Chereads / Ketika Dia Pergi / Chapter 16 - Masalah

Chapter 16 - Masalah

"Sh**!!" Rio memukul setir mobilnya frustasi. Cahaya lampu-lampu mobil reporter TV sudah memenuhi halaman rumah sakit, walau beberapa sekuriti berjaga disitu siap menghalau mereka yang menghalangi mobilitas rumah sakit.

Begitu cepatnya berita menyebar, entah siapa sumbernya. Rio mendengus tak sabar kala mobilnya melaju menembus kerumunan. Untunglah halaman parkir belakang masih sepi, sehingga Rio punya ide untuk masuk lewat pintu belakang.

Dengan penuh harap Rio menghubungi Dokter Devin, temannya yang bekerja di rumah sakit ini.

"Vin, tolong gue. Parkiran depan sudah dipenuhi mobil reporter. Gue harus membawa Tania diam-diam tanpa ketahuan mereka."

Untunglah Devin sedang bertugas jaga di bangsal tempat Tania dirawat. Semua urusan administrasi juga sudah beres, entah siapa dan entah kapan dibereskan, Rio tidak tahu. Yang jelas kondisi Tania sudah ready untuk keluar dari rumah sakit itu.

Secara fisik Tania memang sudah sembuh. Tangannya yang terluka sudah ditangani dengan baik, sehingga hanya tinggal menunggu pemulihan, dan dua kali sehari diganti perban. Namun secara psikis, kondisi Tania sangat tidak baik. Sebenarnya dia lebih membutuhkan psikolog dan psikiater ketimbang dokter biasa. Mungkin Nyonya Trisna berencana membawa Tania ke psikiater yang ada di Kota Alpan, sesampainya disana.

Akses pintu belakang sebenarnya terlarang untuk pengunjung, namun Dokter Devin memiliki akses spesial sehingga Rio bisa masuk.

"Bagaimana Tania?," tanya Rio sambil membuntuti Devin menyusuri lorong rumah sakit yang sedikit temaram. Bangsal-bangsal terlihat sepi karena sebagian besar penghuninya sedang terlelap. Hanya satu dua orang perawat yang berjaga di posnya. Mereka mengangguk pelan ketika kedua dokter itu melintas.

"Gara-gara suaminya itu, sekarang orang-orang tahu kalau Tania dirawat disini," kata Devin dengan nada kesal.

"Apa yang terjadi?"

"Pria itu datang sekitar jam setengah sembilan tadi malam, membuat keributan dengan memaksa masuk ke ruang rawat inap. Kebetulan masih jam besuk, sehingga banyak keluarga pasien waktu itu. Tak ayal banyak yang merekam kejadian dia mengamuk. Untung sekuriti sigap mengamankan."

Rio menghembuskan nafas karena tegang mendengar cerita sahabatnya itu. "Jadi dia tidak sempat bertemu Tania?"

"So pasti tidak! Nyonya Trisna sudah memberi peringatan keras untuk melarang siapapun mendekati kamar Tania. Bahkan suaminya itu sekalipun."

"Ah, syukurlah."

"Hemm...tidak terbayang kalau Tania bertemu Benny Dirgantara. Bisa-bisa kondisi psikologisnya semakin terguncang parah "

Rio mengangguk, mengimbangi langkah Devin mendekati lorong kamar VVIP tempat Tania dirawat. Lorong itu menggunakan sensor gerak, lampunya hanya menyala saat ada orang yang melintas dan kembali padam setelah mereka menjauh. Sehingga terkesan agak spooky. Walau disiang hari mungkin lorong ini terlihat indah dengan wall paper berwarna kuning gading, dan lukisan-lukisan repro yang menghiasi dinding.

Devin membuka sebuah pintu kamar dan Rio langsung berhadapan dengan sosok perempuan berambut panjang tergerai yang sedang berdiri di depan pintu. Jantung Rio nyaris saja melorot karena terkejut.

"Astaga!" serunya seraya memegang dadanya yang mendadak ribut.

Devin nampak lebih tenang dari Rio. Tangannya sigap menggandeng Tania kembali ke tempat tidurnya.

"Dia terkadang sering berjalan saat tidur," kata Devin menjelaskan. "Kami masih mengobservasi penyebabnya. Apa kebiasaan itu muncul setelah percobaan bunuh diri kemaren, atau sudah ada sebelumnya."

"Oh," jawab Rio tercekat. Malu-maluin aja, dia dokter, tapi kadang masih suka kagetan. Padahal dulu sewaktu masih menjadi mahasiswa kedokteran, tidur bersama mayat pun dia pernah.

Devin hanya tersenyum simpul. Sebuah kursi roda sudah tersedia di sudut ruangan. Devin mendorong kursi roda itu mendekati tempat tidur.

"Kita tak bisa membawanya melalui pintu depan. Jadi mau tidak mau harus lewat pintu belakang tadi," kata Devin.

Rio mengangguk. Devin mengangkat tubuh Tania dan mendudukkannya di kursi roda. Kepala wanita itu terkulai, namun dia sama sekali tidak terbangun dari tidurnya.

"Apa dia aman untuk dibawa?," tanya Rio sambil memandang Tania dengan perasaan khawatir. Perempuan itu terlihat rapuh sekaligus cantik. Tak berdaya sekaligus mempesona. Membuat Rio mesti menarik nafas beberapa kali untuk menetralkan perasaannya.

Bagaimanapun Tania sekarang adalah pasiennya, tanggung jawabnya. Urusan perasaannya itu nomor dua sekarang, tak boleh dicampur adukkan demi profesionalismenya.

"Aman. Dia diberi dosis obat tidur yang lumayan kuat beberapa hari ini. Jadi kemungkinan kecil dia akan terbangun."

Rio dan Devin bekerja sama mendorong Tania keluar dari kamar itu. Sebenarnya lebih mudah jika menggunakan brankar pasien. Tapi mereka khawatir hal itu akan lebih menarik perhatian orang-orang, sehingga memutuskan lebih aman menggunakan kursi roda. Rio terpaksa memegang kepala Tania supaya leher wanita itu tidak terkilir.

Mereka bergerak cepat melintasi lorong dan berhasil keluar lewat pintu belakang tadi. Cepat-cepat Rio mendorong kursi roda Tania mendekati mobilnya di parkiran. Kepala Tania terkulai di sandaran kursi roda yang tidak terlalu tinggi, sehingga Rio terpaksa menyandarkan kepala Tania di lengannya.

"Gue bantu sampai disini," kata Devin setelah mereka berhasil mengangkat tubuh Tania dan membaringkannya di kursi belakang. Tania menggeliat dan mengigau sebentar. Namun sekejap kemudian kembali tertidur pulas.

"Trims. Cuma sekarang gue bingung gimana nasib mobil gue kalau gue tinggalin di bandara?," tanya Rio sambil tertawa getir. Tadi malam Nyonya Tris menyuruh Rio menggunakan ambulans untuk membawa Tania ke bandara. Namun ambulans yang dimaksud entah dimana, pun tidak terlihat tanda-tanda sopir yang stand by seperti yang dikatakan sebelumnya.

" Perubahan rencana," kata Devin. " Ambulannya dibatalkan, sehingga mau nggak mau lo yang bawa Tania ke bandara pakai mobil lo. Menggunakan ambulans jelas pilihan buruk, karena wartawan-wartawan di depan pasti curiga."

Rio meringis. Sedangkan Devin menepuk pundak Rio seraya tertawa. "Kalau gue jadi elo, mobil jelek ini adalah hal terakhir yang akan gue pikirkan. Lo bisa minta ganti sama Nyonya Tris. Dia kaya, jadi lo minta Lexus pun mungkin bakal dikasih."

"Enak aja ngatain mobil gue jelek. Jelek-jelek gini gue beli pakai gaji gue, bukan minta," Rio mencibir.

"Kalau gantinya Lexus, siapa yang berani nolak?"

"Mimpi kali yeee," seloroh Rio. Namun karena Devin menyebut-nyebut soal mobil Lexus, Rio jadi teringat Pak Ton. Perasaannya sedikit lebih tenang, karena yakin Pak Ton pasti bisa mengurus mobilnya nanti.

Rio menjalankan mobilnya perlahan meninggalkan parkiran. Kerumunan wartawan di halaman depan semakin ramai saja. Suasana disana gaduh dan terang benderang oleh lampu-lampu kendaraan wartawan.

Keringat dingin mulai mengalir dari sekujur pori-pori kulit Rio saat mobil yang dikendarainya semakin mendekati keramaian. Jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat, membuat tangannya bergetar karena gugup.

Tepat sesudah melewati gardu pembayaran tiket parkir, mobil Rio nyaris menyenggol sebuah mobil yang baru masuk dari arah berlawanan. Spion mobil mereka sudah bersenggolan, walau tidak menimbulkan kerusakan sama sekali.

Kaca mobil yang disenggol Rio terbuka, menampakkan seraut wajah yang membuat Rio semakin berkeringat dingin.

Benny Dirgantara!