Semua orang pernah merasakan sakit. Ada orang yang hanya merasakan sakit ringan seperti pilek atau sakit kepala yang sebentar saja juga sembuh, ada yang pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit, dan ada juga yang sakit menahun. Apa jadinya kalau orang tidak pernah merasakan sakit? Bukan saja tidak akan ada rumah sakit, apotek, ataupun dokter, tetapi orang tidak akan pernah tahu nikmatnya rasa sehat. Bagaimana orang akan tahu rasanya sehat jika sama sekali tidak pernah sakit? Kesehatan adalah anugerah yang tidak terkira dan sangat mahal. Apakah ada orang yang mau dibayar dua miliar rupiah tetapi dengan syarat kepalanya snut-snut terus seumur hidup? "Lebih nikmat makan dengan kepala ikan asin daripada harus sakit kepala terus-menerus," kata Paman Odar.
"Apakah Paman Odar pernah sakit gawat?" tanya Cipo.
"Tidak. Sakit-sakit ringan saja. Meskipun sakit ringan, tapi sudah membuat kelimpungan," jawab Paman Odar, "Contohnya sakit gigi, orang yang pernah sakit gigi tahu betapa tersiksanya." Dari zaman purba, manusia sudah berusaha untuk mengatasi rasa sakit. Sehingga muncul tabib, sinshe, dan ahli pengobatan lainnya. Dengan semakin berkembangnya peradaban, di dunia saat ini ada dua aliran besar dalam pengobatan penyakit, yaitu pengobatan tradisional dan pengobatan modern. Dokter, rumah sakit, klinik, dan apotek merupakan contoh sistem pengobatan modern. "Mengapa orang pada zaman dahulu tahu kalau tanaman tertentu memiliki khasiat pengobatan? Bukankah pada masa itu belum ada laboratorium untuk penelitian?" tanya Cipo pada ayahnya.
"Mereka melakukan penelitian juga dengan sangat sederhana, misalnya dengan coba-coba. Ketika ada orang sakit perut dan membalurnya dengan daun pisang ternyata sakitnya tidak berkurang. Lalu ketika dia membalur perutnya dengan daun sembukan, sakit perutnya hilang. Sehingga dia menceritakan kepada orang lain 'jika sakit perut, obatilah dengan daun sembukan'. Sejak itulah daun sembukan dipercaya sebagai penyembuh sakit perut. Kemudian pengetahuan itu diturunkan dari orang tua ke anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Obat yang seperti itu disebut obat tradisional. Lain halnya jika tanaman sembukan sudah diteliti di laboratorium dan diuji, maka akan menjadi obat modern," terang ayahnya.
"Mengapa orang tidak boleh sembarangan minum obat, ada aturan-aturannya, sehari tiga kali setelah makan, dan sebagainya?"
Ayahnya menjelaskan lagi, "Obat adalah zat kimia dengan dosis-dosis tertentu. Kalau orang sampai kelebihan dosis obat atau overdosis, maka sangat berbahaya. Selain untuk menghilangkan sakit, obat juga memiliki efek samping. Kamu pernah minum obat sakit kepala, setelah itu sakit kepalamu berkurang, tapi kamu juga terasa mual dan sangat mengantuk. Sehingga orang-orang yang tahu soal obat-obatan malah lebih suka menghindari minum obat karena tahu obat itu pada dasarnya racun bagi tubuh. Sementara orang yang tidak tahu tentang obat, sedikit-sedikit minum obat. Kalau perlu, digigit semut saja minum obat." Cipo manggut-manggut tanda mengerti.
"Dan satu hal lagi, kamu juga harus tahu tanda-tanda yang menunjukkan obat keras atau bukan." Tahukah kalian, mengapa di bungkus obat terdapat tanda bulatan dengan warna merah, biru, dan hijau? Pemberian bulatan dengan warna-warna tertentu bukannya tanpa maksud. Itu adalah kode yang menunjukkan itu obat keras atau bukan. Obat yang di bungkusnya ada tanda bulatan warna hijau dengan lingkaran garis hitam berarti itu obat bebas, yang bisa dibeli tanpa resep dokter, maka obat yang dijual di warung-warung kebanyakan memiliki tanda bulatan hijau. Bungkus obat yang ada tanda bulatan biru yang dilingkari garis hitam berarti obat yang sifatnya lebih keras. Sedangkan obat yang bungkusnya memiliki tanda bulatan merah yang dilingkari garis warna hitam merupakan obat keras yang pemakaiannya harus di bawah pengawasan dokter. Obat jenis ini hanya didapat di apotek dan harus dibeli dengan menunjukkan resep dokter.
Cipo keluar rumah. Dia hendak pergi melihat demo membuat kompos di rumah Paman Odar. Namun di gardu, dia mendapati orang yang sedang mendengarkan dongeng Pak Kreo. Tampaknya asyik sekali sehingga Cipo singgah untuk ikut mendengarkannya. Rupanya Pak Kreo bukan mendongeng, tetapi mengabarkan kalau sekarang ada dokter ampuh di Dusun Kragilan, jaraknya kira-kira tiga kilometer dari dusunnya. "Dokter itu bisa mengobati segala macam penyakit. Siapa yang sakit silakan datang ke dokter itu, gratis dan dijamin sembuh!" kata Pak Kreo. "Obat juga diberinya, tak perlu lagi menebus obat ke apotek. Dokter ini tidak memberi resep."
"Siapa nama dokternya?" tanya Pak Dirj.
"Dokter Bejo," jawab Pak Kreo, "Kata orang-orang dia itu dokter tiban."
"Apakah Pak Kreo sudah membuktikan keampuhannya?" tanya Mbah Ciek.
Pak Kreo menjawab, "Tentu saja tidak. Saya tidak sakit apa-apa, ya tidak perlu ke dokter! Tetapi saya sempat berhenti ketika melihat kerumunan orang yang ternyata sedang mengantre untuk berobat padanya."
Pak Dirj mengajukan pertanyaan, "Apakah mengobatinya juga disuntik?" Ssttt…, harap tahu saja Pak Dirj itu sangat takut disuntik. Orang lain mungkin senang disuntik, bahkan kalau perlu minta disuntik kiri dan kanan, tapi Pak Dirj akan kabur jika akan disuntik.
"Katanya disuntik juga jika dianggap harus disuntik," jawab Pak Kreo. Ndet sedang sakit kakinya. Ada bisul di mata kakinya yang tidak kunjung sembuh. Begitu mendengar berita dokter gratis itu segera minta diantar Nogo ke dokter itu. Malamnya, setelah pulang dari dokter itu, Ndet malah meraung-raung kesakitan sampai berguling-guling. "Kok habis dari dokter malah semakin parah?" tanya orang-orang.
"Oleh Dokter Bejo kakinya disuntik," kata Nogo.
"Maksudmu yang disuntik itu pantatnya?" tanya Paman Odar yang datang ke rumah Ndet.
Nogo menjelaskan, "Ya kakinya. Kakinya yang sakit itu yang disuntik. Aku ikut ke dalam dan melihat sendiri, kakinya yang sakit itu yang disuntik."
"Jangan-jangan kamu salah, disudet untuk diambil nanahnya kamu pikir disuntik," kata Pak Kreo.
"Kok pada tidak percaya. Kalau begitu, tanya saja sendiri pada Ndet," tukas Nogo.
Ndet yang ditanya membenarkan bahwa kakinya yang sakit itu telah disuntik oleh Dokter Bejo. Ternyata begitulah cara Dokter Bejo mengobati pasiennya, di luar kebiasaan dokter pada umumnya. Selama ini dokter atau mantri kesehatan menyuntik di bagian pantat. Tapi Dokter Bejo lain, tergantung sakitnya di mana, dan bagian yang sakit itulah yang disuntik. Orang sakit punggung, maka punggungnya yang disuntik. Orang sakit perut, maka perutnya yang disuntik. Gawat! Bagaimana kalau pasien sakit mata? Apakah matanya juga disuntik?
"Mas Ndet sekarang malah tidak bisa berjalan sama sekali. Sakit kakinya semakin parah," kata Ndul-ndul.
"Ya, saya sudah mendengarnya. Saya heran juga, kok Dokter Bejo seperti itu," kata Cipo. "Sekolah di mana dia?" Bukankah untuk menjadi dokter harus lulus fakultas kedokteran? Tetapi kenapa Dokter Bejo terkenal sebagai dokter tiban? Apa yang dimaksud dengan istilah tiban? Kata tiban berasal dari bahasa Jawa yang berarti "jatuhan" atau "tiba-tiba ada dengan sendirinya". Kata tiban biasanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, katakanlah ilmunya didapat dari langit. Apakah itu mengisyaratkan kalau Dokter Bejo itu tiba-tiba menjadi seorang dokter? Kalau tiba-tiba menjadi dokter, berarti dia tidak sekolah dulu. Oke-oke saja kalau Dokter Bejo tidak menyebut dirinya sebagai dokter, tetapi sebagai dukun karena untuk menjadi dukun atau paranormal tidak harus sekolah khusus. Tapi kalau sebagai dukun, mengapa harus menyuntik? Bukankah itu cukup dengan air putih dan baca mantra saja?
Jalu belum yakin dengan apa yang didengarnya, "Masa iya sih yang disuntik tergantung di mana sakitnya? Kemarin Pak Cardov juga pergi ke Dokter Bejo. Tapi tidak disuntik, hanya diberi obat saja." Mengetahui kalau Pak Cardov juga berobat kepada Dokter Bejo, Cipo mengajak Jalu ke rumah orang itu.
"Kita tanyakan tentang Dokter Bejo," kata Cipo.
Pada saat itulah Ndul-ndul berlari-lari mendatangi mereka, "Mau ke manakah kalian? Saya ikut!" Cipo menjelaskan kepada Ndul-ndul tentang rencana mereka. Lalu mereka bertiga mendatangi rumah Pak Cardov. Kebetulan empunya rumah sedang memberi makan sapi-sapinya dengan daun jagung. "Pak Cardov, betulkah kemarin pergi ke Dokter Bejo?" tanya Ndul-ndul, mendahului Cipo.
"Ya benar. Ramai juga pasiennya. Ketika dia hendak menyuntik hidung saya, saya takut. Saya minta obat saja. Kasihan Ndet yang kini tidak bisa berjalan gara-gara disuntik Dokter Bejo," kata Pak Cardov, sambil mengelus-ngelus kepala sapinya yang sedang makan. Ketika Jalu ikut-ikutan memegang kepala sapi itu, si sapi menggelengkan kepalanya sehingga Jalu sangat terkejut. Cipo dan Ndul-ndul tertawa terpingkal-pingkal. Sapi itu ogah dipegang Jalu. Mungkin Jalu belum mandi.
"Pak Cardov juga gratis?" tanya Cipo.
"Ya. Kalau tidak gratis, mending saya pergi ke Dokter Erwin," kata Pak Cardov. Dokter Erwin praktek tak jauh dari kantor polisi. Tapi orang-orang menganggap ongkos berobat ke Dokter Erwin terlalu tinggi. Itu karena pendapatan mereka tidak tetap dan kecil. Semoga saja pemerintah bisa menyediakan sarana kesehatan yang murah bagi rakyat kecil.
Jalu mengajukan pertanyaan, "Apakah Dokter Bejo memakai pakaian putih-putih seperti dokter praktek pada umumnya?"
Pak Cardov menjawab, "Saat memeriksa saya, dia memakai baju batik. Tapi sempat saya dengar dari pasien lain kadang-kadang Dokter Bejo hanya memakai kolor dan kaus singlet saja. Suka-suka dia." Mengapa dokter selalu memakai pakaian putih-putih saat praktek? Dengan pakaian putih itu menyimbolkan kebersihan sebagai pangkal kesehatan. Selain itu, dengan pakaian putih, maka kalau terkena noda akan segera ketahuan. Bukankah dokter berurusan dengan orang sakit sehingga rentan terhadap penularan penyakit. Jika tepercik cairan pasien, maka baju putih lebih kelihatan sehingga bisa segera ganti. Coba kalau warna merah atau hitam, maka noda tidak begitu terlihat. Setelah dirasa cukup berurusan dengan Pak Cardov, Cipo mengajak Jalu dan Ndul-ndul ke rumah Ndet. Untuk melihat perkembangannya, apakah sekiranya keadaan sudah membaik atau sebaliknya. Di rumah Ndet tampak sedang ada kesibukan, orang tuanya tampak panik sehingga ditenangkan oleh beberapa orang. Ada mobil datang, orang-orang memapah Ndet ke dalam mobil dan akan membawanya ke rumah sakit.
"Ini namanya mau irit, tapi ini malah orot. Cari dokter gratis, tak tahunya malah penyakitnya semakin parah," ujar Pak Jlog yang ikut mengantar Ndet ke rumah sakit. Paman Odar ikut juga. Berobat gratis? Baik benar dokter itu. Tentu dia sudah banyak mengeluarkan modal, terutama untuk membeli obat-obatan yang diberikan kepada pasien. Bagaimana tidak, bukankah harga obat itu mahal? Tidak itu saja, belakangan diberitakan kalau Dokter Bejo memadukan pengobatan modern dengan mantra sehingga pasiennya semakin membludak. Orang-orang yang berpikir tradisional senang-senang saja dan menganggap Dokter Bejo tak ubahnya sebagai orang sakti. Bukan itu saja, setelah memadukan dengan mantra, Dokter Bejo juga mengenakan tarif. Sehingga yang kemarin-kemarin gratis itu tak ubahnya sebagai promosi saja. Setelah pasien banyak, maka dipungut bayaran.
Pada suatu hari, Cipo terlihat ikut duduk di kursi pasien Dokter Bejo, antre bersama para pasien lain. Cipo sedikit sakit pilek. Tapi yang penting baginya adalah bisa menguping pembicaraan orang-orang yang menjadi pasien sang dokter sakti. Cipo mencari papan nama si dokter untuk mencari apakah dia memiliki izin praktek atau tidak. Sama sekali tidak ada. Karena ingin menguping, maka jika ada pasien baru yang datang Cipo memberikan kursinya. Oleh karena itu, antrean Cipo tidak maju-maju. "Sudah berapa kali datang ke sini?" tanya pasien paling depan kepada pasien di sampingnya.
Pasien yang diajak bicara berkata, "Baru kali ini. Siapa tahu jodoh dengan Dokter Bejo. Bukankah pengobatannya cuma-cuma?"
"Sebelum memadukan dengan mantra memang gratis. Sekarang, setelah memberi obat dan dibacakan mantra, tidak gratis lagi. Untuk pasien baru masih gratis, namun pengobatan berikutnya harus bayar. Saya berobat yang ketiga kali dan saya disuruh menyiapkan uang sebesar Rp 300.000, saya sampai menjual kambing," kata pasien paling depan, setengah berbisik.
"Uang bisa kita cari, tetapi kalau kita sakit bagaimana bisa mencari uang. Saya sampai harus pinjam uang ke saudara dan tetangga," sambung pasien lainnya, berbisik.
Dari hasil nguping itu, Cipo mendapat informasi bahwa Dokter Bejo bukan warga dusun situ, melainkan orang yang mengontrak rumah kosong yang ditinggal merantau pemiliknya ke ibukota. Katanya lagi, dia harus mengamalkan ilmu pengobatannya ke mana-mana sehingga setelah dirasa cukup berpraktek di dusun itu, maka akan pindah ke tempat lain. Cipo melihat seorang pasien laki-laki keluar dari ruang praktek dokter, lalu muncul orang lagi di belakangnya, "Selamat sore Pak Dokter," sapa para pasien.
"O, ini dokternya?" kata Cipo dalam hati. Laki-laki setengah baya dengan kumis tipis mengenakan baju batik dan tampak perlente.
Dokter Bejo berkata, "Sebentar ya Bapak dan Ibu, saya ada perlu sebentar ke depan, ballpoint saya habis." Lah, dokter kok sampai beli ballpoint sendiri. Tidak lama kemudian, dokter itu kembali masuk ke ruang praktek.
Tinggal satu orang pasien di dalam, Cipo jadi ragu-ragu, antara masuk atau tidak. Jika tidak berobat, maka dia tidak tahu seperti apa bagian dalam ruang praktek dokter sakti ini, yang mengaku bisa mengobati segala macam penyakit. Cipo masih ragu, tapi ketika pasien keluar dari ruang praktek, maka dia segera mengetuk pintu dan dipersilakan masuk. "Mana orang tuamu?"
"Saya sendirian, Dok. Kebetulan orang tua saya sedang pergi ke rumah saudara," jawab Cipo, bohong. Matanya jelalatan melihat ruang praktek. Ada botol-botol berisi cairan dan beberapa toples berisi kapsul-kapsul obat dengan warna berbeda-beda.
"Kamu sakit apa?" tanya Dokter Bejo.
"Pusing-pusing, dan tenggorokan saya juga agak sakit," Cipo juga ditanya nama, alamat, usia, dan berat badan. Semuanya ditulis oleh dokter itu di buku tebal.
"Tiduran ya, tenggorokanmu akan kusuntik." Aneh, bukankah seharusnya dia diperiksa dulu, dilihat dulu mata dan tenggorokannya, diperiksa denyut jantungnya. Ini tidak, langsung mau suntik saja. Karena mendengar tenggorokannya akan disuntik, Cipo jadi kebingungan, Cipo bersikukuh minta obat saja. "Baiklah, ini obat untuk kamu," kata Dokter Bejo, sambil memberi beberapa kapsul kepada Cipo. "Besok sore kamu kembali ke sini lagi," pesan sang dokter.
"Tapi besok bayar ya, Dok?" tanya Cipo.
"Ya, bawa saja duit lima puluh ribu," kata dokter itu.
Tentu saja kepergiannya ke Dokter Bejo dirahasiakan oleh Cipo. Jika ketahuan ayah dan ibunya, wow, pasti dimarahi. Apa yang dilakukannya cukup berbahaya. Bagaimana jika hidungnya dipaksa disuntik? Apakah dia mampu melawan tenaga si dokter? Sesampainya di rumah, Cipo membongkar kapsul yang diberikan kepadanya. Isinya obat berwarna merah jeruk. Diciumlah bau serbuk obat itu, bau jeruk. "Sepertinya ini obat flu untuk anak-anak yang dijual di warung-warung," kata Cipo dalam hati. Jarinya disentuhkan ke serbuk obat itu lalu dijilatnya. Benar, rasanya seperti obat flu anak-anak. Apakah Cipo akan kembali lagi ke dokter itu? Tentu saja tidak. Beberapa kali Cipo melihat Dokter Bejo melintas di jalan dusunnya dengan mengendarai motor. Ada yang mengatakan kalau dokter itu bisa dipanggil ke rumah orang yang sakit.
Pada suatu hari, Cipo dan teman-temannya mencari ikan dan udang di sungai dengan jaring buatan sendiri, yang dibuat dari kelambu bekas milik Ndul-ndul. Kalau mereka mendapatkan ikan lumayan banyak, mereka membawa pulang ke rumah Ndul-ndul. Nanti Emak Ndul-ndul yang akan menggorengnya, jika perlu menanak nasi untuk mereka. Sungai itu berada di tepi jalan, hanya saja cukup dalam sehingga para pelintas jalan tidak akan tahu jika ada orang yang turun ke sungai itu, apalagi anak-anak yang tubuhnya belum tinggi. Cipo naik ke atas batu sungai, badannya terlindung oleh semak-semak. Saat itu melintas motor yang ternyata Dokter Bejo. Di tempat sepi, Dokter Bejo memperlambat motornya, celingukan sebentar lalu membuang sesuatu ke sawah, ke rumpun padi. Sekelebat benda itu tampak sebagai sebuah botol. Setelah itu motor kembali berjalan kencang.
Cipo curiga dengan apa yang dibuangnya. Cipo naik ke jalan dan berkata kepada teman-temannya, "Sebentar, ya! Kalian teruskan cari ikannya!" Cipo menuju ke sawah tempat Dokter Bejo membuang sesuatu. Dia masuk ke rumpun padi yang lebat dan mencari-cari, didapatinya sebuah botol kaca yang sedikit berisi cairan. Ukurannya tidak terlalu besar, pipih seperti botol madu. Tutup botol itu dibukanya dan dicium baunya, harum aroma bunga mawar. Benar, di dalam botol itu memang ada serpihan bunga mawar. Ada lubang kecil di tutup botol yang terbuat dari plastik, bekas ditusuk. Jangan-jangan itu cairan yang disuntikkan ke tubuh pasiennya. Lubang itu untuk memasukkan jarum suntik, lalu menyedot cairannya, dan disuntikkan ke pasien. Botol itu dikantongi Cipo dan bergabung lagi dengan temannya. Setelah dirasa cukup, mereka pulang ke rumah Ndul-ndul.
Mereka membersihkan ikan dan mandi. Emak Ndul-ndul menggoreng ikan dan udang. Begitu selesai mandi, nasi putih hangat dan lauknya telah terhidang di meja. Hubungan ketiga anak itu sudah sangat akrab, seperti saudara saja. Meskipun kadang-kadang berantem, tetapi wajar saja, namanya juga anak-anak. Ketika mereka sedang makan itulah Mbah Ciek singgah, dia memberi tahu jika ada yang mati setelah disuntik Dokter Bejo. "Katanya bukan hanya disuntik saja, tetapi orang itu dicelup-celupkan ke dalam air sungai. Kata si dokter, orang itu sakitnya karena kerasukan makhluk halus sehingga diobati dengan cara seperti itu," cerita Mbah Ciek.
"Kapan kejadiannya?" tanya Emak Ndul-ndul.
"Belum lama berselang. Kira-kira baru tiga jam yang lalu," kata Mbah Ciek. "Dokter itu juga menginjak-injaknya karena orang itu dianggap kemasukan makhluk halus."
"O, begitu ya. Pengobatannya saja menyeramkan, tetapi masih ada juga orang yang percaya," kata Emak Ndul-ndul.
"Baru tiga jam yang lalu?" kata Cipo dalam hati, "Kalau begitu, Dokter Bejo tadi pulang dari rumah pasien yang mati?" Cipo teringat botol yang ditemukannya.
Gara-gara kematian pasien itu, Dokter Bejo dibawa ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Tapi sebelum ditangkap, dokter itu sempat membuang semua barang bukti sehingga tempat prakteknya kosong-melompong, hanya ditemukan sebuah jarum suntik yang tercecer. Dokter Bejo mengatakan kepada polisi kalau barang bukti sudah dibuang ke sungai. Tentu saja susah ditemukan karena arus sungai sangat deras. Polisi tak kurang akal, obat-obatan yang ada di rumah pasien diambil sebagai barang bukti. Ternyata setelah diteliti lebih lanjut, itu hanyalah obat-obatan yang dibeli di warung. Oleh Dokter Bejo, obat itu ditumbuknya menjadi serbuk dan dimasukkan kapsul. Jika ada pasien mengeluh sakit kepala, maka diberi kapsul berisi serbuk obat sakit kepala dari obat warung yang ditumbuknya. Bila ada pasien mengeluh sakit perut, maka diberi kapsul obat sakit perut dari obat warung yang ditumbuknya. Pantas tidak pernah memberi resep, wong tidak pernah kuliah di kedokteran.
Sebagai wartawan cilik, Cipo diminta Briptu Anwar untuk datang ke kantor polisi. Cipo berada di ruang pemeriksaan tahanan. "Apakah mengobati orang sakit itu sebuah kejahatan? Kalau dia mati, itu memang sudah takdirnya begitu. Sudah waktunya untuk meninggal dunia." kata Dokter Bejo, sama sekali tidak merasa bersalah. "Toh, yang kusuntikkan itu obat," kata Dokter Bejo lagi.
Cipo tahu teman-teman polisinya hanya mendapat alat suntik, obat yang disuntikkan tidak ada. Cipo menunjukkan botol yang dibuang Dokter Bejo ke sawah. "Ini botol yang dibuangnya ke sawah, sepulang dari rumah pasien yang mati," ujar Cipo, "Saya curiga dengan cairan di dalamnya. Lihat, ada serpihan bunga mawar dan airnya juga berbau bunga mawar. Dokter Bejo menyuntik pasiennya dengan cairan mawar."
"Bohong!" teriak Dokter Bejo.
"Ini tadi yang dibuangnya di sawah, kebetulan saya sedang cari ikan dan melihatnya, maka saya ambil," sanggah Cipo. Briptu Sanusi mencium botol itu. "Ini lubang bekas ditusuk jarum suntik untuk menyedot isinya," kata Cipo, sambil menunjuk lubang di tutup botol.
Dokter Bejo tidak bisa berkelit lagi dan mengakui semua perbuatannya. Mengapa dia menyuntik dengan air bunga mawar? "Air bunga mawar bisa untuk mengobati apa saja," kata dokter gadungan itu.
"Jadi semua pasien disuntik dengan air bunga mawar?" tanya Briptu Anwar.
"Ya," jawab Dokter Palsu Bejo.
"Apakah orang sakit bisul juga disuntik air mawar?" tanya Briptu Andi. Dokter gadungan mengiyakan. "Sakit kanker juga sama, disuntik dengan air itu juga?" Sekali lagi dokter palsu itu mengangguk. Wah, enak banget. Modalnya hanya air rendaman bunga mawar. "Tapi kenapa ongkosnya bisa sangat mahal?"
"Namanya juga cari uang, Pak," kata dokter aspal, asli tapi palsu. Hanya saja dokter palsu bersikukuh kalau kematian pasiennya bukan karena ulahnya. "Sudah takdirnya untuk mati," katanya.
"Jadi kalau Bung Bejo sekarang saya tembak, juga takdir kan?" tanya Briptu Andi, sambil menimang pistolnya.
"Jangan Pak, aku masih ingin hidup," kata Bejo.
Briptu Anwar berkata, "Yang disebut takdir itu kalau kita sama sekali tidak berkuasa untuk mengaturnya. Misalnya gempa bumi, mana bisa manusia mencegah gempa bumi. Kalau ini, kamu menyuntik orang dengan air bunga mawar, penyakit orang itu bertambah parah, lalu kamu obati dengan mantra dan kamu injak-injak, setelah orang itu mati kamu bilang itu takdir. Mati dan hidup memang urusan Tuhan. Tapi apakah kamu lantas tidur di rel kereta api?" Bejo tertunduk kepalanya. Petualangan dokter palsu telah berakhir dan hotel prodeo sudah merindukannya. Cipo menulis kisah itu untuk majalah Kriminol, tentu saja diterima dengan senang hati oleh Pak Soku sang pemimpi redaksi. (*)