Chereads / Ketika Dia Pergi / Chapter 22 - Telepon dari Dokter Rio

Chapter 22 - Telepon dari Dokter Rio

Emily duduk bermenung di meja belajarnya. Buku Lembaran Kerja Siswa Matematika terkembang di hadapannya, tapi pikirannya mengembara.

'Mulai sekarang kamu langsung pulang ke rumah sepulang sekolah,' perintah Ayahnya tadi pagi kembali terngiang-ngiang di telinganya. 'Tahun depan kamu akan Papa kirim keluar negeri. Katanya mau jadi desainer?'

Menjadi seorang desainer masih menjadi passion Emily sampai saat ini. Walau semangatnya mungkin sudah jauh berkurang semenjak ibunya tidak bisa diajak diskusi lagi tentang fashion, tentang pentas mode dunia, tentang kostum-kostum panggung, dan perkembangan dunia selebritis. Emily seperti menjalani sebuah kehidupan yang lain di kota kecil ini. Walaupun dia bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang baik seperti Riana, Enji dan Adella, namun tidak bisa menutup sepenuhnya kehampaan di hatinya. Tak bisa dipungkiri Emily rindu mamanya. Semenjak neneknya meninggal dan papanya datang ke Alpan, dia terpaksa berpisah dengan ibunya dan dokter Rio yang telah menjadi sahabat baiknya selama tiga tahun belakangan.

"Mungkin memang lebih baik jika ibumu mendapatkan perawatan yang lebih intensif di Kota," ujar dokter Rio waktu itu. "Terlebih dengan kedatangan ayahmu, hanya akan membuat ibumu semakin buruk kondisinya."

Memang sejak ayahnya kembali, ibu Emily menjadi semakin gelisah. Seolah traumanya yang lama kembali bangkit. Memang salah Tania yang menolak untuk bercerai, terlalu bucin dan berharap Benny akan sadar dan kembali pada mereka. Bahkan Nyonya Trisna pun tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Benny kembali, Tania sempat merasa sangat bahagia dan tersadar dari dunia halusinasinya. Namun ternyata kedatangan Benny hanya untuk menguasai kekayaan keluarga Zillian dan menyingkirkan Tania dari kehidupannya.

Sekarang Benny juga bermaksud menyingkirkan Emily dengan dalih hendak mengirimnya sekolah ke luar negeri.

Tiga tahun yang lalu Emily sangat bersemangat untuk bersekolah ke luar negeri. Namun sekarang dia justru merasa galau, karena khawatir papanya justru akan semakin merajalela menguasai harta warisan ibunya.

"Non, ponselnya berdering tadi," kata Bu Narti, pelayan Nyonya Trisna yang masih setia bekerja di rumah itu meski Nyonya Trisna sudah tiada.

"Terimakasih Bu," jawab Emily menerima ponselnya yang memang tertinggal di meja makan ketika dia makan siang tadi.

Emily memeriksa log panggilan dan memekik senang saat mengetahui ada telpon dari Dokter Rio. Telepon dari dokter Rio adalah sesuatu yang dia tunggu-tunggu, karena pasti membawa kabar tentang Mama yang sangat dia rindukan.

Bergegas Emily menelpon balik, yang langsung diangkat dokter Rio pada deringan pertama.

"Hai Om, aku kangen tahu!" ujar Emily setengah merajuk. Sejak Dokter Rio mengikuti ibu Emily yang dirawat di sebuah klinik kesehatan mental di kota provinsi, komunikasi mereka sedikit terbatas. Dulu saat Dokter Rio menjadi dokter pribadi ibunya di rumah ini, Emily sangat bahagia dan nyaris melupakan kesedihannya. Namun sejak ayahnya datang dan memindahkan perawatan ibunya ke kota lain, Emily menjadi sangat kesepian.

"Om juga kangen tahu," ujar dokter Rio sambil tertawa pelan. "Kamu apa kabar? Masih sibuk bersenang-senang dengan trio Kwek-kwek?"

Trio Kwek-kwek adalah julukan yang diberikan dokter Rio untuk Riana, Enji dan Adella.

"Hehehe, Alhamdulillah sehat, walau nggak bisa juga dibilang baik," jawab Emily.

"Loh kenapa? Apa papamu yang gendeng itu bikin ulah lagi?"

Emily terdiam. Mendadak dia merasa sedih.

"Aku kangen Mama, Om," Emily mendesah sedih. "Papa semakin mengekangku sekarang. Aku harus langsung pulang ke rumah sepulang sekolah, tak bebas lagi seperti dulu. Bahkan sampai menyuruh orang untuk mengantar jemputku. Katanya mau memindahkan sekolahku ke luar negeri tahun depan."

"Ke Singapura? Bukannya itu memang cita-citamu dulu? Belajar desain disana?"

"Dulu rencananya kesana bersama Mama. Sekarang Mama sudah...," kata Emily tercekat.

"Stop kalau kamu bermaksud bilang mamamu sudah gila."

"Aku nggak bilang Mama sudah gila!"

"Maaf."

Hening sesaat.

"Em..."

"Om," Emily dan Dokter Rio berbicara barengan. Dokter Rio tertawa.

"Ya silahkan, kamu duluan."

"Nggak ah, Om aja."

Dokter Rio terdiam sejenak. Terus-terang dia merasa sangat berat menyampaikan ini. Namun Emily perlu tahu, bahwa dia tidak bisa membantu Tania lagi.

"Em, Papamu sudah memecat Om sebagai dokter pribadi Mamamu. Sekarang Om tidak berhak lagi mendampingi Mamamu di klinik rehabilitasi itu," kata dokter Rio pelan. Terus-terang dia juga sangat kecewa dan marah. Namun Benny masih suami syah Tania. Rio tak bisa berbuat apa-apa.

"Apa? Kenapa Papa melakukan itu?," tanya Emily marah.

"Om tidak tahu. Kamu bisa bertanya sendiri pada papamu apa alasannya memecat Om."

"Lalu bagaimana dengan Mama?," tanya Emily putus asa. "Siapa yang akan menjaga Mama disana?"

"Mamamu akan baik-baik saja disini. Banyak dokter, psikolog dan perawat yang siaga dan siap menjaga Mamamu. Kalau soal itu, kamu tidak perlu khawatir."

Emily terdiam. Perlahan air mata turun membasahi pipinya. Emily merasa amat sangat sedih, kecewa dan marah. Rasanya ingin mengkonfrontasi papanya saat ini juga.

"Lalu rencana Om apa?," tanya Emily sambil menyusut air matanya.

"Om akan kembalikan ke Jakarta. Kelak jika kamu ada kesempatan, kita bisa bertemu. Kamu boleh simpan terus nomor Om ini. Boleh menelpon Om kapan saja, terutama kalau ada apa-apa denganmu," kata Dokter Rio mencoba menghibur Emily, gadis kecil yang sekarang sudah beranjak remaja itu.

Emily cuma mengangguk, walau tahu dokter Rio tidak bisa melihatnya. Tenggorokannya terasa sakit. Rasa sakit hati, amarah dan kecewa terhadap papanya semakin menjadi. Menimbulkan bara di dalam hatinya.

.

.

.

"Mau kemana, Non?," tanya Bu Narti menyapa Emily yang berderap turun dari kamarnya di lantai dua. Gadis itu memakai jaket bertudung di atas kaosnya. Celana jins berwarna hitam membungkus kakinya. Rambutnya yang coklat panjang diikat ke belakang. Sekilas Emily terlihat seperti mendiang neneknya, membuat Bu Narti terpana sesaat. Emily memang mewarisi wajah bule leluhurnya, Michael William.

"Aku mau ke kantor Papa, Bu," jawab Emily singkat sambil memasang tali sepatu sneakernya Wajah Emily tampak gusar, seperti memendam amarah.

"Kok tumben? Ada perlu apa? Sebentar lagi juga gelap loh, tunggu aja Papa Non pulang."

"Iya kalo dia ingat pulang," sergah Emily agak kasar, membuat Bu Narti mengerutkan kening.

Emily menggelengkan kepala dengan tegas. Dia mesti bertemu Papanya saat ini juga. Dia harus tahu apa alasan Papanya memecat Dokter Rio dan membiarkan Mamanya sendirian tanpa teman di klinik rehabilitasi mental itu.

Dengan berlari kecil Emily menyusuri perkebunan menuju kantor Zillian Farm Persada yang terletak tidak jauh dari situ. Meski baru pukul lima petang, suasana sudah mulai gelap. Kabut tipis yang biasa turun di daerah dingin perbukitan mulai merayap pelan, menyusupkan hawa dingin ke sumsum tulang. Emily memasang tudung jaketnya dan mendekapkan lengannya di dada. Dia berlari kecil untuk mengusir dingin, juga supaya lekas sampai di tujuan. Kantor papanya sudah dekat, lampu-lampu berwarna kuning terlihat berpendar di kejauhan.

Sepuluh meter menjelang gerbang kantor, Emily tergelincir karena kakinya menginjak tanah yang licin.

"Awwww!!," Emily berteriak saat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terbanting ke tanah.