"Oh," sepatah kata itu yang diucapkan Trisna Zillian pada cucu tunggalnya, Emily Dirgantara Zillian. Tak ada sambutan hangat. Tak ada pelukan. Bahkan wajah sang nenek juga datar-datar saja. Membuat Emily yang tadinya sudah canggung menjadi semakin takut. Tangannya masih memegang lengan Dokter Rio erat-erat, seolah-olah ketakutan ditinggalkan bersama wanita tua yang dingin itu.
Mereka berempat duduk berhadapan di sofa empuk yang mengisi ruangan suite di hotel berbintang lima itu. Sepertinya Nyonya Tris memang benar-benar kaya, dan tak segan-segan menghamburkan uang belasan juta semalam untuk menginap. Ruangan suite itu lebih menyerupai sebuah apartemen dengan tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu dan dapur. Sepasang suami istri yang menjadi pelayan Nyonya Tris ikut menemani wanita tua itu ke Jakarta.
Emily mencuri pandang pada wanita yang diperkenalkan sebagai neneknya itu. Trisna Zillian sangat tidak mirip dengan ibu Emily, Tania. Wanita tua itu lebih mirip seorang wanita bule bangsawan yang sedang dalam kunjungan kerajaan. Sikapnya anggun. Wajahnya cantik tanpa cela, walau rambutnya yang sudah memutih terlihat dari balik selendang berwarna hitam yang dipakainya di kepala. Ekspresi wajahnya yang dingin membuatnya terkesan tidak ramah, angkuh dan sulit untuk didekati.
Emily tidak sadar, bahwa sebenarnya dia sangat mirip dengan neneknya itu. Hidung mancung yang sama. Bahkan lesung dalam di pipinya juga sama.
Dulu Emily mengira wajah blasteran yang dimilikinya adalah warisan dari Oma, neneknya dari pihak ayahnya yang tak pernah dijumpainya. Ternyata dari pihak ibunya, Emily juga mewarisi darah asing, darah Australia yang dibawa Michael Zillian. Tak heran Emily memiliki raut wajah unik dengan mata biru dan rambut berwarna coklat.
"Saya sudah menelpon ke rumah sakit untuk mengurus kepindahan Tania ke Alpan," ujar Nyonya Tris mengumumkan. Suaranya tenang dan tegas, membuat Wahyu dan Rio saling pandang.
"Memindahkan Tania, Bu? Itu beresiko. Dia masih belum pulih," kata Wahyu. Suara manajer Tania itu bergetar, menandakan dia sedikit takut dan sungkan menghadapi ibu sahabatnya itu.
Tak heran, siapapun bisa terintimidasi oleh penampilan Nyonya Tris yang bak seorang ratu itu.
"Sampai kapan kamu bisa menutupi kondisinya dari wartawan, hah?," tanya Nyonya Tris sambil mengibaskan tangannya. "Karir Tania sudah berakhir, kamu siap-siap aja cari artis baru."
Wajah Wahyu berubah kecut. Dia sedikit tersinggung dengan ucapan wanita tua itu. "Tania bagi saya lebih dari sekedar seorang artis. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku SMA."
"Saya tahu, tak usah dijelaskan. Meski jauh di Alpan, semua yang terjadi pada Tania saya tahu. Walaupun terkesan saya tidak berbuat apa-apa, tapi saya tahu semua tentang Tania."
"Berarti nenek tahu tentang aku?," tanya Emily dengan suara kecil dan takut.
Wanita tua itu menoleh memandang Emily. Sorot matanya tajam seakan hendak menguliti gadis kecil itu. Namun sedetik kemudian dia kembali membuang muka, membuat Emily merasa sedih dan tersinggung.
"Aku tahu kamu anak Tania dengan si bajingan itu," desahnya dingin. Seolah-olah keberadaan Emily adalah aib terbesar yang tak sanggup dia tanggung. Bahkan menyebut nama Emily saja, Trisna Zillian merasa enggan. Saat membicarakan Emily dengan Wahyu dan Rio, dia selalu menyebutnya dengan kata 'dia'.
Emily menundukkan wajahnya. Hatinya terasa sangat sakit mendapat penolakan seperti ini. Mungkin lebih baik dia tak kenal siapa neneknya daripada diperlakukan seperti ini.
"Saya sudah menyewa pesawat pribadi yang dilengkapi peralatan medis. Yang terbaik bagi Tania saat ini adalah dijauhkan dari lelaki bajingan itu," kata Nyonya Tris lagi sambil meminum teh yang disediakan pelayannya dengan gaya anggun. Sama sekali tidak menawarkan minuman untuk para tamu. Seolah-olah dia adalah ratu yang sedang dikunjungi oleh rakyat jelata yang datang mengadu.
"Kamu bisa ikut," kata Nyonya Tris sambil mengarahkan cangkirnya ke arah Rio. Membuat dokter muda itu kontan terbatuk.
"Saya? Eh...." Wajah Rio memerah.
"Putra Alpan seharusnya kembali ke Alpan. Daripada menghabiskan waktumu bekerja di klinik kecil itu, lebih baik kamu pulang mengabdi di kampung halamanmu."
"Saya...Ibu kenal saya?" tanya Rio yang tak menyangka nyonya tua yang telah mengurung diri selama belasan tahun itu, ternyata mengenalnya sebagai putra daerah Kota Alpan.
"Rio Sandikawarman. Kakekmu sudah bekerja di perkebunan keluargaku selama puluhan tahun. Aku dulu sering melihatmu mengamati Tania dari kejauhan. Bahkan sampai saat ini kamu masih menyukai anakku itu kan?," kata Nyonya Tris dengan tenang, namun menusuk Rio dengan tajam.
Karena semua yang dikatakan nyonya tua itu adalah benar. Termasuk kekagumannya pada Tania yang masih bertahan sampai sekarang.
"Saya...errr..." Rio terbata-bata, salah tingkah. Apalagi Wahyu juga menatap Rio dengan tajam, bahkan pandangan matanya terlihat sengit penuh kecemburuan.
Diam-diam Emily merinding mengamati neneknya yang masih santai menyesap teh seolah-olah apa yang dikatakannya itu cuma obrolan ringan semata.
Rio pun merinding, tidak menyangka bahwa wanita tua ini mengenalinya. Bahkan lebih dari sekedar mengenalnya sebagai putra Alpan, namun bisa menjelaskan dengan detil namanya, nama ayah dan kakeknya, bahkan perasaannya pada Tania.
'Siapa gerangan wanita ini? Apa dia seorang cenayang dan pembaca pikiran?', batin Rio.
"Aku bukan seorang cenayang," kata-kata Nyonya Tris membuat Rio tersentak. Wajahnya memucat.
"Besok kita akan pulang ke Alpan," wanita itu mengakhiri percakapan itu dengan bangkit berdiri. Tanpa minta izin ataupun sekedar basa-basi pada Wahyu, Rio dan Emily.
"Tapi....," Wahyu dan Rio serentak bicara.
"Kamu umumkan saja bahwa Tania pergi keluar negeri untuk jangka waktu yang lama," kata Nyonya Tris sambil menatap tajam pada Wahyu, membuat pria itu menjadi salah tingkah. " Bisa kan?"
"Err...bi..bisa," Wahyu menjawab terbata-bata.
"Jangan takut, aku akan membayar jasamu selama setahun penuh untuk mengalihkan perhatian para wartawan dari Tania," kata Nyonya Tris sambil melangkah mendekati lemari, mengambil tas mewah berlogo H, dan mengeluarkan buku cek dari dalamnya.
"Segitu cukup?," tanyanya santai sambil memperlihatkan goresan angka yang dibuatnya kepada Wahyu, membuat lelaki itu melongo.
"Lima milyar?"
"Dengan syarat tak boleh ada seorang pun yang tahu tentang Kota Alpan," kata Nyonya Tris menambahkan. "Tak boleh ada berita yang mengaitkan Tania dengan Kota Alpan, atau menyebut tentang Kota Alpan. Silahkan kamu mengarang apa saja yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa Tania mengakhiri karirnya."
Wahyu cuma mengangguk. Lima milyar itu adalah angka yang fantastis untuknya.
"Kamu usahakan juga lelaki pezina itu tidak mengetahui tentang kepergian Tania ke Alpan. Kalau kamu bisa membantu mereka bercerai, itu lebih baik. Bisa kan?"
"Bi..bisa Bu," jawab Wahyu terbata.
"Kamu boleh menjadi dokter pribadi keluargaku," kata Nyonya Tris pada Rio.
"Tapi Bu, tidak semudah itu saya berhenti bekerja di klinik. Saya mesti menyerahkan surat pengunduran diri terlebih dahulu," kata Rio buru-buru.
"Aku akan menelpon atasanmu. Tak payah pakai surat," wanita tua itu mengibaskan tangannya sekali lagi.
'Tapi saya belum bilang iya untuk tawaran ini,' Rio ingin berkata seperti itu..Namun urung. Wanita tua itu memiliki aura yang membuat orang-orang tak berani membantah perkataannya.
"Bagaimana denganku?," cicit Emily. Mata bundar itu mulai tergenang air mata.
"Kamu ikut ke Alpan," kata Nyonya Tris tegas.
'Tapi aku ingin sekolah disain di Singapura,' Emily ingin berkata seperti itu. Namun urung.
Dia terlalu takut untuk membantah.