Seorang gadis dengan tubuh lumayanbtinggi sedang menunggu seseorang di bandara. Tak butuh waktu lama, seseorang yang di tunggu datang.
"Abang!" Panggil gadis itu.
"Aluna." kemudian lelaki itu berhamburan memeluk Aluna-adiknya.
"Bang Luna kangen." Aluna memang sangat manja pada abangnya, bukan karena apa tapi Aluna jarang bersama dengan ayahnya jadi ia seperti itu pada abangnya-Burhan Abida.
"Bunda mana?" Tanya Burhan.
"Bunda di mobil, sana yuk" kemudian mereka memasuki mobil.
"Bunda." Burhan memeluk erat Maya-bundanya.
"Kamu baik nak?" tanya Maya.
"Baik Bun."
"Oh iya sebelum pulang, kita ke rumah sakit permata dulu ya. Kamu ketemu dulu sama Ayah, tadi pagi ayah bilang kita kesana dulu" jelas Maya.
"Iya Bun." Maya sangat bahagia bertemu dengan putranya itu, ia merangkul kedua anaknya, ia sangat bahagia, ia ingin berbagi kebahagiaan ini pada sahabatnya nanti.
***
"Den bangun, den Alan belum makan dari pulang sekolah." Bi Sumi terus menggoyangkan tubuh majikannya itu. Ia tidak mau jika majikannya sakit karena telat makan.
"Iya bi sebentar." ujar Alan masih memejamkan matanya.
Tok, tok, tok.
"Ada tamu den, sebentar bibi buka dulu pintunya. Nanti den Alan langsung bangun takutnya itu tamu den Alan." kemudian Bi Sumi langsung turun untuk membukakan pintu, melihat siapa yang bertamu.
"Tuan." Bi Sumi tersenyum, rupanya yang datang Adam.
"Alan kemana bi?" Tanya Adam matanya menyapu seluruh ruangan itu mencari keberadaan putranya.
"Ada di kamar tuan, tadi saya sudah membangunkan den Alan." jelas bi Sumi.
Tanpa mengatakan apapun, Adam langsung
menaiki tangga menuju kamar putranya.
Setelah masuk, terlihat laki-laki itu terduduk di balkon dengan tampilan yang acak-acakan karena habis bangun tidur.
"Alan!" Panggil Adam tegas Alan menoleh, suara itu tak asing lagi di telinganya.
"Papa ngapain kesini" tanya Alan santai.
"Kamu itu benar-benar anak nggak bisa di atur. Semalam papa bilang apa! Kenapa kemarin kamu ngga datang ke kantor Lan!" Adam sudah benar benar marah, ia sudah berkali-kali membujuk Alan agar bisa melanjutkan bisnisnya.
"Alan sudah bilang pah, Alan nggak mau! Kenapa Alan terus dipaksa. Kenapa bukan anak manja itu! Setiap kemauan Alan nggak pernah papah kasih, tapi kemauan anak manja itu? Apapun papah lakuin agar anak manja itu bahagia. Kenapa papa
pilih kasih! Apa cuma gara-gara Alan ini anak dari perempuan yang papah nggak cinta?! Iyakan pah!" Adam terkejut dengan penuturan Alan, Alan benar-benar sudah berani padanya.
"Alan berhenti! Kamu itu lagi bicara sama orang tua!" Bentak Adam.
"Alan bakal hormati papah kalo papah juga hormati keputusan Alan." kemudian Alan turun kebawah meninggalkan Adam.
"Kamu ini sudah berani sama papah!" Teriak Adam, ia turun menyusul putranya.
"Papah juga udah berani ninggalin keluarga ini!" Lagi-lagi Alan berbicara dengan nada tinggi.
"Kamu ini--" tangan Adam sudah berada di udara untuk menampar pipi Alan, namun gadis mungil menghalangi.
"Papah Abang stop!" Ujar gadis itu.
"Ayla kok kamu turun sayang" ucap Adam lembut.
"Ayla nggak mau abang sama papah berantem terus." gadis itu tak lain anak dari Adam, Ayla Fidelyo.
"Abang nggak papa kan?" Walaupun Ayla adalah adik tiri Alan, namun Ayla sangat menyayangi abangnya itu.
"Lo nggak usah sok peduli!" Sinis Alan.
"Adikmu ini baik Lan! Kenapa kamu nggak pernah hargai Ayla!" Namun Alan tak menggubris ucapan Adam.
"Sayang, kamu ke mobil dulu yah. Nanti papah nyusul." Adam mengusap punggung Ayla.
"Urus aja anak manja itu pah, dia lebih butuhin papah!" Setelah mengucap kata itu, Alan pergi mengendarai motornya.
Di rumah itu sudah biasa terjadi adu mulut antara Adam dan Alan. Hati mereka sama-sama keras, jadi susah untuk di satukan. Ditambah dengan kelakuan Adam yang tidak bisa di maafkan oleh Alan.
15 menit Alan menghentikan motornya di parkiran rumah sakit permata. Sudah biasa setelah adu mulut dengan Adam, Alan mengunjungi Ayu. Itulah yang membuat Alan sedikit tenang. Dulu setelah Alan ribut dengan Adam, biasanya Adelia lah yang
menemani dan menghiburnya. Namun Tuhan mengambilnya, Alan mencoba untuk ikhlas.
Alan membuka knop pintu, pemandangan masih sama. Penghuni di ruangan itu masih tidak sadarkan diri.
Alan duduk di samping ranjang Ayu, memegang tangannya erat.
"Mah Alan kangen, Alan butuh mamah." lirih Alan, ia kembali meneteskan air matanya di depan Ayu.
"Papah semakin paksain Alan mah, Alan nggak suka dipaksa." Air matanya deras membasahi pipi Alan.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampakkan dokter Aditama.
Alan langsung mengusap air matanya, dan tersenyum ke arah Aditama.
"Sudah lama disini Lan?" Tanya Aditama.
"Sudah" singkat Alan.
"Om periksa sebentar ya, kamu duduk dulu di sofa." perintah Aditama.
Kemudian Alan duduk melihat dokter itu dengan lihai memeriksa Ayu.
Wajah gembira terpampang jelas di wajah pria paruh baya itu.
"Baik Alan, perkembangan ibumu sudah meningkat. Ini benar-benar mukjizat, di perkirakan tak lama Ayu akan sadar dari komanya. Kamu terus berdoa saja." jelas Aditama.
"Baik om." Alan yang mendengar penjelasan itu langsung menampilkan wajah cerianya.
"Oh iya, Maya istri saya akan menengok Ayu. Dia sudah di depan." ujar Aditama Alan hanya mengangguk kemudian ia duduk di samping Ayu, memegang erat tangannya.
Masuklah 2 perempuan dan satu laki-laki dewasa, Alan yakin itu keluarga Aditama yang tak lain sahabat ibunya.
"Ini Alan?" Tanya laki-laki dewasa itu.
"Iya bang, kamu dulu liat masih bayi lucu. Sekarang udah tumbuh besar kan" jelas Maya.
Alan hanya diam dan tersenyum kecil, ia tidak tahu apa yang sedang di bicarakan.
"Oh ya kenalkan ini anak om Aditama yang pertama, Burhan." Maya memperkenalkan Burhan.
"Dan yang ini Aluna, anak kedua." Maya memperkenalkan Anak keduanya.
Alan hanya tersenyum, kemudian ia memberi ruang agar mereka bisa mendekat ke ranjang Ayu.
Maya duduk, memegang tangan Ayu erat. Air mata Maya menetes, ia tak menyangka bahwa sahabatnya itu akan mengalami koma yang panjang.
"Kita berdoa untuk Tante Ayu yah, Alan sini ikut gabung." Ajak Maya.
Kemudian mereka berdoa, agar Ayu mendapatkan mukjizat.
"Alan kita ke kantin dulu yuk, kamu pasti belum makan." Ajak Maya sambil memegang pundak Lelaki itu.
"Nggak usah Tante" tolak Alan, sejujurnya Alan memang lapar tapi ia tidak mau merepotkan orang lain.
"Tante dan Ayu itu sahabat udah lama, kalian sudah seperti keluarga Tante. Ayo kita kekantin rumah sakit atau ke restoran mana?" Tanya Maya.
"Itu Bun restoran depan rumah sakit" celetuk Aluna.
"Ya sudah ayo."
Kemudian mereka keluar dari rumah sakit menuju tempat makan yang di tujukan oleh Aluna.
"Burhan, Aluna bunda perlu bicara berdua sama Alan. Kita duduk terpisah yah." ujar Maya.