Chereads / CIPO wartawan cilik / Chapter 10 - Jimat Bambu Pethuk

Chapter 10 - Jimat Bambu Pethuk

"Pokoknya kalau kamu mendapat bambu pethuk aku akan membayarnya mahal," kata pedagang jamu di pasar tiban. Disebut pasar tiban karena adanya pada hari-hari tertentu saja, tidak setiap hari. Pasar tiban ada bila hari jatuh pada pasaran Kliwon, misalnya Senin Kliwon, Rabu Kliwon, dan seterusnya. Kebetulan hari Minggu jatuh pada pasaran Kliwon sehingga Cipo, Ndul-ndul, dan Jalu bisa melihat keramaian pasar itu. Bila pasar tiba itu jatuh pada hari Minggu lebih ramai. Pedagang tumpah ruah sampai ke jalan-jalan. Selama ini yang menarik dari pasar tiban adalah pedagang obralan, karena mereka selalu berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Ada yang cukup berteriak dengan mulutnya sampai serak, tapi banyak juga yang menggunakan mikrofon kecil. Pedagang yang sering dikelilingi orang adalah pedagang obat atau jamu karena sering memamerkan hal yang aneh-aneh.

Saat itu Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul ikut merubung pedagang jamu bersama yang lainnya. Karena sejak awal pedagang itu berjanji akan melakukan atraksi ular. "Akan kumasukkan ular ini dari hidung dan akan kukeluarkan dari mulut!" Tetapi sampai pasar bubar tidak juga pedagang jamu itu memenuhi janjinya untuk melakukan atraksinya.

"Lho, kapan memasukkan ularnya, Pak?" protes Cipo ketika orang itu mengemasi barangnya.

"Memangnya aku tadi janji apa?"

"Memasukkan ular dari hidung dan keluar dari mulut!" kata Jalu.

Orang itu tertawa, lalu melongok kantong yang selalu diikat tali. Orang itu berkata, "Waduh, ularnya sedang tidur! Aku tak berani mengganggunya."

"Kok seperti akan membangunkan presiden saja," tukas Cipo, dan mereka beranjak pergi.

"Eh, tunggu dulu," kata pedagang itu. "Ingat ya, jika kalian memiliki bambu pethuk maka aku akan membelinya dengan harga mahal."

"Saya tidak tahu apa itu bambu pethuk," kata Cipo.

Pedagang itu berkata, "Bambu itu sudah sangat terkenal, karena sangat dicari-cari oleh orang untuk jejimat, Untuk penglaris, wibawa, dan sebagainya."

"Mana, tunjukkan contohnya biar kami tahu," kata Jalu.

"Wah tidak ada," kata pedagang jamu itu, lalu mengeluarkan foto kusam yang bergambar bambu pethuk. "Lihat foto ini! Yang dimaksud bambu pethuk adalah bila ruas-ruas bambu itu berhadap-hadapan. Berasal dari kata "pethuk" yang berarti berjumpa atau bertemu. Kalau bambu biasa ruasnya tumbuh searah."

"Aneh-aneh saja," sungut Jalu. "Kalau yang begini belum tentu dalam setahun bisa kami temukan,"

Ndul-ndul menambahi, "Kalau mempunyai bibit bambu pethuk kasih saja kepada kami, biar kami tanam."

Pedagang itu tertawa, "Kalian pikir bambu pethuk itu nama jenis bembu? Bukan itu." Tumben si pedagang begitu ramah. Biasanya pedagang kalau tidak dibeli barang dagangannya sering bersikap kasar.

Ketika pulang dari pasar tiban mereka masih membicarakan tentang bambu pethuk. "Ah, pedagang obat di mana-mana sama saja. Mereka berusaha menarik calon pembeli dengan aneka cara," kata Bunda ketika Cipo menceritakan perihal bambu pethuk. Toh meskipun begitu Cipo, Ndul-ndul, dan Jalu bila menemukan pohon bambu jadi sering berlama-lama mengamatinya. Mencari-cari siapa ahu menemukan ruas bambu pethuk. Bila ada patahan dahan bambu mereka sampai berebut. Itu terjadi karena berharap mendapat uang banyak dari pedagang obat. Tetapi mereka tidak juga menemukannya.

"Apakah Pak Jlog tahu apa itu bambu pethuk?" tanya Cipo, ketika bertemu orang tua itu.

Pak Jlog bersemangat seperti biasanya, "Tentu saja tahu. Tapi aku belum pernah menemukannya."

Jalu bertanya, "Apakah sangat langka?"

"Tentu saja. Tidak langka bagaimana. Bambu pethuk itu ruas bambu yang salah tumbuh. Seharusnya tumbuh ke arah atas tapi yang ini malah tumbuh ke arah bawah," kata Pak Jlog. Setelah mendapat keterangan itu mereka segera melupakan bambu aneh itu. Suatu malam Cipo bermimpi bertemu Nek Boci. Sehingga ketika di sekolahan dia mengutarakan mimpinya kepada Jalu.

"Saya bermimpi ketemu Nek Boci," kata Cipo.

"Kalau begitu, nanti kita main ke desanya saja. Kita ajak Ndul-ndul," kata Jalu. Maka setelah sepulang sekolah mereka bersepeda ke desa Nek Boci. Lumayan jauh, tapi tak apalah. Karena mereka ingi mengetahui keadaan Nek Boci. Mereka berhenti di luar pekarangan Nek Boci. Tampak beberapa orang di rumah itu, termasuk anak-anak kecil yang sedang bercanda di halaman rumah. Ada yang melihat mereka bertiga dan memanggilnya, "Anak-anak silakan masuk!"

Mereka bertiga turun dari sepeda dan menuntunnya memasuki pekarangan rumah Nek Boci. Nek Boci kini ditemani oleh salah satu anak perempuannya. Sementara anak-anak kecil itu adalah anak-anak tetangga yang kini sudah akrab dengan Nek Boci. "Syukurlah," kata Cipo dalam hati. Cerita tentang hujan darah sudah tak pernah terdengar lagi. Meskipun ada tapi tidak dikaitkan dengan Nek Boci. (Tentang hujan darah, baca Cipo edisi Rahasia Hujan Darah. Sepulang dari rumah Nek Boci, mereka melihat Mas Utut dan teman-temannya sedang mencari ikan di sungai. Tentu saja ini sangat menarik karena mencari ikan sangatlah menyenangkan. Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul bergabung dengan Mas Utut. "Bolehkah kami membantu menangkapi ikan, Mas?"

"Boleh saja! Tapi ikannya jangan dikantongi, ya!" kata Ms Utut.

"Mas Utut mencuriga kami, ya?" tanya Cipo.

Mas Utut tertawa, "Bukan itu! Kalau kalian memasukkan ikan ke saku baju atau celana kan amis!" Mas Utut telah membendung aliran air dari arah hulu sehingga debit air sungai menyusut dengan cepat. Begitu air menipis maka ikan-ikan kebingungan dan berenang ke sana kemari. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Perburuan ikan pun dimulai. Cipo dan teman-temannya berlari-lari menangkapi ikan. Ada ikan jenis wader, lele, gabus, udang, bahkan belut. Bila ada ikan yang kebingungan Cipo mencegatnya dengan tangan, dari arah depan dan belakang. Lalu dengan hati-hati ditangkapnya ikan itu, "Hup! Wow tertangkap! Saya mendapat ikan!" Teman Mas Utut ada yang membawa jaring dari kelambu sehingga memudahkan menangkap ikan. Begitu ikan yang satu tertangkap mereka memburu ikan-ikan yang lain. Mas Utut dengan cangkulnya mencangkuli lumpur sungai untuk mendapatkan belut. Mereka tak mempedulikan baju yang basah dan berlepotan lumpur, yang penting hepi. Ketika sedang mengejar-ngejar ikan itulah Cipo menemukan potongan bambu. Ternyata bambu pethuk.

"Ini yang kita cari selama ini," teriak Cipo, girang.

"Apa? Kamu mendapat ikan paus?" tanya Ndul-ndul.

"Bukan ikan. Tapi melebihi ikan, saya menemukan bambu pethuk," seru Cipo, sambil menunjukkan bambu pethuk kepada teman-temannya. Mas Utut dan lainnya tidak peduli dengan tiga sahabat yang asyik mengamati bambu temuan.

"Kalau kalian ingin ikut pesta ikan goreng nanti datang ke rumah!" kata Mas Utut.

"Beres, Mas!" seru Ndul-ndul, tentu undangan makan ikan itu tidak akan disia-siakannya. Bambu itu mereka bawa pulang lalu dicuci sampai bersih.

"Kapan pasar tiban berikut ya? Kita bisa membawanya kepada pedagang jamu dan jimat itu lagi," ujar Cipo.

"Besok! Saya rasa sepulang sekolah pedagang itu masih ada. Habis berdagang biasanya dia nongkrong di warung, saya sering melihatnya," kata Jalu.

****

Tanaman bambu masih bersaudara dengan tebu dan termasuk famili rumput-rumputan. Pernahkah kalian makan rebung? Rebung adalah bambu muda yang baru tumbuh dari tanah. Rebung dihasilkan oleh rumpun bambu. Tetapi tidak semua jenis bambu menghasilkan rebung yang enak disayur atau dijadikan isi lumpia. Rebung yang lezat dihasilkan oleh bambu petung. Bambu petung adalah jenis bambu yang paling besar. Selain bambu petung ada bambu apus, bambu ori, bambu wulung, bambu kuning, dan sebagainya. Ada lelucon klasik tentang rebung. Ada orang asing yang menikmati sayur rebung lalu menyatakan kekagumannya. "Enak sekali! Sayur apakah ini?" "Rebung! Bambu muda," jawab yang ditanya. "Hebat sekali. Yang muda saja lezat, apalagi yang tua!" seru orang asing itu. Yang tua? Memang giginya kuat mengunyah bambu?

Ciri khas bambu adalah batangnya yang beruas-ruas dan berongga. Jarang orang melihat bunga bambu karena yang berbunga adalah bambu yang sudah tua. Sementara orang sudah tergesa-gesa menuai bambu sebelum betul-betul tua. Bambu sangat banyak gunanya. Aneka kerajinan dan perlengkapan rumah tangga dibuat dari bambu. Masakan lemang yang dibuat dari beras ketan dimasak di tabung bambu. Tusuk sate juga dibuat dari bambu. Apalagi ketika zaman orang masih mengandalkan kayu atau bambu untuk membuat rumah. Bambu dijadikan tiang, dianyam sebagai gedek untuk dijadikan dinding, kusen, dll. Konon untuk menutup celah-celah lubang dinding dari bambu, orang dulu menggunakan kotoran sapi. Karena kalau kering menjadi sangat keras dan tidak kalah dengan semen dan tidak mengelupas bila terkena air. Lantas bagaimana dengan baunya? Bahkan perjuangan merebut kemerdekaan tanah air kita juga tidak terlepas dari jasa pohon bambu. Dengan senjata bambu yang ujungnya diruncingkan para pejuang melawan tentara Jepang dan Belanda yang bersenjata modern.

Daun bambu tidak begitu banyak digunakan. Tetapi ada kue yang dibungkusi dengan daun bambu. Pembuat tempe melapisi bungkusnya dengan daun bambu, terutama tempe gembus yang dibuat dari ampas tahu. Akar bambu bisa dibuat kentongan yang berbentuk unik. Bahkan sekarang ada yang memanfaatkan akar bambu untuk dibuat bebek atau binatang lainnya dan diekspor ke luar negeri. Ada yang dibenci orang dari bambu, yaitu gelugut atau rambutnya yang jika terkena kulit mengakibatkan gatal. Kalian ingin membuat peluit? Cari ujung cabang bambu yang ada kuncup daunnya. Cabut kuncupnya, tiup maka akan keluar bunyi yang nyaring "piiit...".

Pohon bambu banyak ditemukan di tepi sungai, terutama sungai yang lumayan besar untuk mencegah erosi. Bagaimanakah cara menamam bambu? Jarang orang yang melakukannya. Malah jarang ada orang yang serius menggeluti bertanam bambu. Untuk menanam bambu orang harus mengambil bagian bawah rumpun bambu dan menanamnya. Rebung akan tumbuh, menjadi tanaman bambu baru, dan akan beranak-pinak. Mematikan tanaman bambu sangat sulit. Orang harus mendongkel rumpunnya sampai tidak ada sisa. Bagaimana kalau dibakar saja? Tidak bisa, karena bagian rumpun yang tertimbun tanah tetap hidup dan akan menghasilkan rebung.

****

eesokan harinya, sepulang sekolah, mereka ke pasar tiban dan menemui tukang jamu itu. Cipo menunjukkan bambu pethuk temuannya. "Pak, ini kami punya bambu pethuk. Berapa akan dibayar?" Pedagang itu sejenak terkejut. Pedagang itu lalu mengamat-amati bambu itu.

"Tapi ini ruasnya terlalu panjang. Bambu pethuk yang mahal itu bila ruasnya pendek sehingga kalau dikantongi tidak kelihatan."

"Mengapa begitu?" tanya Cipo.

Pedagang itu menjawab, "Lho bambu ini sebagai jimat. Jimat itu tidak boleh diketahui orang lain!"

"Memangnya ada apa kalau diketahui orang lain?" tanya Ndul-ndul.

"Tabu! Sehingga khasiatnya berkurang," jawab pedagang itu.

Cipo segera menukas, "Jadi bambu ini tidak akan dibayar?"

Pedagang itu menjawab tergesa-gesa, "Aku bayar! Lima puluh ribu rupiah. Ini!" Lumayan juga. Kalau kalian mendapat yang beruas pendek akan kubayar lebih mahal."

"Ini saja kami temukan secara tidak sengaja," kata Jalu. Dengan uang itu mereka jajan bakso Pak Thor. Ketika pergi ke pasar lagi mereka melihat pedagang jamu itu berdebat sengit dengan seseorang. "Empat ratus ribu sangat mahal. Ini uangnya!"

"Aku mau lima ratus ribu!"

"Tidak, uangku hanya segitu. Kalau tidak cocok, bawa saja lagi bambu pethukmu!" kata pedagang jamu dan jimat.

Dengan bersungut orang itu menerima uang yang dibayarkan lalu mengipas-ngipaskan uangnya sambil berkata, "Lumayan! Empat ratus ribu rupiah dari bambu pethuk!" Orang-orang yang melihatnya geleng-geleng kepala atas keberuntungannya orang itu. Pedagang jamu pun segera menunjukkan bambu pethuk yang baru saja dibelinya.

"Bambu pethuk seperti inilah yang kumaksudkan!" kata pedagang itu. Lalu datanglah seseorang yang menawarkan bambu pethuk yang ukurannya sama. Tapi untuk yang belakangan ini pedagang jamu itu selalu berkelit, tak mau membayarnya. Dikatakan bambu itu sudah retaklah, kurang standarlah. Bahkan ketika orang itu menawarkan harga seratus ribu saja tidak dilayaninya. Dengan marah orang itu menarik krah baju tukang jamu dan memukul dagunya. Pedagang jamu menyeringai kesakitan.

Ketika orang itu pergi Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul mendekatinya. Pedagang itu melap dagunya yang sakit. Meringis. "Sakit, Pak?" tanya Cipo, iba.

"Ya!" jawab pedagang itu.

Ndul-ndul usul, "Lapor polisi saja, Pak!"

"Ah, nanti urusannya jadi panjang dan aku malah tak bisa berdagang!" jawab pedagang itu. "Inilah risiko orang kecil seperti saya. Maka sekolahlah yang tinggi biar tidak jadi pedagang jamu sepertiku!" Ndul-ndul terharu mendengar nasihatnya, sampai menitikkan air mata.

"Sebetulnya Bapak ini pedagang jamu atau pedagang jimat sih?" tanya Jalu.

"Dua-duanya," jawab orang itu sambil tersenyum.

Tidak lama kemudian datanglah seseorang, "Ada bambu pethuk, Bos?"

"Ada!" jawab pedagang jamu dan mengeluarkan bambu pethuk dari tasnya yang kumel. "Ini!" Calon pembeli mengamati dengan cermat, bahkan kukunya pun digunakan untuk mengecek tentang keaslian bambu pethuk itu. Ketika sudah yakin orang itu menanyakan harganya. Dijawab lima ratus ribu rupiah. Anehnya, orang itu langsung membayar tanpa menawar-nawar.

Ketika orang itu sudah pergi Cipo berkata, "Saya pikir harganya sampai jutaan."

"Jutaan rupiah kalau sudah sampai di tangan dukun atau kolektor," jawab pedagang jamu. "Kalau memiliki lima atau sepuluh kan sudah lumayan. Betulkan?"

"Tapi mencarinya susah," kata Jalu.

****

Pada suatu hari ada pedagang baju keliling datang ke desa Cipo. Anehnya, selain berjualan baju anak-anak orang itu juga membawa bambu pethuk cukup banyak. "Biar dagangan saya semakin beragam," kata orang itu. Ketika Nek Imeh memilih baju-baju untuk cucunya maka yang lain pun ikut merubungnya. Apalagi pedagang itu pandai mengambil hati dan lucu. Justru yang diincar perubungnya adalah bambu pethuk yang dibawanya. Ternyata harga bambu pethuk yang dibawanya itu murah. Hanya dua puluh lima ribu rupiah dan dijamin asli. Cipo, Ndul-ndul, dan Jalu tentu saja tidak ketinggalan. Ikut berkerumun di antara mereka. "Murah sekali, di pedagang jamu saja kita dibayar lima pupuh ribu rupiah. Sementara yang seperti ini, tukang jamu berani membayar empat ratus ribu rupiah," bisik Jalu.

Ketika ditanya mengapa dia menjual bambu pethuknya dengan harga murah dijawab karena dirinya memiliki banyak. "Bambu-bambu ini datang sendiri kepada saya," kata pedagang keliling itu. Yang mendengar jadi tercengang.

"Datang sendiri? Jadi kamu dapatkan dengan bertapa?" tanya Pak Jlog.

Paman Odar juga bertanya, "Kamu diberi dedemit?"

"Ha-ha! Bukan itu semua. Bambu-bamb ini warisan dari kakek saya," kata pedagang keliling itu. "Saya bermimpi ditemui kakek agar menjual secepatnya."

Begitu mendengar keterangan itu banyak yang tertarik membeli bambu pethuknya. Paman Odar membeli satu. Pak Jlog membeli satu. Pak Tiyo membeli tiga. Untuk siapa saja Pak Tiyo membeli tiga? Apakah untuk ketiga anaknya? "Akan kujual ke pedagang jamu di pasar tiban. Kalau dihargai seratus ribu saja maka aku mendapat untung dua ratus dua puluh lima ribu rupiah, lumayan," terang Pak Tiyo.

"Coba saya punya duit maka akan memborongnya," kata Jalu.

Ndul-ndul berbisik-bisik kepada Cipo, "Bagaimana kalau sepeda-sepeda kita jual dan untuk membeli bambu pethuk ini. Lalu kita jual lagi. Begitu mendapat uang banyak kita bisa membeli sepada baru." Tetapi ketika si Ndul-ndul mencoba menawarkan sepedanya tak ada satu pun orang yang tertarik membelinya. Bukan karena sepedanya jelek, tetapi mana mungkin berjual beli denga anak kecil. Kecuali jual beli gethuk atau permen karet, maka gagallah Ndul-ndul kulakan bambu pethuk.

"Bagaimana kalau honor menulismu dibelikan bambu itu," bujuk Ndul-ndul kepada Cipo.

Tapi usulnya tak bersambung karena Cipo malah berpikir lain. Dia menganggap penjualan bambu pethuk secara massal tidak masuk akal. "Kita ingat bagaimana kita susah payah mencarinya, sementara orang ini malah membawa banyak sekali. Saya curiga ini bambu-bambu palsu." Kecurigaian Cipo semakin kuat ketika Pak Jlog dan Pak Tiyo tidak menemukan pedagang jamu di pasar tiban. Ternyata pada saat pasar tiban berikutnya pedagang jamu itu juga tidak muncul.

"Bagaimana ini. Mau untung kita malah buntung," kata Pak Jlog. Ditunggu-tunggu pada pasar tiban berikutnya tetap tidak muncul. "Sialan! Akan kutarik telinganya sampai merah kalau pedagang keliling itu datang lagi ke sini," sungut Pak Jlog, "Untung saya hanya membel satu. Pak Tiyo rugi paling banyak, karena membeli tiga!"

"Bukan Pak Tiyo. Tapi Bu Rina, dia membeli sepuluh," kata Paman Odar. Paman Odar sendiri tak bermaksud menjualnya, tetapi menyimpannya sebagai barang antik. Ternyata banyak yang tertipu oleh penjual keliling itu, termasuk orang-orang dari luar desa.

Diam-diam Cipo mendatangi Paman Odar. "Paman, apakah bambu pethuknya bisa kami pinjam?" tanya Cipo. Tentu saja boleh. Cipo mengamati bambu pethuk itu dengan baik. "Bagaimana palsunya. Saya kok tidak tahu?" kata Cipo.

"Jangan-jangan itu hasil dari lem-leman," kata Jalu. "Tapi tidak tampak adanya bekas lem!"

"Oke, saya punya cara untuk mengetahui apakah ini bambu pethuk asli atau palsu," kata Cipo, "Paman, minta air panasnya, segayung saja!" Paman Odar mengambil air panas. Cipo lalu merendam bambu pethuk yang dipegangnya. "Kita tunggu sejenak apakah lemnya akan lepas." Tetapi ditungu-tunggu tidak lepas-lepas juga. "Jadi ini bambu pethu asli," kata Cipo, mulai ragu-ragu.

Paman Odar berkata, "Jangan buru-buru. Pasti lemnya bukan lem sembarangan. Tidak akan lepas karena direndam air panas. Kita harus merebusnya agar panasnya maksimal!" Paman Odar menghidupkan tungku dan merebus air. Bambu pethuk lalu dimasukkan kuali. Benar, ketika air itu sudah mendidih tidak lama kemudian di salah satu ruas cabangnya terlukai dan lepas.

"Betul, jadi hanya bambu pethuk lem-leman," seru Cipo. "Menurut saya tukang jamu di pasar tiban itu pun telibat!"

Jalu menimpali, "Terlibat bagaimana? Bukankah dia membeli empat ratus ribu rupiah dari orang itu."

Cipo menjelaskan, "Itu hanya sebuah trik!"

"Trik?"

"Ya, dengan begitu dia meyakinkan orang kalau bambu pethuk itu harganya mahal. Jadi, tukang jamu dan pedagang keliling itu bekerja sama."

"Kerja sama bagaimana?" tanya Paman Odar.

"Pedagang jamu meyakinkan bahwa harga bambu pethuk itu mahal. Dengan begitu dagangan bambu pethuk yang dibawa si pedagang keliling akan laris manis," kata Cipo.

"Bagaimana dengan bambu pethuk yang ditolaknya? Apakah orang itu juga terlibat?" tanya Jalu.

"Mungkin tidak. Saya rasa dia memang pemilik asli bambu pethuk. Sehingga dia sangat marah ketika bambu pethuknya ditolak dengan aneka macam alasan," kata Cipo. "Sehingga dia betul-betul memberi hadiah bogem mentah."

"Bagaimana dengan orang yang membeli lima ratus ribu rupiah itu?" tanya Jalu.

"Dia juga komplotannya. Jadi, uang yang dipakai untuk jual beli itu duit mereka sendiri. Hanya sebuah sandiwara untuk meyakinkan kita-kita saja," kata Cipo.

Ndul-ndul berseru dengan kekaguman, "Bukan main! Pintar sekali mereka mengelabuhi kita. Untung saja sepeda saya tidak laku! Kalau jadi laku hilang deh sepeda saya. Tapi dia memebeli bambu kita lima puluh ribu rupiah."

"Ya, maka saat itu dia cukup terkejut dengan penemuan kita. Jadi mau tak mau dia harus membayarnya," kata Cipo. "Tapi uang segitu tidak sebanding dengan uang yang dikeruk dari penjualan bambu pethuk keliling. Jangan harap mereka akan berkeliaran di sekitar kita lagi."

Selanjutnya Paman Odar menemui para pembeli bambu pethuk lainnya. Memberi tahu kalau yang mereka beli itu palsu. Sedangkan Cipo melaporkan kejahatan itu kepada polisi. Polisi bergerak cepat agar tidak jatuh korban penipuan yang lebih banyak. Komplotan penipu itu akhirnya tertangkap di wilayah kabupaten lain. Ternyata komplotan itu sengaja mencari mangsa-mangsa baru. Para penipu itu malah sempat ditayangkan di televisi. Legalah warga yang telah membeli bambu pethuk.

"Coba uang itu dulu kubelikan singkong. Pasti kembung perutku," kata Pak Jlog. "Kamu apakan bambu pethukmu?" Tanya Pak Jlog kepada Paman Odar.

"Direbus Cipo," jawab paman odar.

Pak Jlog terkejut, "Direbus? Untuk apa?"

Paman Odar menjawab, "Pikir Pak Jlog siapa yang melaporkan kejahatan komplotan bambu pethuk kalau bukan Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul? Begitu direbus lemnya lepas. Jadi terbukti palsu, kan?" Pak Jlog manggut-manggut setelah mendengar keterangan itu. Cipo menulis kisah penipuan bambu pethuk itu dan dikirimkan ke majalah Kriminol. Pak Soku sempat ragu-ragu untuk memuatnya. Tetapi karena kejahatan itu pernah ditayangkan di televisi maka tulisan itu dimuat juga.

"Cipo! Kamu memang moiiii....!" kata Pak Soku, memuji. (*)