Beberapa kali Cipo bermimpi bertemu dengan Mbah Ciek. Dia juga heran, mengapa akhir-akhir ini mimpi bertemu orang tua itu. Meskipun tinggal di satu dusun tapi mereka jarang bertemu, Mbah Ciek jarang keluar rumah. Suatu hari Cipo melihat Mbah Ciek turun dari becak, tampaknya habis belanja kain. Ndul-ndul yang melihat kain putih di becak mengatakan kalau kain yang dibeli Mbah Ciek adalah kain kafan. Jelas saja si gundul itu ngawur. Memang Mbah Ciek sudah tua, tapi kain itu bukanlah kain kafan, melainkan kain untuk bahan batik. Mbah Ciek dari dulu selalu membuat kain batik. Cipo menceritakan mimpinya, "Saya beberapa kali mimpi bertemu Mbah Ciek. Ada apa, ya?"
"Jangan-jangan Mbah Ciek sudah akan meninggal," bisik Ndul-ndul. "Bila begitu, kain putih yang dibeli itu kain kafan."
"Kamu mengada-ada. Nanti kalau bertemu Mbah Ciek saya sampaikan, kalau kamu mendoakan agar cepat mati," kata Cipo.
"Ah, jangan sampaikan itu padanya!" kata Ndul-ndul menyesal. Dulu, Ndul-ndul pernah membuat heboh perihal Paman Odar. Suatu saat dia pernah mendengar cerita orang kalau Paman Odar menelan anak tikus, terus dia bercerita kepada anak-anak lain kalau Paman Odar makanannya anak tikus. Padahal antara pernah makan anak tikus dan makanannya anak tikus sudah berbeda arti. Kalau pernah makan anak tikus berarti hanya sekali saja makan anak tikus. Tapi kalau makanannya anak tikus berarti Paman Odar tiap hari makan anak tikus, atau anak tikus menjadi makanan pokoknya. Saat berita itu menyebar Ndul-ndul ngumpet, takut bertemu Paman Odar, takut dimarahi. Padahal Paman Odar hanya tertawa saja ketika anak-anak lain mengadukannya.
"Kalau begitu sebaiknya kita ke rumah Mbah Ciek. Bukankah kita sudah lama tidak ke sana. Pasti pohon buahnya juga rindu kepada kita," kata Jalu bersemangat. Mereka pergi ke rumah Mbah Ciek yang berada di pojokan dusun. Rumah yang paling terpencil di dusun mereka.
"Assalamualiakum," mereka bertiga memberi salam.
Sampai dua kali salam belum ada jawaban. Ketika mereka sudah ancang-ancang untuk memberi salam lagi, tiba-tiba Mbah Ciek sudah membuka pintu. "Alaikum salam. O, kalian. Simbah sedang ada di belakang sehingga tidak begitu mendengar suara kalian," kata Mbah Ciek.
"Lho, memangnya Paman Senen tida ada, Mbah?" tanya Cipo.
"Sedang ke sawah. Katanya mengambili keong emas. Kalau dibiarkan katanya keong itu bisa menghabiskan tanaman padi sepetak dalam semalam saja. Kalau kalian doyan nanti Simbah buatkan sate keong."
"Wow, hebat sekali!" kata Ndul-ndul. "Mimpi Cipo memang hebat, membawa rezeki."
"Lho memangnya Cipo mimpi apa?" tanya Mbah Ciek.
"Katanya beberapa kali mimpi bertemu Mbah Ciek," kata Jalu.
"Lha, itu tandanya rindu. Bukankah kalian sudah lama tidak main ke sini," kata Mbah Ciek. "Belimbing, jambu, juga yang lainnya, jadi terlantar. Anak-anak lain juga tidak datang-datang juga. Apa kalian sedang ada ujian sekolah?"
"Tidak, tapi kami memang sedang sibuk," kata Ndul-ndul.
"Sibuk apa?"
"Main," jawab Ndul-ndul sambil tertawa. Segera saja dia memanjat pohon jambu biji di kebun. Tak jera-jera, padahal dia sering bentol kulitnya terkena ulat bulu.
"Kalau ada ulat bulu turun saja. Cukup pakai galah saja," kata Mbah Ciek. Jalu dan Cipo mengambil buah yang lain. Cipo mencari belimbing wuluh, yaitu belimbing sayur yang asam sekali rasanya. Pernah berplastik-plastik dia membawa pulang belimbing sayur, ibunya malah tertawa. Kata ibunya, untuk apa belimbing asam sebanyak itu. Akhirnya belimbing sayur itu hanya berjatuhan dan busuk. Kadang Mbah Ciek memakainya untuk mencuci kain batik, sebagai pengganti buah klerak yang sudah langka.
"Apakah Mbah Ciek tidak membatik hari ini?" tanya Cipo.
"Hari ini Simbah istirahat. Dari kemarin rasanya tidak enak badan, mungkin masuk angina," jawab Mbah Ciek. Mbah Ciek sudah banyak memiliki cucu, tapi bukan dari Paman Senen. Anak bungsunya itu belum berkeluarga meskipun usianya sudah tua. Anak-cucu Mbah Ciek tinggal di Semarang dan Madiun.
Mendegar Mbah Ciek baru tidak enak badan Ndul-ndul bisik-bisik lagi, "Jangan-jangan...." Tapi kata-katanya terputus karena dibentak Jalu.
"Jangan-jangan Ndul-ndul sedang kesurupan," bisik Cipo sambil tertawa. Ndul-ndul jadi mendelik matanya. Di televisi baru banyak berita tentang kesurupan. Ada sekolah yang murid-muridnya kesurupan setelah pohon di halaman sekolah ditebang. Berita kesurupan silih berganti, berpindah-pindah tempat. Tampaknya dari Sabang sampai Merouke ada yang kesurupan. Aneh sekali. Entahlah, mengapa bisa seperti itu. Ada juga kesurupan palsu, tepatnya mengigau palsu, dan itu dilakukan Cublak saudara sepupu Cipo. Cublak setiap hari mengigau minta dibelikan sepeda mini baru. Tentu saja orangtuanya jadi bingung, karena Cublak sudah memiliki sepeda mini baru. Bahkan ketika Cublak menginap di rumah Cipo juga mengigau seperti itu. "Tidak…., tidak, aku ingin dibelikan sepeda mini baru, yang ada pernya!" teriak Cublak sambil matanya merem. "Pokoknya sepeda mini yang ada pernya."
Semua orang menyarankan agar keinginan Cublak dipenuhi. Akhirnya, Cublak mendapat sepeda idamannya. Nah, setelah dibelikan yang baru Cublak mengaku kalau selama ini igauannya hanyalah bohong-bohongan, yang di sengaja. "Aku hanya akal-akalan. Aku pernah melihat tetangga yang kesurupan. Ketika yang kesurupan minta kopi dibuatkan air kopi. Ketika minta rokok diambilkan rokok, juga ketika minta bubur merah! Nah, aku menyontek saja. Tapi untuk pura-pura kesurupan aku takut! Siapa tahu nanti ada setan yang benar-benar memasuki diriku," terang Cublak. Oleh Cipo kelakuan itu dilaporkan secara rahasia kepada orangtuanya, sehingga igauan Cublak sudah tidak sakti lagi untuk mendapatkan sesuatu.
"Memanag aneh-aneh orang di sekitar kita," kata Pak Kreo. "Tapi bukan berarti kesurupan itu hanya bohong-bohongan. Memang Tuhan menciptakan makhluk bukan hanya yang terlihat mata saja. Seperti halnya udara, kita tidak bisa melihat tapi bisa kita rasakan saat dihisap dengan hidung, juga ketika menjadi angin. Kita memang diwajibkan percaya pada yang gaib, bukankah itu salah satu rukun iman? Apakah kalian tahu kehidupan keong berkaki?"
"Kolomang atau pong-pong yang sering dijual di depan sekolahan itu?" tanya Cipo.
"Ya, rumahnya itu bukanlah rumah asli. Itu rumah siput laut yang tidak terpakai yang lalu dipakainya. Disebut keong karena menempati rumah keong, padahal dia itu sejenis kepiting," terang Pak Kreo.
"Lho, bukankah Pak Kreo tadi membahas orang kesurupan, kenapa sekarang berubah keong?" tanya Jalu.
"Sabar! Belum selesai aku bicara sudah kamu potong. Begini, orang kesurupan itu layaknya siput laut yang mati. Orang kesurupan biasa menimpa orang yang sedang kosong jiwanya. Badan orang kesurupan layaknya rumah siput laut yang ditinggal mati. Maka ada roh lain yang selama ini mungkin menempati batu, pohon, atau gentayangan, datang untuk menempati wadagnya. Lalu, jadilah kesurupan," kata Pak Kreo.
"O begitu," kata Ndul-ndul dengan memegangi baju Jalu. Anak ini sudah ketakutan.
"Ya kalau tidak salah," kata Pak Kreo.
"Lho kok kalau tidak salah?" tanya Cipo.
"Lha hiya, wong aku juga hanya menduga-duga," ujar Pak Kreo sambil tertawa.
"Wah, terlanjur kita mendengarnya dengan serius," ujar Jalu. "Tahu begitu mending kita tadi kita cari buah ciplukan."
"Ya sudah, anggap saja kamu tidak mendengar apa-apa," kata Pak Kreo.
"Tapi kata orang-orang ahli di televisi, kesurupan terjadi karena stress! Bukan karena ulah makhluk halus," tukas Cipo.
Pak Kreo tertawa. "Lha pantas saja, karena yang bicara itu psikolog yang sekolahnya saja mahal dan lama. Kalau jawabannya sama seperti saya, apa bedanya mereka dengan saya. Ya, tertawalah tokek di kebun! Betul, kan?"
Kian hari kasus kesurupan kian reda, tapi semangat tiga sekawan untuk main ke rumah Mbah Ciek semakin bertambah. Usia Mbah Ciek katanya sudah tujuh puluh tahun lebih, malah sudah mendekati angka delapan puluh. Tapi masih sehat dan kuat. Selama ini waktunya dihabiskan untuk membatik di rumah. Untuk membuat satu helai kain batik berukuran satu meter kali dua meter saja dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Tapi hasil karya Mbah Ciek sudah ditunggu-tunggu orang dan harganya mahal. Mbah Ciek mengerjakannya sendiri. Bila sedang meniup-niup kain yang dibatik bibirnya kelihatan lucu. canting adalah alat untuk menorehkan malam di kain, sedangkan malam adalh sejenis lilin khusus untuk membatik. Mungkin gara-gara selalu meniup-niup itulah bibirnya tampak maju ke depan. Pernah ibu Cipo memesan sehelai kain batik kepada Mbah Ciek, hampir setahun pesanan itu baru diantar. Maklum banyak yang antri.
"Sudah berapa lama Mbah Ciek membatik?" tanya Cipo.
"Hayo hitung, Simbah sudah membatik saat umur lima belas tahun. Anggap saja umur simbah sekarang delapan puluh tahun," kata Mbah Ciek sambil membatik.
"Sudah enam puluh lima tahun," kata Ndul-ndul. "Mbah, bolehkah saya membantu?"
"He-he! Bukannya Simbah pelit, tapi kalau batik ini kamu teruskan apa jadinya hayo? Pasti tidak karuan. Kalian boleh belajar membatik tapi jangan di kain yang Simbah batik. Kalian cukup membawa potongan-potongan kain saja. Tidak usah sebesar ini," kata Mbah Ciek.
"Kainnya harus berwarna putih, ya?" tanya Jalu.
"Ya, harus putih. Kalau kain hitam mana bisa digambari," jawab Mbah Ciek.
"O, begitu," kata Cipo. Mendapat tantangan untuk belajar membatik membuat mereka berpikir bagaimana cara mendapat potongan kain putih.
"Mengapa harus kain, kalau kita membatik di kertas bagaimana?" tanya Ndul-ndul. "Bukankah lebih mudah mencari kertas."
"Ah kamu, Ndul! Mana ada batik kertas. Memangnya ada orang pakai baju kertas?"
"Iya ya" kata Ndul-ndul. "Bisa jadi cerita Pak Belalang, yang menari dengan baju kertas." Untunglah, Jalu memiliki sisa kain putih, tapi bukan sisa kain kafan. Melainkan sisa seragam sekolah Jalu. Tapi Ndul-ndul yang suka cari masalah mencurigai itu baju bekas seragam Jalu yang dipotong-potong. "Tampaknya ini baju bekas seragam yang sudah tidak terpakai, dan kamu potong-potong!"
"Apa katamu," ujar Jalu, berang.
"Stop, kain bekas juga tidak apa-apa. Kita hanya berlatih. Sudahlah, kalau Ndul-ndul tidak mau jangan diberi. Biar dia membatik di kepalanya saja," kata Cipo.
Toh, Ndul-ndul menerima juga. Bertiga mereka belajar membatik di rumah Mbah Ciek. "Ayo, silakan belajar!" kata Mbah Ciek. "Biar aku panaskan duku malamnya." Mbah Ciek menghidupkan tungku arang. Teko malam ditumpangkan di atas tungku. Malam dihasilkan dari sarang lebah. Fungsi malam/lilin pada kain yang dibatik adalah sebagai penghalang cat kain. Kain yang terkena malam tidak tertembus cat sehingga menimbulkan pola atau gambar. Membuat kain batik berwarna-warni lebih susah, karena harus dibatik berkali-kali. Begitu malam sudah selesai ditorehkan pada pola, maka kain itu dicelup pada zat pewarna kain. Setelah itu dijemur sampai kering. Bila sudah kering maka kain itu direbus untuk meluruhkan malamnya. Bila batik itu hanya satu warna, maka hanya dilakukan satu kali pengolesan malam dan sekali pencelupan zat pewarna. "Zaman dulu, ada orang yang mencari malam di comberan bekas orang membatik. Malam itu dikumpulkan dan dijual lagi," kata Mbah Ciek.
"Aduh, gambarku kok jadi gambar anak anjing," kata Jalu saat menorehkan canting di kainnya. Kini mereka jadi tahu mengapa pembatik harus sering meniup-niup, agar malamnya lekas kering. Begitu malam digoreskan dengan ujung canting maka ditiup agar lekas kering. Canting yang berisi malam juga harus sering diletakkan di atas tungku panas, agara malamnya selalu encer agar mudah ditorehkan. Kalau malamnya beku mana mungkin bisa keluar dari ujung canting.
"Sebaiknya kalian membuat gambar dulu di kain dengan pensil, samar-samar saja," kata Mbah Ciek. "Lalu gambar baru digores dengan canting! Sekarang kalian boleh ngawur!"
Sudah sering mereka datang ke rumah Mbah Ciek, malah setiap perabotan di rumah itu sudah sangat akrab dengan mereka. Tapi ada satu benda yang kini menarik keingintahuan Cipo. Benda itu ada di dalam almari kaca tua, logam berbentuk kotak dan berukir. "Maaf, Mbah! Logam berukir itu apa?" tanya Cipo. "Apakah Simbah dulu pernah ikut lomba batik dan menang, dan itu pialanya."
"Bukan, itu alat untuk batik cap. Selain ada batik tulis ada batik cap," jawab Mbah Ciek. "Itu alat untuk mengecapkan malam ke kain, jadi tidak repot seperti yang simbah lakukan! Setelah itu ada batik printing, dengan mesin-mesin besar." Cap batik itu sudah sangat tua, malah cerita Mbah Ciek, cap batik itu generasi cap batik angkatan pertama. Saat batik cap baru dimulai.
Pada suatu hari ada orang datang ke rumah Mbah Ciek, dia menyampaikan niatnya hendak membeli cap batik tua itu. Dia seorang kolektor cap batik. Tapi Mbah Ciek hanya menggeleng ketika disodori uang yang lumayan banyak. Tentu saja itu mengherankan. "Cap batik ini tinggalan almarhum suami saya, Pak. Maka tidak saya jual," jawab Mbah Ciek ketika dibujuk terus oleh tamunya agar melepas cap batik itu.
"Sudahlah, Ibu minta harga berapa? Sebutkan saja." kata orang itu. Pastilah dia seorang berduit. Mungkin juga kalau sudah di tangannya cap batik itu bisa berkali-kali lipat harganya. Tapi sekali lagi Mbah Ciek menggeleng. Orang itu tidak memaksa. "Tampaknya belum rezeki saya," ujar orang itu dan meninggalkan dusun. Tentu saja berita tentang orang yang hendak membeli cap batik Mbah Ciek yang ditolak itu segera menyebar. Begitulah desa, ada berita sedikit saja akan disambar telinga, lalu pindah ke mulut, dan disebarkan lagi ke telinga-telinga lainnya. Malah ada yang menyebut Mbah Ciek sombong, sok kaya, dan macam-macam lagi.
"Apakah dengan memandangi benda tinggalan suaminya bisa membuatnya kenyang," kata seseorang yang bisa membuat merah telinga. Untung saja Mbah Ciek tidak mendengar kata-kata itu.
"Kamu bisa ngomong seperti itu, karena kamu sendiri belum pernah memiliki suami. Mungkin kalau suamimu kelak meninggalkan sebongkah batu-bata maka akan kamu jaga mati-matian," sergah temannya.
"Siapa tahu almarhum Mbah Ciek Lanang berpesan agar cap batik itu tidak berpindah tangan. Dosa seandainya Mbah Ciek menjualnya," kata lainnya.
"Huh!" sahut orang pertama. "Kalau saya mendingan dijual! Mumpung ada yang ingin membelinya!"
"Lho, mengapa kita repot. Bukankah semua itu hak Mbah Ciek? Iya, kan?" sergah lainnya. Cipo, Ndul-ndul, dan Jalu masih belajar membatik. Mereka juga mengajak Piping, Indri, dan lainnya untuk ikut membatik. Sehingga rumah Mbah Ciek cukup ramai oleh suara anak-anak yang belajar membatik. Tahu kegiatan siswanya yang sedang belajar membatik, kepala sekolah mereka meminta Mbah Ciek mengajar siswa-siswi ketrampilan membatik. Tapi anak-anak yang bergantian datang ke rumah Mbah Ciek, bukan dia yang datang ke sekolah. Setelah itu siswa SMP juga belajar membatik kepada Mbah Ciek yang tidak minta bayaran, karena mereka membawa bahan sendiri.
Suatu hari rumah Mbah Ciek dimasuki maling, yang diambil maling itu hanya cap batik, lainnya tidak. Namun Mbah Ciek tampak santai saja, tidak heboh atas hilangnya barang tinggalan suaminya itu. "Biarlah, kalau sudah masanya hilang mau apalagi. Mungkin sampai di situlah kemampuan saya untuk menjaga amanat almarhum," kata Mbah Ciek, tabah. Tapi Cipo tidak tinggal diam, dia segera menghubungi kantor polisi. Mbah Ciek justru terkejut ketika Briptu Anwar dan Briptu Sanusi datang ke rumahnya. "Lho, kok urusannya sampai ke polisi, siapa yang telah melapor?" tanya Mbah Ciek. "Saya sudah ikhlas."
"Tidak bisa dibiarkan, Bu. Karena ini merupakan tindak kejahatan," kata Briptu Anwar. Maling itu masuk rumah dengan mencongkel engsel pintu. Pintu lemari kaca, tempat cap batik yang hilang juga dibuka paksa.
"Pasti ada kaitannya dengan tawaran untuk membeli cap batik tempo hari," kata Cipo. Lalu dia menceritakan perihal orang yang datang hendak membeli cap batik tersebut. "Apa mungkin calon pembeli itu menyuruh orang untuk mencurinya?"
"Jangan berpikir tanpa dasar," kata Briptu Anwar mengingatkan.
Malah menurut Briptu Sanusi, kemungkinan besar yang melakukan pencurian orang sekitar. Tapi bisa juga orang jauh, yang pasti si maling pernah mendengar kalau cap batik itu pernah hendak dibeli dengan harga tinggi. "Bisa jadi cap batik itu akan dijual kepada kolektor. Namun belum tentu kolektornya terlibat dalam skandal pencurian ini."
Polisi berjanji akan mengusut kasus pencurian itu, dan berjanji akan mengembalikan cap batik itu kepada Mbah Ciek, tapi kalau berhasil ditemukan. "Sudahlah, Nak. Itu tidak penting lagi," kata Mbah Ciek. Tapi polisi tidak bisa menghentikan penyelidikan suatu tindak kejahatan. Rumah Mbah Ciek sudah dibetulkan, oleh Paman Senen yang dibantu beberapa tetangga. Almarinya juga sudah dibetulkan, kuncinya diganti dengan yang baru, tentu saja malah kelihatan tidak serasi. Tapi Mbah Ciek sudah merasa senang.
"Mengapa Simbah tidak menjual cap batik itu?" tanya Cipo. "Bila dulu dijual maka tidak akan hilang."
"Sudah Simbah beri tahu, itu tinggalan Mbah Kakung," jawab Mbah Ciek. Lalu Mbah Ciek bercerita tentang suaminya yang bernama Pono, seorang buruh pada sebuah juragan batik. "Pono muda bekerja pada Mbok Mase di Laweyan, Solo, tak jauh dari sungai Bengawan Solo." tutur Mbah Ciek memulai cerita. Mbok Mase adalah juragan perempuan, yang berkuasa atas usaha keluarga. Suatu saat Mbok Mase kehilangan cap batiknya. Memang sebelumnya usaha Mbok Mase adalah batik tulis, tapi begitu batik cap mulai muncul, maka Mbok Mase berganti usaha dengan batik cap. Pono muda dituduh sebagai pencurinya. Batik cap Mbok Mase saat itu sangat laris karena motipnya yang bagus. Orang saat itu mengidamkan memakai kain batik cap dengan corak Ramayana, yaitu yang bergambar Rama dan Shinta yang naik burung garuda. Tentu saja Pono muda tidak terima karena dia memang bukan pencurinya.
Pono muda yang bekerja sebagai sais kereta kuda Mbok Mase merasa tertantang, dan ingin membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Saat itu persaingan antarjuragan batik sangat tinggi. Bahkan masing-masing ingin agar usaha saingannya mati, atau tidak berkembang. Terutama itu dilakukan oleh pengusaha batik yang tidak bergabung organisasi. Sebetulnya itu salah satu strategi pihak Belanda, karena saat itu paguyuban pengusaha batik Laweyan cukup kompak dan itu dianggap berbahaya. Pencurian cap batik itu dalam rangka adu domba.
Pono muda menyelidik, karena dia anak muda yang biasa bergaul maka temannya juga dari segala macam lapisan masyarakat, termasuk juga dari golongan hitam. Dari teman-teman preman itulah dia mendapat keterangan kalau pencuri cap batik tuannya dilakukan oleh Brandal Gabrul, dari Kartosuro. Itu diketahui temannya, karena anak buah Gabrul sempat menawarkan cap batik motif Ramayana itu kepada beberapa pengusaha batik, tetapi ditolak. Nah, dari pengetahuan itulah Pono mencari Brandal Gabrul untuk mendapatkan kembali cap batik tersebut. Tentu bukan pekerjaan mudah berhadapan dengan berandalan pada masa itu yang rata-rata bengis dan kejam.
Untuk memulihkan nama baiknya dihadapan juragan, maka segala upaya dilakukannya. Akhirnya ditantanglah si Gabrul untuk bertarung satu lawan satu dengan sebuah perjanjian. Bila Gabrul kalah maka cap batik itu diberikan kepada Pono muda. Disanggupi, lalu terjadilah perkelahian hebat. Konon ceritanya perkelahian mereka sampai berjam-jam, dan banyak yang menyaksikan perkelahian itu. Gabrul akhirnya kalah, dan menyerahkan cap batik itu. Nah, barulah Mbok Mase percaya bahwa bukan Pono pelaku pencurian itu. Setelah muncul batik printing, batik cap mulai tersingkir. Pono lalu meminta cap batik yang diperjuangkan itu sebagai kenang-kenangan. "Malah, saat meminang Simbah, cap batik itu juga dijadikan salah satu mas kawin," kata Mbah Ciek.
Batik printing mampu memproduksi ratusan kodi sehari, sementara batik cap hanya mampu membuat 20 sampai 30 kodi sehari. Satu kodi adalah dua puluh potong. Sementara batik tulis lebih lama lagi, karena diperlukan waktu sebulan hingga empat bulan untuk membuatnya. Bentuk alat cap dibuat dari tembaga cetakan logam dengan desain tertentu, membuatnya dengan teknik cor logam. Karena teknolgi batik printing yang jauh lebih modern, cepat, berproduksi massal, dan murah maka batik tulis maupun batik cap semakin tersingkir dan kalah. Kekuatan kongsi dagang batik Laweyan, Solo, pernah diadu domba dengan kekuatan kongsi dagang China oleh Belanda. Cap batik kini sudah jadi barang loak, atau disimpan digudang.
"Aduh, kenapa Mbah Pono rela berkelahi demi cap batik itu?" kata Jalu. "Bukankah dia bisa keluar kerja saja dari juragan yang sombong itu!"
"Wow, kamu tidak tahu! Karena saat itu saya juga tinggal di rumah Mbok Mase," sahut Mbah Ciek sambil tersenyum.
"Lalu apa hubungannya?" tanya Ndul-ndul.
Cipo tertawa melihat Mbah Ciek yang selalu tersenyum, yang hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Lalu Cipo yang berkata, "Saya tahu alasannya. Mbah Pono tidak mau kalau Mbah Ciek juga menuduhnya sebagai pencuri. Betulkan, kan, Mbah?" Mbah Ciek mengangguk sambil tertawa.
"Saya kok belum terang!" kata Ndul-ndul.
"Saat itu Mbah Pono sudah menaksir Mbah Ciek. Pasti malu kalau sampai Mbah Ciek juga menganggapnya sebagai pencuri," kata Jalu.
Ndul-ndul baru mengangguk-angguk. "Betul juga, saya jug pernah merasakannya. Saat saya dibilang pelit sama Riri saja saya sangat sedih," kata Ndul-ndul mallu-malu.
"Huuuuuu, Ndul-ndul sok laris," seru Cipo dan Jalu serempak.
"Jadi itulah utama kenapa Mbah Ciek tidak menjual cap batik tersebut?" tanya Cipo.
"Ya, karena benda itu sangat berarti bagi saya. Tapi kini sudah hilang, mau apalagi. Biarlah, tidak apa-apa," jawab Mbah Ciek.
"Coba Mbah Pono masih hidup, pasti dicari lagi," kata Ndul-ndul. Mbah Ciek tertawa. Pihak kepolisin juga belum berhasil mendapat titik terang sekitar kasus cap batik itu. Tapi pada suatu hari, si penawar cap batik itu datang ke rumah Mbah Ciek. Kali ini malah menyerahkan cap batiknya yang hilang. Orang itu berkata, "Bu, ini cap batiknya. Ada pedagang barang antik yang mengantarnya ke rumah. Aku beli saja, tapi kurasa ini hasil curian karena Bu Ciek tak pernah berniat menjualnya. Terimalah kembali cap batik ini."
"Oh, terima kasih, Nak. Saya sudah rela kalau cap batik itu hilang. Mungkin sampai disitulah kekuatan saya untuk menyimpannya," kata Mbah Ciek. Orang itu menyerahkan cap batik yang hialng. Ternyata dia itu masih kerabat Mbok Mase, dan kini bermaksud mendirikan musium batik. Tentu saja dia mencari benda-benda yang berhubungan dengan batik. Dan cap batik yang ada di Mbah Ciek itu dianggap memiliki nilai khusus, karena pernah membuat gempar Laweyan.
Oleh Mbah Ciek, cap batik itu diberikan kepada orang itu. "Mungkin museum lebih pantas menyimpannya dari pada saya. Nanti kalau saya tidak ada malah tidak terawat!" Mbah Ciek menolak uang yang disodorkan orang itu sebagai pengganti. Siapa pelaku pencurian cap batik itu tetaplah menjadi misteri, karena si pendiri museum itu tetap tutup mulut. Sudahlah, cap itu sekarang sudah ada di tempat aman. Tentang kasus pencurian cap batik itu, Cipo menulisnya untuk majalah Kriminol dan diterima dengan senang oleh Pak Soku. Tapi, akan diterbitkan untuk edisi berikutnya. "Wah, keburu basi ceritanya," kata Ndul-ndul yang diberi tahu. Basi? (*)