringat
akan ucapan Gibran tadi sore.
"Eh Luna sini sayang." Ayu tersenyum ke
arah Aluna.
"Iya mah." Aluna hanya menurut saja,ia
sebenarnya ingin mengajak Alan untuk
keluar karena ia ingin membeli paket data.
"Kita makan yuk, Bibi udah siapin." Ayu
kemudian bangkit dari duduknya dan
berjalan menuju meja makan.
Makan malam dengan suasana keheningan
tidak ada yang membuka suara, hanya piring dan sendok.