Chereads / Ketika Dia Pergi / Chapter 19 - Adella Merajuk

Chapter 19 - Adella Merajuk

"Lo kok tega banget sih?," omel Adella sambil menarik lengan Emily yang baru saja masuk kelas. Ray masih berada di lapangan memarkirkan sepeda motor maticnya. Begitu melihat Emily datang ke kelas sendirian, Adella langsung berkacak pinggang sambil memasang wajah garang.

Emily mengikuti Adella dengan bingung saat Adella menariknya menuju bangku dimana Enji dan Riana duduk mengobrol.

"Apa-apaan sih? Sakit tahu!," protes Emily seraya menarik lepas tangannya dari cengkraman Adella.

"Lo kok tega sih menikung teman sendiri? Dah tahu gue lagi pedekate sama Ray, eh malah elo yang nyosor duluan? Belagak aja jaim kayak nggak butuh cowok. Munafik banget sih?," omel Adella sampai mulutnya monyong-monyong karena merepet dengan kecepatan tinggi. Emily, Riana dan Enji saling pandang.

"Maksud lo apa sih?," tanya Emily sambil menerobos masuk mendorong Adella yang berdiri menghalangi pintu.

"Pake boncengan motor segala lagi. Lo nggak merasa bersalah apa sudah merebut gebetan teman?"

"Eh bantal guling! Siapa juga yang merebut cowok lo? Emangnya lo dah jadian sama Ray?," protes Emily nggak terima. "Baru sebatas gebetan aja udah merasa hak milik."

"Sembarangan panggil gue bantal guling!," teriak Adella dengan wajah merah padam. Apalagi saat melihat Riana dan Enji justru cekikikan mendengar Emily menyebut Adella bantal guling.

Tapi dasar mereka memang sudah lama sahabatan, akhirnya Adella nggak jadi marah. Malah ikut-ikutan tertawa. Bahkan sampai terkikik-kikik memegangi perutnya. Emily hanya memandang tiga sahabatnya itu dengan bingung, mengangkat bahu, lantas beranjak ke bangkunya untuk menyimpan tas.

"Tega banget sih dia panggil gue bantal guling?," omel Adella sambil mengusap air matanya. Ketawa ngakak sampai nangis ceritanya. Begitulah Adella, walaupun sering ngomel-ngomel tapi sebenarnya hatinya baik dan sayang pada teman-temannya. Terlebih Emily memang patut dikasihani, karena bisa dibilang cukup menderita hidupnya. Ibunya menderita gangguan jiwa, sementara ayahnya yang pernah selingkuh tidak benar-benar menyayanginya. Demikian juga neneknya yang baru saja meninggal, dulu senantiasa bersikap dingin pada Emily. Baik Enji, Riana dan Adella sama-sama bertekad untuk melindungi Emily.

"Daripada dipanggil bantal raksasa lebih ngenes lagi kan?," kata Riana sambil tertawa.

"Lagian bantal guling kan empuk, nyaman banget kalo dipeluk," kata Enji seraya merentangkan tangannya dan menarik Adella masuk ke pelukannya.

"Hihihi...apaan sih?," kata Adella tersipu seraya menolak dada Enji. "Emily kenapa sih? Tumben sewot."

"Siapa juga yang nggak sewot pagi-pagi dikata-katain merebut cowok," sahut Emily mendekati teman-temannya.

"Trus kok bisa sih kalian barengan gitu datangnya?," tanya Riana.

"Ya bisa aja, karena Ray dan keluarganya tinggal di dekat rumahku," jawab Emily sambil duduk di meja Enji.

"Maksud lo perumahan karyawan Zillian? Kok gue nggak tahu?," tanya Riana sambil membulatkan matanya. Riana dan keluarganya juga tinggal di perumahan karyawan Zillian, dan dia belum mendengar kabar tentang keluarga yang baru pindahan.

"Bukan di perumahan. Tapi di guest house," ujar Emily pelan. "Dan motor yang tadi dibawa Ray juga punya perusahaan. Papa yang menyuruhnya untuk mengantar jemput gue sekolah."

"What???!," teriak Adella dengan mata melotot. "Enak banget Lo. Gue nggak terima!" protesnya. Namun Emily mengabaikan Adella. Perasaannya sendiri juga tidak enak karena tadi malam bertengkar dengan papanya.

Riana dan Enji saling pandang dengan mata bertanya-tanya.

"Kok bisa? Guest house kan buat tamu atau tempat tinggal sementara karyawan penting sampai rumah karyawan siap untuk ditempati," kata Riana yang memang sudah tahu seluk beluk perusahaan Zillian. Keluarga Riana sudah turun menurun bekerja di perusahaan perkebunan itu.

"Karena mereka memang tergolong keluarga karyawan yang penting. Ibunya Ray sekarang bekerja menjadi sekretaris pribadi Papa gue," jawab Emily dengan raut wajah cemberut.

"Sekretaris pribadi?," Riana melirik Enji dengan wajah pucat.

Emily mengangguk.

"Apa ibunya Ray itu perempuan cantik berambut ikal panjang?," tanya Enji.

"Kok lo tahu?," tanya Emily.

"Kebetulan pernah bertemu," jawab Enji buru-buru dengan wajah gusar. Kembali Enji dan Riana saling pandang. Riana memberi isyarat dengan matanya, meminta Enji untuk bungkam. Sementara Adella hanya memperhatikan tingkah aneh sahabatnya itu dengan pandangan bertanya.

Mendadak suasana menjadi canggung tanpa Emily tahu sebabnya. Untung kemudian bel tanda dimulainya jam pelajaran pertama berbunyi sehingga mereka punya alasan untuk bubar.

Emily bergegas kembali ke bangkunya, nyaris amprokan dengan Ray yang baru masuk kelas.

Emily saling pandang dengan Ray sesaat, lalu masing-masing membuang muka. Semua itu tidak lepas dari perhatian Riana, Enji dan Adella.

.

.

.

Enji, Riana dan Adella janjian untuk hang out di Slow Rock Cafe sepulang sekolah. Sebenarnya sih mereka mengajak Emily, sayangnya Emily menolak.

"Gue dapat hukuman dari Papa. Mesti langsung pulang bersama Ray," ujarnya sedih.

"Hukuman kenapa?," tanya Riana. "Emang lo melakukan kesalahan apa?"

Namun Emily tak menjawab, hanya memalingkan wajah dengan sedih dan gusar. Diantara mereka bertiga, Riana yang paling dekat dengan Emily. Riana tahu betul bagaimana hubungan Emily dengan papanya. Bisa dibilang hubungan mereka tidak baik, dan Emily masih menyalahkan papanya sampai sekarang karena telah merusak kesehatan mental mamanya.

Sebenarnya cukup aneh Benny berani datang ke Alpan setelah pengkhianatan yang dilakukannya pada Emily dan mamanya beberapa tahun sebelumnya. Kalau Nyonya Trisna dalam kondisi sehat, mungkin Benny sudah dihajar dan diusir dari rumah mereka. Sayangnya waktu itu Nyonya Trisna dalam kondisi lemah setelah terkena serangan jantung yang parah. Tidak lama setelah kedatangan Benny, Nyonya Trisna pun meninggal. Jadilah Benny penguasa baru di perkebunan itu.

"Gue harus pulang dengan Ray," kata Emily sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

Riana memandang ke arah Ray yang bersidekap menunggu Emily selesai berkemas. Sayangnya cowok itu menolak membalas tatapannya.

Hati Riana sakit membayangkan wanita cantik yang mencium papa Emily tadi pagi. Ternyata wanita penggoda itu adalah ibunya Ray. Tega-teganya mereka berbuat seperti itu saat Mama Emily masih hidup, yang bahkan belum pernah bercerai secara resmi, meski sempat berpisah selama bertahun-tahun.

Sekarang, setiap melihat Ray, Riana jadi teringat adegan ciuman itu. Dan perasaan marah pun menggelegak di dalam hatinya. Tak terima sahabatnya yang baik dikhianati dengan cara seperti ini.

"Ya sudah, nanti malam gue main ya ke rumah lo," kata Riana sambil melepas kepergian Emily. "Kebetulan tadi pagi Umak memasak pempek kesukaan lo. Nanti aku antar sepulang dari mengaji di mesjid."

Umak adalah panggilan Riana untuk ibunya. Umak juga yang dulu membantu dokter Rio merawat Tania saat masih tinggal di rumah besar keluarga Zillian, sebelum Benny menyingkirkan istrinya itu dengan alasan mencari pengobatan yang lebih baik di luar kota.

Emily hanya mengangguk samar, lalu melangkah keluar dengan wajah tertekuk. Di belakangnya Ray mengikuti Emily persis seperti seorang ajudan.

"Mereka kenapa?," tanya Adella yang tiba-tiba muncul.

"Lupain aja si Ray. Dia nggak worth it buat jadi sahabat kita," jawab Riana kesal.

"Tapi kenapa?"

Riana mengabaikan Adella dan memilih keluar menyusul Enji yang sudah menunggu di depan kelas.