Wajah Benny Dirgantara tampak gusar. Tampangnya kusut, rambutnya juga seperti tak tersentuh sisir selama beberapa hari.
Rio mengikuti berita tentang apa yang dialami oleh suami Tania itu lewat pemberitaan di sosial media. Mulai dari digerebek di sebuah kos-kosan, dipaksa warga untuk menikahi selingkuhannya karena ketahuan kumpul kebo, sampai pengakuan Mbak Yati sang ART yang mengungkap kebejatan Benny.
Andai Rio jadi lelaki itu, dia tak akan sanggup lagi keluar rumah karena menanggung malu. Namun Benny sepertinya sudah tak punya rasa itu, atau urat malunya sudah putus. Buktinya dia masih berani berkeliaran, malah sampai mencari keberadaan Tania di rumah sakit ini.
"Kalau jalan hati-hati lo! Punya mata nggak, sih?" Benny langsung memaki begitu Rio membuka sedikit jendela mobilnya.
"Maaf Pak, nggak sengaja", jawab Rio sambil mengangguk. Mengalah dan minta maaf lebih baik daripada ngotot pada orang yang sedang kalut seperti Benny.
Benny masih merepet tidak jelas, namun Rio malas menanggapi. Lagipula cuma spion mobil mereka saja yang bersenggolan dan tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Tanpa menghiraukan omelan Benny, Rio menjalankan mobilnya di jalan raya Jakarta yang masih sepi di jam tiga pagi.
.
.
.
Nyonya Trisna, Emily, dan Bu Narti sudah menunggu di bandara. Mereka akan menaiki sebuah pesawat jet pribadi yang disewa khusus oleh Nyonya Trisna untuk membawa anak dan cucunya pulang. Untungnya tadi di jalan Pak Ton menelpon Rio, memberitahukan bahwa mereka akan terbang dari bandara Halim. Pak Ton sudah menunggu Rio di parkiran dan akan membantu mengurus mobil Rio yang terpaksa ditinggal di Jakarta.
"Ayo kita menunggu di lounge," kata Nyonya Trisna memimpin rombongan kecil itu menuju lounge, yaitu ruangan tunggu khusus nan mewah untuk penumpang pesawat jet pribadi di terminal bandara itu.
Rio mendorong kursi roda Tania, sedangkan Emily digandeng Bu Narti. Sepertinya Tania sudah terbangun, namun sorot matanya masih terlihat kosong dan bingung. Wanita itu menegakkan kepalanya yang tidak terkulai lagi seperti tadi.
"Mama," kata Emily sambil mendekat ke arah Tania. "Mama sudah bangun?"
Tania tak menjawab. Rio memperhatikan bahwa Tania hanya melirik Emily sekilas lalu kembali acuh tak acuh. Benar apa yang dikatakan Devin, mental Tania sedang tidak baik-baik saja. Wanita itu sedang dalam kondisi kehilangan diri sendiri.
"Mama, ini aku. Emily," kata Emily lagi sambil terisak dan berjongkok di depan Tania. Mau tak mau Rio terpaksa berhenti mendorong kursi roda Tania.
"Narti, suruh dia terus berjalan!," perintah Nyonya Trisna, beliau terlihat terganggu dengan tingkah Emily yang menghalangi pergerakan mereka.
Bu Narti menarik tangan Emily seraya membujuknya untuk terus berjalan. Namun Emily bergeming.
"Mama kenapa, Om?," tanya Emily sambil melirik Rio dengan air mata berlinang. "Apa Mama menjadi gila?"
"Sssstt...Mamamu tidak gila, sayang. Hanya saja dia sedang dalam kondisi terluka dan perlu istirahat," jawab Rio seraya ikut berjongkok di sebelah Emily.
"Tapi kenapa Mama seperti tidak mengenaliku? Mama bahkan tidak menyahut saat aku mengajaknya bicara?"
"Mama baru bangun dari tidur, dan masih sakit juga. Biarkan Mamamu beristirahat ya?," ujar Rio membujuk.
Bu Narti meraih tubuh Emily dan membantunya berdiri. Sementara Nyonya Trisna yang tidak sabaran sudah berjalan semakin jauh.
"Yuk kita jalan dulu," ajak Bu Narti. "Nanti sampai di lounge Emily bisa ajak Mama Tania ngobrol sampai puas. Tuh lihat Nenek sudah jauh, takut kita ketinggalan pesawat."
Akhirnya Emily mau dibujuk. Bergegas mereka bertiga menyusul Nyonya Trisna. Namun ternyata di lounge mereka juga tidak bisa duduk lama, karena pesawat mereka sudah ready untuk terbang.
Alih-alih sebagai dokter, Rio merasa dirinya seperti perawat pribadi yang mengurusi semua kebutuhan Tania. Namun anehnya Rio merasa senang-senang saja, melakukannya dengan tulus karena rasa sayang dan kagumnya pada Tania. Rio mendorong kursi roda Tania dengan sabar sampai ke pintu pesawat. Lalu membopong tubuh wanita itu dan mendudukkannya di kursinya. Tubuh Tania terasa ringan dan hangat dalam pelukannya, membuat perasaan Rio menjadi luar biasa bahagia.
Diselimutinya tubuh mungil Tania, mengatur posisinya supaya nyaman. Dipilihkannya film yang bagus dan menghibur di layar, walau tahu Tania tidak tertarik untuk menontonnya. Dilakukannya semua itu dengan penuh perasaan, walau tahu dia sudah menyalahi kode etik profesinya untuk tidak melibatkan perasaan dalam pekerjaannya.
"Aku ingin duduk di sebelah Mama," kata Emily yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Rio mengangguk dan tersenyum, lalu membantu gadis cilik itu untuk duduk di kursinya.
"Emily bisa pasang seat belt sendiri?," tanya Rio.
Emily mengangguk. Rio memastikan seat belt Emily dan Tania sudah terpasang sempurna, baru duduk di kursinya.
Pesawat pribadi itu memiliki delapan kursi dengan sandaran mewah dan elegan. Ini kali pertama Rio terbang dengan pesawat pribadi.
Rio mengangguk dan tersenyum pada Nyonya Trisna yang duduk di bangku paling belakang, namun wanita tua itu hanya mengangguk kecil lalu membuang pandang ke arah jendela.
Langit biru. Udara cerah. Pesawat itu siap terbang mengarungi angkasa.
Itulah cerita awal kepulangan Emily ke kampung halaman ibunya, sebuah kota kecil bernama Alpan, di daerah ketinggian Bukit Barisan.
.
.
.
.
Back to Agustus 2020 :Emily lima belas tahun, tahun pertama di bangku SMA
Setelah mengalami tiga tahun pertamanya di Alpan, Emily akhirnya bisa beradaptasi dengan suasana kota yang sepi dan dingin itu. Kehidupan di Alpan sangat berbeda dengan kehidupannya di Jakarta dulu. Tak ada hiruk pikuk dan suasana hectic yang dulu akrab dengannya. Tak ada kemacetan lalu lintas, tak ada polusi udara, tak ada kerumunan fans yang mengerubungi ibunya.
Semua sudah berubah. Tiga tahun menghilang dari dunia hiburan tarik suara, pelan-pelan orang mulai lupa tentang Tania Zillian. Apalagi dengan semakin banyaknya penyanyi-penyanyi baru bermunculan, juga serangan boy band dan girl band dari Korea, maka Tania pun mulai terlupakan.
Dan itu bagus! Karena Emily tak sanggup membayangkan apa kata orang-orang jika mengetahui kondisi ibunya sekarang.
Fix, Tania mengalami gangguan jiwa. Emily sekarang hanya punya raga ibunya. Wanita cantik yang dulu tersenyum padanya dan memperlakukannya lemah lembut telah tiada. Tania yang tersisa hanya sesosok wanita bertubuh kurus dengan tatapan mata yang kosong. Sesekali Tania ingat nama anaknya, namun lebih sering dia tidak mengenali Emily. Hari-harinya hanya duduk di depan jendela, memandang ke kejauhan, ke arah danau kembar yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Ya, Emily dan ibunya masih tinggal di rumah itu, rumah besar namun sudah lumayan tua umurnya. Rumah yang dulu dibangun oleh leluhurnya, Rahmi dan Michael Zillian. Rumah dimana dulu Tania dibesarkan oleh neneknya. Sekarang Emily juga tinggal disini, bersama nenek yang masih enggan memanggil namanya.