Alan membuka knop pintu ruang rawat Ayu-ibunya.
Bau obat-obatan menyeruak ke dalam Indra penciuman Alan.
Alan berjalan pelan menuju ranjang Ayu. Terlihat perempuan paruh baya terbaring lemah, infus dan alat bantu pernafasan terpasang di tubuhnya.
Alan duduk di kursi dekat ranjang Ayu, ia memegang erat tangan ayu.
"Mah, kapan pulih? Alan kangen." laki-laki kekar itu tak bisa menahan air matanya.
"Mamah kalo udah sadar nanti, pasti apa yang mamah minta Alan kabulin mah."
"Alan janji." Alan menciumi tangan Ayu. Setiap hari Alan sering menjenguk Ayu, kadang-kadang sahabatnya juga ikut menjenguknya.
Pintu ruangan itu terbuka, menampakan perempuan dewasa berseragam putih-putih.
"Permisi mas, saya mau mengganti infusnya dulu." ujar suster itu.
Alan hanya mengangguk, kemudian ia duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu.
Tak butuh lama, semuanya sudah selesai.
"Mari." kemudian suster itu pergi meninggalkan Alan dan Ayu.
Alan menyenderkan tubuhnya di sofa. Melihat wajah ayu dari kejauhan, berharap perempuan itu terbangun dari komanya.
Gibran is calling...
"Lan?" Sapa Gibran.
"Ya?"
"Ngumpul yuk, kita di basecamp nih." ucap Gibran semangat.
"Ngga bisa, nemenin nyokap." secara tidak langsung, Alan menolak karena ia sedang menemani Ayu.
"Yaudah deh, salam dari kita buat Tante Ayu ya. Bye Lan!" Gibran langsung mematikan telponnya sepihak.
Alan duduk di samping Ayu, mengamati wajah pucat Ayu. Ia benar-benar rindu akan sosok wanita di depannya itu.
Alan kemudian memejamkan matanya dan tertidur pulas di samping ayu. Ia sudah terbiasa tidur di rumah sakit, biasanya hanya malam Minggu atau sabtu. Karena ia harus sekolah jadi di hari-hari
sekolah ia tidur di rumah.
Adzan subuh berkumandang, Alan langsung tersadar dari tidur lelapnya. Ia mengucek matanya kemudian bangkit untuk membuka gorden. Memang Alan sengaja memilih ruang VIP agar Ayu
nyaman.
Kemudian ia menelfon seseorang.
"Hallo bi?" Suara serak Alan khas bangun
tidur.
"Iya den, bibi sudah masak dirumah. Apa bibi bisa kesana sekarang den?" Jadi bibi Sumi lah yang sering bergantian menjaga Ayu. Beruntung dirumah ada pak Darto, suami bi Sumi.
"Iya bi, Alan pulang sekarang. Bibi di anter pak Darto aja." ujar Alan.
"Baik den." sambungan terputus.
Alan mengecup kening Ayu, duduk di sebelah ranjang Ayu.
"Mah, Alan pulang dulu ya. Nanti Alan nemenin mamah lagi, baik-baik ya mah. Assalamualaikum mah." Alan mencium punggung tangan Ayu, dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Alan menaiki motornya, ponselnya berdering. Menandakan ada panggilan masuk.
Om Aditama is calling...
"Assalamualaikum Alan" sapa seseorang di sebrang sana.
"Waalaikum salam om. Ada apa?" Tanya Alan.
"Om hari ini ngga ada jadwal, jadi om ngga ke rumah sakit. Tapi ada beberapa hal mengenai ibumu yang harus om sampaikan, bisa Alan kerumah om?" Jelas Aditama.
"Baik om, saya kesana 2 jam lagi."
"Saya tunggu." kemudian sambungan terputus.
Alan langsung menyalakan motornya, dan menembus jalanan kota di pagi hari.
Motor CBR150R berhenti di parkiran TPU, Alan berjalan membeli bunga dan air di area pemakaman itu.
Ia memakai kaca mata hitam dengan rambut yang di biarkan berantakan, namun masih terlihat tampan. Bahkan sangat tampan.
Berjalan melewati puluhan makam, akhirnya ia sampai di tempat tujuan.
Ia berlutut, membersihkan area makam seseorang.
Adelia Putri binti Sanjaya.
Nama itu lah yang terukir di batu nisan.
"Hai Del." sapa Alan, ia berusaha tersenyum di depan makam Adel. Wanita yang sangat ia cintai.
Ia telaten membersihkan makam Adel dan menyiramnya.
Ia mengusap batu nisan itu, air matanya mengalir sendirinya.
"Del, aku kangen." lirih Alan.
"Kamu bilang bakal nemenin sampe mamah sembuh. Kita bakal hidup bahagia nantinya." Alan menangis tersedu-sedu.
"Aku kangen Del, kangen makan di pinggir jalan itu Del. Terus kita main ke danau Del." Alan tersenyum hambar.
Kemudian Alan membacakan Al-fatihah dan mengirim doa untuk Adel.
"Baik-baik disana Del. Aku pergi dulu, besok-besok aku kesini lagi ya Del. Aku selalu sayang sama kamu. Assalamualaikum Adel." Alan kemudian
mencium batu nisan itu,dan bangkit meninggal pemakaman itu.
***
Motor CBR150R berhenti di depan rumah megah milik dokter Aditama. Sebelum kerumah dokter Aditama, ia menyempatkan diri untuk bersih-bersih. Mau bagaimana pun Alan adalah
sosok laki-laki yang suka dengan kebersihan. Sama seperti ibunya, Ayudia Fidelyo.
"Cari siapa mas?" Tanya satpam.
"Om Aditama."
"Silahkan masuk." sopan satpam tersebut.
Tok, tok, tok.
Pintu terbuka menampakkan gadis cantik dengan hotpants dan rambut di biarkan terurai.
"Ini kan si Alan cowok bisu." Batin gadis itu.
"Adaa tamu kok ngga di suruh masuk Lun." celetuk perempuan paruh baya di belakang gadis itu.
"Eh iya, silahkan masuk."
Gadis itu kemudian pergi masuk kedalam meninggalkan bundanya dan Alan.
"Om Aditama ada?" Tanya Alan sopan.
"Ohh ada, sebentar yah"
Selang beberapa menit, mereka keluar.
"Alan sudah datang toh." sapa Aditama.
"Iya om." Alan hanya tersenyum kecil.
"Kita bicara di ruang kerja saya aja, mari ikut saya." Alan hanya mengekor di belakang Aditama.
Setelah masuk, menampakkan ruang kerja yang tertata rapi. Ada foto keluarga dan dirinya.
Ada satu foto yang menarik perhatian Alan. Foto dua bayi yang dijejerkan.
"Foto ini sama kaya foto yang pernah mamah kasih ke gue yah." Batin Alan.
"Ah mungkin muka gue pasaran." Alan mencoba berfikir positif.
Aditama yang menyadari itu pun mengerti. Alan sedang bingung siapa yang di foto itu.
"Nanti saya jelaskan." Aditama tersenyum Alan hanya tersenyum kecil.
"Sudah hampir 2 tahun lebih Ayu belum juga sadar dari komanya. Saya berfikir, kamu harus membawanya ke luar negeri saja Lan. Dari dulu om sudah peringatimu tapi kenapa Alan masih kekeh di rawat di rumah sakit permata?" Jelas Aditama.
"Saya yakin om, ibu saya akan sembuh disini." Alan sangat yakin jika Ayu akan sembuh.
"Baik, saya mengerti." Aditama tidak bisa memaksakan Alan, ia tahu sifat ibunya menurun pada anak laki-laki itu.
"Ini siapa?" Tanya Alan memegang foto 2 bayi itu.
"Itu kamu dan anak saya."
Alan mengerutkan keningnya, ia tidak pernah mempunyai teman kecil.
"Mezzaluna Maharani, jadi Maya istri saya adalah teman dekat Ayu ibumu. Mereka melahirkan bersama, di rumah sakit yang sama pula. Namun, setelah kamu dan Aluna lahir, saya dan keluarga
pergi ke luar kota. Karena saya di tugaskan
disana. Sejak saat itu kamu dan Aluna tidak
pernah bertemu." jelas Aditama.
"Namamu dan Aluna memang terlihat sama, karena Maya dan Ayu sudah merencanakannya. Aluna sering berkunjung ke ruang rawat Ayu. Namun tak pernah sekalipun bertemu dengan mu
Alan." jelas Aditama lagi.
"Terakhir saya ketemu dengan Aluna berarti waktu bayi om?" Tanya Alan penasaran.
"Tadi"
Alan mengerutkan keningnya ia benar-benar tidak tahu kapan ia bertemu Aluna.
"Tadi Aluna yang bukain pintu kamu bukan?"
"Jadi dia Aluna? Dia bukannya kapten tim basket putri?" Batin Alan.