Cipo kalau liburan senang bermain ke pasar, dia senang melihat-lihat orang yang sedang berjual-beli. Sehingga ibunya sering menyuruhnya pergi ke pasar untuk berbelanja. Cipo senang melihat ikan-ikan yang dijual, meskipun tidak membelinya. Selama ini kios ikan Bu Nyah tidak laris, disingkiri pembeli karena ikan dan udang yang dijualnya selalu dirubungi lalat. Maah lalat-lalat hijau yang gemuk-gemuk itu. Bu Nyah tidak pernah mengusir lalat atau menutuoi ikannya. Sementara pembeli lebih suka membeli ikan dan udang segar yang tidak disentih lalat. Tapi sejak heboh penggunaan formalin, Bu Nyah merasa di atas angin. "Terbukti kalau ikan-ikan saya tidak berformalin, bila berformalin lalat tidak akan mendekat!" seru Bu Nyah. "Ingin beli ikan tanpa formalin di sinilah tempatnya!"
Ada pembeli yang menggerutu, "Dasar cerobo! Sangkanya orang tidak jijik melihat udang atau ikan yang dikeroyok lalat. Bagaimana kalau lalat itu bertelur di ikan, kita disuruh makan ikan campur telur lalat?"
Pembeli yang lain menimpali, "Seharusnya ditutupi. Bu Nyah, mbok ikannya ditutup plastik."
Bu Nyah menyanggah usulan itu. "Lho, lalat itu malah untuk membuktikan kalau ikan saya tidak memakai formalin." Wah, sudah sombong rupanya Bu Nyah.
Memang sejak terungkap penggunaan pengawet mayat atau formalin untuk mengawetkan beberapa jenis makanan, telah membuat pedagang ikan, tahu, bakso, dan mie terpukul. Penjualan mereka turun drastis. Contohnya Pak Thor Bakso, biasanya dalam sehari dapat menjual seratus duapuluh mangkok bakso, tapi kini tinggal sepertiganya saja. Padahal dia sudah meyakinkan pelanggannya bahwa dia tidak pernah memakai formalin. "Baksonya saya buat sendiri, juga mienya. Bakso saya dibuat untuk sehari habis. Kalau tidak habis kami makan sendiri." Pantas saja anaknya gemuk-gemuk sekali, kelimpahan sisa bakso rupanya! Bahkan untuk mendongkrak penjualan baksonya lagi Pak Thor sudah memesan spanduk besar dengan warna mencolok yang berbunyi: "Sumpah pocong, baksoku mengandung vitamin bukan formalin." Tapi apa artinya spanduk, tampaknya tidak banyak menolong.
Bahkan Cipo yang sudah lama menjadi langganannya sempat ragu-ragu ketika masuk ke warung bakso Pak Thor. "Kamu seperti baru berlangganan kemarin saja, ikut tidak percaya kepadaku"
"Boleh saya tes dulu, Pak?"
"Boleh."
"Pus-pus," Cipo memanggil kucing gemuk yang duduk tidak jauh dari warung ios bakso. Diambilnya sebutir bakso lalu diiris. Dilemparkannya irisan bakso itu kepada kucing. Tapi kucing gemuk itu tampak enggan. "Kucing saja tidak mau, pasti ada formalinnya," bisik Cipo kepada Pak Thor, dia sudah biasa bercanda dengannya.
"Hus kucing itu tidak mau karena sudah kenyang, dari tadi orang mengetes bakso dengan kucing itu. Coba aku carikan kucing yang lain. Coba kamu lempar pada kucing kurus itu."
Cipo melempar irisan bakso lagi, kini ke arah kucing rakus yang langsung menyambarnya. "Wah yang itu kucing rakus, Pak. Biberi kerikil juga dimakan."
Pak Thor tertawa. "Kamu masih saja belum percaya." Pak Thor mengambil sebutir bakso lalu dibantingnya. Bakso pecah. "Lihat pecah! Kalau memakai formalin tidak akan pecah, tapi mental layaknya bola bekel."
Cipo tertawa oleh aksi Pak Thor. "Boleh saya melempar juga?"
"Jangan, nanti baksonya habis untuk lempar-lemparan saja. Aduh, bisa bangkrut saya." Lalu, Cipo dengan mantap makan bakso di warung langganannya itu.
"Stt... kamu bujuk teman-temanmu agar makan bakso di sini. Nanti kamu gratis," bisik Pak Thor. Cipo mengangguk. Tapi nasib baik belum berpihak kepada Pak Thor. Tidak lama setelah isu formalin muncul isu lain, baksonya diisukan menggunakan daging tikus. Mana mungkin daging tikus, Cipo tahu betul daging sapi yang digunakan Pak Thor. Untuk menolong Pak Thor, Cipo membuat selebaran sebanyak-banyaknya. Menerangkan kalau bakso Pak Thor bebas formalin dan dibuat dari daging sapi. Cipo juga menyuruh Pak Thor agar membuat baksonya bisa dilihat orang banyak. Agar isu itu terbantahkan.
"Pembuat isu itu sangat kejam," kata Pak Ojek salah satu pelanggan bakso Pak Thor.
"Warung bakso saya tutup gara-gara isu sadis seperti itu," kata seseorang di pasar. "Malahan saya diisukan memakai jimat berupa celana yang saya taruh di bawah kuali kuah bakso." Apa yang dimaksud formalin? Formalin adalah larutan tak berwarna dengan bau menusuk hidung. Kegunaan formalin untuk membunuh hama, membasmi lalat, bahan perekat untuk kayu lapis, mengawetkan mayat, pengawet kosmetik, membuat pupuk urea, dan lain-lain. Ada keluhan yang lain meskipun tidak berhubungan dengan formalin secara langsung, yaitu Pak Gugo yang mengeluh karena kedelai yang ditanamnya tidak tumbuh. Pak Demong mengeluhkan hal yang sama, disusul Paman Dirj. Benih kedelai yang telah mereka tebar di sawah tidak tumbuh. "Padahal bibit yang saya tebar itu bibit unggulan, yang saya beli dari koperasi petani," keluh Paman Dirj.
"Apa orang koperasi salah memberikan benih kepada Paman! Sehingga yang diberikan itu benih yang sudah direbus," kata Cipo yang kebetulan mendengar keluhan Paman Dirj. Cipo saat itu sedang bersama Jalu minta buah cerme kepada Paman Dirj.
Jalu menambahi, "Kedelai rebus mana bisa tumbuh, Paman."
"Tampaknya hal itu sangat tidak mungkin. Kami sudah berlangganan dari dulu, dan tidak pernah ada kejadian semacam ini," sergah Paman Dirj. Tentu saja ini membuat mereka kelabakan, mengapa bibit yang diambil adalah bibit pilihan yang dibeli dari kios langganan selama ini dalam mencari bibit untuk sawah mereka. "Mengapa?" keluh Paman Dirj. "Padahal sudah duapuluh lima hari ditanam, seharusnya sudah lumayan tinggi. Aneh, ini malah tidak tumbu sama sekali."
"Siapa tahu busuk," kata Jalu.
"Mungkin juga katamu," kata Paman Dirj. "Ayo, ikut aku ke sawah," ajak Paman Dirj kepada Cipo dan Jalu. Begitu sampai di sawah mereka melihat hanya beberapa saja yang tumbuh, dan itu saja tidak merata. Benih kacang tanah dan kedelai akan busuk jika tanahnya sangat basah, tapi tanahnya sama sekali tidak becek! Cipo, Jalu, dan Paman Dirj turun ke sawah dan mengecek lubang-lubang tanam. Lubang tanam dibuat dengan cara menancapkan tugal, yaitu kayu sebesar lengan yang ujungnya dilancipkan.
Cipo melihat masing-masing lubang, dan tidak mendapati apa-apa. "Mana benihnya? Tidak ada sama sekali," kata Cipo.
Paman Dirj pun tidak kalah terkejut. "Masya Allah, mengapa lubang-lubang tanam bisa kosong seperti ini? Bukankah sawah ini jauh dari dusun, sehingga tidak ada ayam yang datang."
"Tidak ada tanda-tanda bekas cekeran ayam, jadi bukan ulah ayam. Kalau ayam pasti mengais-ngais sehingga ada jejaknya," kata Cipo.
"Mungkin ulah burung," seru Jalu.
"Burung, mana mungkin burung. Burung pipit tidak suka kacang kedelai, burung tekukur juga, karena hanya gabah yang mereka suka. Ketika burung tekukur masih seabreg pun belum pernah aa kejadian seperti ini," keluh Paman Dirj. Dia hanya menemukan lubang-lubang kosong. "Sangat aneh."
Jalu dan Cipo berlari-lari, mengecek lubang-lubang tanam yang lain. Jalu berkata, "Jangan-jangan Paman Dirj lupa."
Cipo tidak mau kalah, "Ayo diingat-ingat, siapa tahu Paman tidak memasukkan benih kedelai ke lubang-lubang tanam ini."
"Oalah, sangkamu Paman Dirj ini sudah pikun?" sanggah Paman Dirj. "Tidak, saya tidak lupa. Saya menanam benih dengan dibantu beberapa orang. Ada Ndet, Nogo, Kadir, dan Mul! Sangkamu mereka tidak memasukkan benih-beih itu ke tempatnya?" Cipo dan Jalu terdiam, Paman Dirj uring-uringan. Mereka tidak habis pikir bagaimana benih-benih itu raib dari tempatnya. "Sebaiknya kita diamkan saja dulu, Paman," kata Cipo.
"Didiamkan bagaimana, biar saya nati tidak akan panen?" sungut Paman Dirj.
"Maksud saya sebaiknya kita selidiki diam-diam. Kita usut sendiri siapa kira-kira yang telah berbuat seperti ini. Kalau Paman akan menanami benih kedelai lagi silakan, kami siap membantu," kata Cipo. "Kami bisa mengajak Ndul-ndul untuk membantu."
"Baiklah, besok saya akan membeli benih kedelai baru. Sorenya kita tanam ulang, ya! Bukankah tidak usah menugal, karena lubang tanamnya tidak hilang," kata Paman Dirj.
Ternyata nasib sawah Pak Demong dan Pak Gugo juga sama, benih kedelainya raib. Demikian juga penanam kedelai di luar desa, bernasib sama. Lubang tanam kedelai mereka tinggal lubang tanam yang menganga tanpa isi. Jelas kejadian ini sangat aneh, kenapa hanya benih kedelai saja yang hilang? Kerugian Paman Dirj, Pak Gugo, Pak Demong, juga petani lainnya bukan hanya karena harus membeli benih baru untuk mengganti. Tapi juga rugi waktu, karena waktu panennya pun harus mundur. Akhirnya Pak Gugo, Pak Demong, dan masih banyak petani lainnya memutuskan tidak menanam kedelai, tetapi diganti jagung! Alasannya dua macam, karena masa tanam kedelai sudah berlalu dan takut benih kedelainya hilang lagi. Kalau ditanam bukan masanya, memang bisa tumbuh tapi hasilnya jelek. Kedelai bukanlah tanaman asli tropis, melainkan berasal dari daerah sub tropis.
"Perkiraanmu itu karena ulah burung atau binatang lainnya?" tanya Jalu.
"Tapi bukankan saat ini tidak ada hama tikus?" Cipo balik bertanya.
"Ya, tidak ada yang mengeluhkan gangguan tikus," jawab Jalu.
Cipo berpikir sejenak lalu berkata, "Pasti bukan ulah binatang pengerat itu. Kalau itu ulah tikus pasti bukan hanya kedelai saja yang diserbu. Hama tikus sangat rakus. Sedangkan yang hilang hanya benih kedelai saja," kata Cipo. "Kalau itu ulah tikus pastilah sawah Pak Zen yang tepat di samping sawah Paman Dirj juga hilang. Pikirmu tikus tidak doyan kacang tanah?"
"Benar katamu," kata Jalu. "Pasti ini ulah mansuia."
"Tapi mencuri biji kedelai yang sudah ditanam sangat aneh, dan tampak lucu. Malingnya sepertinya kurang pekerjaan saja," kata Cipo. "Mengapa hanya benih kedelai saja yang diincar, sedangkan benih jagung dan kacang tanah aman-aman saja."
"Namanya juga maling," kata Jalu. "Kupikir mereka memilih kedelai karena tidak usah membongkar tanah urugnya. Bukankah menanam jagung dan kacang tanah, setelah benihnya ditanam, harus diurug tanah?"
Mereka berdua lalu mendatangi rumah Paman Dirj. "Paman kalau ditanya orang jawab saja dimakan tukus, Kami akan menyelidiki pencuri benih kedelai itu," kata Cipo.
"Kalian sok jadi polisi," sungut Paman Dirj.
"Paman Dirj berjanji merahasiakan kasus ini, atau kami tidak jadi membantu menanam kacang tanah?" ancam Jalu. Paman Dirj pun memutuskan tidak menanam kedelai lagi.
"Baiklah kalau begitu, tapi kalian harus bisa membuktikan bahwa itu ulah manusia, bukan tukus," kata Paman Dirj. Akhirnya Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul membantu menanam benih kedelai di sawah Paman Dirj. Berita tentang benih kedelai yang tidak tumbuh ternyata tidak hanya dialami petani dari desa mereka, juga desa-desa sekitar. Sampai-sampai muncul isu hantu pencuri kedelai. Beberapa orang menyatakan telah melihatnya, mereka melihat sosok putih terbang di atas petak-petak sawah yang baru ditebar benih kedelai.
"Aku melihat hantu itu," kata Ndet. "Tapi aku tidak tahu apa yang dikerjakannya. Begitu melihat kehadiranku hantu itu meringkik seperti suara kuda dan terbang."
"Ya, saat itu kami baru saja pulang dari rumah teman di desa sebelah," timpal Nogo. Cerita hantu pencuri kedelai segera merebak, ada yang percaya ada yang tidak. Tapi kelompok Nogo dan Ndet gencar sekali mewartakan kalau mereka melihat hantu pencuri kedelai itu.
"Bunda percaya tentang hantu pencuri kedelai?" tanya Cipo kepada ibunya.
Ibunya tertawa. "Hanya orang bodoh saja yang percaya! Kakek juga pernah kehilangan sepetak tanaman kedelainya. Tapi bukan berupa benih, melainkan ketika tanaman kedelai itu sudah siap panen. Hanya tanaman kedelai bagian pinggir saja yang utuh, sementara bagian tengah sudah dipanen orang pada malam hari. Sangkamu itu ulah hantu juga?"
"Tentu saja bukan."
"Pastilah raibnya benih kedelai yang ditanam ini juga tidak jauh berbeda dengan tanaman kedelai Kakekmu yang hilang," kata ibunya. Cipo tidak bercerita kepada ibunya kalau dirinya sedang menyelidiki kasus pencurian kedelai bersama Jalu dan Paman Dirj. Cipo berunding dengan Jalu, bagaimana cara mereka bisa menyelidiki pencurian itu. Bukankah pencurian itu terjadi pada malam hari. Tentu saja orangtua mereka tidak mengizinkan bila mereka keluar malam hari tanpa alasan yang jelas.
"Kalau malam hari kita tugaskan kepada Paman Dirj," kata Cipo. "Biar Paman Dirj yang mengawasi sawah."
"Saya mencurigai Nogo dan Ndet," kata Jalu.
"Saya juga begitu, kerena mereka yang gencar bercerita tentang hantu pencuri kedelai," sambung Cipo.
"Mungkin saja pelakunya," kata Jalu.
"Kira-kira kedelai itu untuk apa ya?" tanya Cipo.
Jalu diam sejenak. "Bukankah mereka suka mabuk bersama teman-temannya dari desa sebelah?"
Cipo bertanya, "Apakah kedelai rebus bisa membuat orang teler?"
Jalu menendang pantat Cipo, wartawan cilik menyeringai kesakitan. "Sebaiknya kamu itu menjadi wartawan majalah cacing kremi saja. Wartawan majalah Kriminol kok tidak bisa berpikir baik. Tentu saja kedelai itu dijual."
Cipo tertawa, "Terus uangnya dibuat beli minuman keras?"
"Ya, kalau dibelikan cendol mana mabuk! Hanya alasan itu yang masuk akal," kata Jalu.
Cipo berkata, "Kalau begitu pastilah mereka menggunakan alat untuk mengambil benih kedelai dari lubang-lubang tanam."
"Tapi kita tidak menemukan jejak cungkilan atau lainnya. Lubangnya mulus," kata Jalu.
Cipo berpikir sejenak lalu berlari ke arah warung Bi Kedipi. "Bi, beli permen karetnya."
Bi Kedipi menjawab, "Wah permen karetnya sudah habis."
"Lho, bukankah belum lama Bibi kulakan banyak sekali?" tanya Cipo.
"Sudah habis diborong Nogo dan teman-temannya. Akhir-akhir ini mereka suka sekali permen karet."
"Ya sudah kalau begitu Bi, terima kasih," kata Cipo.
"Lho, bagaimana kalau permen karet itu diganti permen biasa?" rayu Bi Kedipi.
Cipo menjawab, "Saya mencari permen karet."
"Nanti saya tambahi karet gelang, bagaimana?" kata Bi Kedipi sambil tertawa. "Nanti karet gelang itu dikunyah bersama permen, jadilah permen karet."
Cipo tertawa. "Pasti Bi Kedipi nyontek dari pelawak," kata Cipo lalu berlari menemui Jalu. "Saya pikir mereka menggunakan alat sederhana. Mereka menggunakan permen karet untuk memancing kedelai itu dari lubangnya."
Jalu tercenung sejenak mendengar perkiraan Cipo. "Pakai tali juga?" tanya Jalu kemudian.
"Kali ini kamu yang bodoh sekali. Tentu saja memakai galah bambu atau lainnya, yang ujungnya diberi lumuran bekas permen karet. Kamu pernah melihat pemulung yang menggunakan magnet untuk mengambil tutup botol dari kaleng? Begitu juga cara kerja alat pencuri kedelai itu. Kurasa mereka malas berjongkok untuk mengambil benih kedelai dari lubang tanam. Selain lama juga bukan main pegalnya punggung! Bukankah sudah kita rasakan sendiri saat membantu menanam kacang tempo hari," ujar Cipo.
"Kira-kira ke mana mereka menjual kedelai itu?" tanya Jalu.
"Itu soal mudah, bisa saja mereka ke pasar dan menjualnya," jawab Cipo. "Mungkin juga dijual ke juragan tahu, bukankah pembuat tahu butuh banyak kedelai?"
"Benar! Kalau begitu kita ke pabrik tahu terdekat, saya kenal orangnya karena pemiliknya akrab dengan bapak saya," kata Jalu.
"Bukankah hanya ada satu juragan tahu di daerah kita?" tanya Cipo girang. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan mengambil sepeda. Ndul-ndul melihat mereka berdua bersepeda dan minta ikut. "Kamu sudah mandi belum?" tanya Jalu.
Ndul-ndul menjawab, "Belum!"
"Kalau begitu kamu di rumah saja," kata Jalu. "Nanti kami bawakan oleh-oleh balon!" Ndul-ndul cemberut, tapi itu hanya bercanda. Memang dia belum mandi, sedangkan Cipo dan Jalu sudah rapi. Mereka pun menunggu Ndul-ndul yang buru-buru mandi. Setelah itu mereka bertiga bersepeda ke rumah Pak Jekek, pembuat tahu yang tidak begitu besar yang berada di lain desa. Tahu Pak Jekek terkenal enak sehingga banyak pelanggannya. Pak Jekek menyambut mereka ramah.
"Sejak geger formalin tahu kami tidak begitu laku. Sehingga kebutuhan kedelai kami juga sangat berkurang," kata Pak Jekek.
"Bagaimana Pak Jek mendapatkan kedelai? Beli di pasar?" tanya Cipo.
"Tidak, kami berlangganan kepada seorang pemasok kedelai. Sudah puluhan tahun saya mempercayakan pasokan kedelai kepadanya," jawab Pak Jekek.
"Wah, buntu penyelidikan ini," Cipo berkata dalam hati. Kira-kira di mana mereka menjual kedelai curian itu? "Bolehkah kami minta alamat pemasok kedelai itu, Pak?" tanya Cipo.
Pak Jekek balik bertanya, "Jadi kalian menemui saya gara-gara akan membeli kedelai?"
"Kami hanya ingin tahu sejarah tahu," jawab Jalu tangkas.
Cipo segera menukas, "Kami juga akan membeli kedelai."
"Lho, kalau sejarah tahu yang kalian cari maka saya lebih tahu," kata Pak Jekek. "Kapan-kapan ke sini saja." Pak Jekek pun memberikan alamat pemasok kedelai langganannya. Ternyata rumah pemasok kedelai itu masih sedusun dengan Pak Jekek. Bertiga mereka langsung menuju ke rumah pemasok kedelai itu. Kali ini Cipo terpaksa membeli kedelai. "Pak, bolehkan saya membeli satu kilo kedelai?" tanya Cipo.
"Boleh, tapi satu kilogram atau kilometer?" tanya pemasok kedalai itu bercanda. "Kamu pilih yang mana?"
"Apakah kedelainya bermacam-macam?" tanya Jalu.
Pemasok kedelai menjawab, "Hanya kedelai lokal, tapi kalau yang ini harganya delapan ribu sedangkan yang ini hanya lima ribu."
"Delapanribu meter atau rupiah, Pak?" tanya Ndul-ndul.
Orang itu tertawa dan menepuk-nepuk kepala Ndul-ndul. "Aduh, rambutmu tajam seperti jarum. Pandai bercanda juga kamu rupanya."
Cipo bertanya sambil memperhatikan kedelai yang lebih murah. "Mengapa yang ini lebih murah?" tanya Cipo.
Pemasok kedelai itu menjawab, "Karena belum dibersihkan. Ada orang menjual kedelai kotor kepada saya dengan harga sangat miring. Mungkin tidak sempat membersihkannya."
"Apakah anak muda itu yang memakai anting di cuping hidungnya?" tanya Cipo, teringat Nogo.
"Ya, salah satu dari mereka pakai anting di hidungnya! Ada apa?" tanya pemasok kedelai.
"Tidak apa-apa," jawab Cipo. "Saya membeli yang ini saja, biar ibu saya senang karena harganya murah!" Orang itu menimbang kedelai kotor satu kilogram. Lalu membungkusnya dengan plastik. Setelah kedelai dibayar, mereka pulang.
"Untuk apa kedelai kotor itu?" tanya Ndul-ndul di jalan.
"Buat kerjaan, nanti kamu bantu saya membersihkannya," jawab Cipo. Di jalan Cipo dan Jalu berhenti, lalu memeriksa kedelai itu. "Tidak ada bekas permen karet, juga tidak ada bau permen karet. Perkiraan kita salah. " Ndul-ndul semakin penasaran dengan ulah dua temannya itu. Setelah sampai di desanya, Cipo mengajak Jalu dan Ndul-ndul menemui Paman Dirj. Ditunjukkannya kedelai kotor itu. "Kami beli di pemasok kedelai. Mungkin ini kedali yang dicuri hantu itu," kata Cipo. Ndul-ndul terkejut mendengar kata-kata Cipo itu. Tanpa sepengetahuan Ndul-ndul, Cipo membisikkan beberapa nama kepada Paman Dirj.
"Saya juga curiga, kupikir dari mana mereka mendapatkan uang untuk mabuk-mabukan. Mereka sudah tidak diberi uang oleh orangtuanya karena hanya untuk pesta minuman keras! Dari satu petak sawah mereka bisa mendapatkan duapuluh kilogram kedelai, itu sudah bisa untuk membeli minuman keras," kata Paman Dirj.
"Kuncinya sekarang, siapa yang akan menanam kedelai?" tanya Cipo. "Masih adakah yang berani menanam kedelai?"
"Ada, Pak Klobot besok akan menaman kedelai," jawab Paman Dirj.
"Nah, kita bisa menjebak hantu itu. Apakah Nogo dan Ndet diminta membantu menanam kedelai itu?" tanya Jalu.
Paman Dirj menjawab, "Ya, mereka yang menawarkan diri kepada Pak Klobot."
"Bagus! Malam setelah penanaman, Paman Dirj bertugas mengintai hantu pencuri kedelai itu," kata Cipo.
Kening paman Dirj mengkerut, "Semalam suntuk?"
"Terserah, tapi yang pasti hantu itu hanya beraksi malam hari," kata Cipo.
"Saya pulang duluan, ya," kata Ndul-ndul yang merasa pusing mendengar kata-kata mereka bertiga. Ndul-ndul pun pulang.
Jalu, Cipo, dan Paman Dirj mengatur strategi penyergapan. "Saya akan mengajak beberapa teman," kata Paman Dirj.
"Ya mengajak teman, siapa tahu hantu itu nanti menggigit!" kata Jalu. Pak Klobot jadi menanam kedelai. Malamnya Paman Dirj mengintai hantu pencuri kedelai. Tapi paginya Paman Dirj tidak melaporkan apa-apa kepada Cipo dan Jalu. Demikian juga malam-malam berikutnya. "Aduh, sampai kapan kami menunggu sawah Pak Klobot tanpa dibayar?"
"Minta bayaran saja, tapi secara rahasia. Kalau hantu pencuri benih kedelai berhasil ditangkap pastilah Pak Klobot akan memberi uang rokok," kata Cipo.
"Eh, Pak Klobot terkenal pelit," dalih Paman Dirj.
Baru malam ke lima hantu pencuri benih kedelai tertangkap. "Ini dia hantu pencuri benih kedelai," seru Paman Dirj. "Ampun!" teriak anak muda yang ditelikung Paman Dirj. Ada beberapa lagi yang diseret warga. Paman Dirj bersama lima temannya berhasil menangkap tiga hantu pencuri kedelai, dan orang lainnya melarikan diri. Tapi yang melarikan diri sudah diketahui sehingga tinggal menangkap saja. Ndet dan Nogo bukanlah bagian dari mereka yang tertangkap dan melarikan diri. Tapi bukan berarti mereka bersih dari kasus ini. Mereka ikut ditangkap polisi karena yang memberi tahu sawah-sawah mana yang ditanami kedelai kepada pencuri benih kedelai itu. Jadi, Ndet dan Nogo merupakan bagian dari komplotan hantu itu. Ternyata mereka membuat alat penyedot sederhana yang dijalankan dengan accu. Memang, Ndet lulusan sekolah kejuruan jurusan elektro dan termasuk siswa cerdas, sayang ilmunya digunakan untuk berbuat kejahatan. Dia membuat alat penyedot kedelai dengan mencontoh cara kerja alat penyedot debu. Kedelai yang masih kotor, setelah mereka jemur, dijual kepada pedagang kedelai yang memasok Pak Jekek.
"Kenapa saya tidak kalian ajak menjadi detektif?" protes Ndul-ndul bersungut-sungut.
"Maaf, lain kali!" jawab Cipo.
Ndul-ndul belum puas dengan jawaban itu. "Tapi kapan?"
"Nanti kalau ada hantu pencuri tempe," jawab Jalu.
"Jangan menyindir saya," seru Ndul-ndul.
Cipo dan Jalu tertawa sambil berkata serentak, "Nah, kamu mengaku sendiri."
Ndul-ndul jadi malu. "Eh, tapi awas kalau kalian bohong! Bukankah kalian tahu saya bercita-cita jadi polisi!" Jalu mengingatkan Cipo dan Ndul-ndul untuk datang ke rumah Pak Jekek, tentang sejarah tahu yang dijanjikan juragan tahu itu. Mereka bertiga berangkat ke rumah Pak Jekek. Syukurlah Pak Jekek ada di rumah dan tidak sedang sibuk.
"Sejarah tahu saya ketahui dari buku anak saya. Katanya tahu berasal dari China." Dokumen paling awal yang menyebutkan istilah doufu ialah Chi'ing I Lu yang diitulis oleh T'ao Ku sekitar tahun 950. Ada empat teori yang menjelaskan asal-mula makanan berbahan baku kedelai itu. Pertama teori Liu An yang mengungkapkan bahwa Raja Huai-Nan yang tinggal di bagian tenggara China pada 179 - 122 SM termasuk tokoh yang berpengaruh terhadap perkembangan dan memasyarakatkan tahu. Kedua, teori pengentalan tidak sengaja yang memunculkan kisah seorang juru masak di China utara. Suatu ketika dia sedang memasak sup dari kedelai yang sudah dilembutkan, dan secara tak sengaja memasukkan garam laut yang masih murni. Dari campuran tidak sengaja itulah si juru masak melihat dadih yang muncul. Nah, dadih itulah yang kini dikenal sebagai tahu.
Teori ketiga, yakni teori India yang menyatakan tahu, atau metode dasar persiapan membuat tahu, berasal dari suku-suku yang memproduksi produk-produk susu atau biksu-biksu Budha di India. Teori keempat adalah teori Mongolia yang menyatakan dasar pembuatan tahu diperoleh dari proses pembuatan keju milik suku-suku Mongolia. Tiga teori terakhir cukup masuk akal tetapi kurang didukung bukti-bukti. Sedangkan teori Liu An yang paling populer dibanding lainnya malah yang paling tidak mungkin, karena tidak ada catatan tentang si raja yang mempopulerkan tahu kepada rakyatnya.
Tahu adalah makanan dari bahan kedelai yang paling banyak dikonsumsi manusia. Jumlah pabrik tahu di China 200.000, di Jepang 30.000, Indonesia 11.000, Korea 2.500, 1500 di Taiwan, dan 225 tersebar di Eropa dan Amerika. Tahu memiliki seribu nama. Nama internasional tahu adalah Tofu, yang berasal dari bahasa Jepang. Di China tahu ditulis dalam bahasa Mandarin sebagai toufu atau doufu yang sama-sama dilafalkan sebagai doufu. Dalam bahasa Kanton tahu ditulis tau-fu atau dau-fu. Dan dalam bahasa Hokkien ditulis sebagai tau-hu. Kata-kata ini muncul pertama kali pada tahun 950 sebelum Dinasti Sung. Jauh sebelumnya tahu juga dikenal sebagai li ch'i atau doa pagi.
"Kata tofu pertama muncul di Jepang pada 1182, juga dikenal dengan nama shiro kabe, shira kabe, dan kemudian okabe. Lalu kenapa nama tofu yang tekenal di dunia? Karena kebanyakan penulis melakukan penelitian di Jepang, bukan di China. Kemudian mendorong pembuat tahu di AS memakai nama tofu. Apalagi sekitar tahun 1975 penjual tahu di AS berasal dari Jepang," kata Pak Jekek, sambil mengeluarkan kertas catatan. "ini bisa kalian bawa dan difoto copy."
"Ha, jadi Pak Jek tadi berceritanya menyontek?" bisik Ndul-ndul.
"Ha-ha, tapi saya tidak akan dihukum oleh guru," kata Pak Jekek.
"Terima kasih, Pak," kata Cipo. Lalu mereka mohon diri. Tapi mereka tidak langsung pulang, karena Cipo mengajak Jalu dan Ndul-ndul makan bakso di warung Pak Thor. Saat membayar hanya dihitung dua, Cipo gratis. Ndul-ndul protes karena Cipo tidak membayar.
"Eh, saya malah masih berutang banyak kepada Cipo! Gara-gara brosur dan sarannya warung bakso ini kembali laris!" kata Pak Thor. Ih, Ndul-ndul akhir-akhir ini jadi sering keki!
"Tenang saja, jangan cemburu! Kalau berita yang saya kirim dimuat kamu saya ajak jajan ke sini lagi. Kamu boleh pesan bakso yang seukuran bola voli," kata Cipo. Maka sepulangnya dari warung bakso, Cipo menulis kisah penggulungan komplotan pencuri kedelai lalu meng-email-nya ke redaksi majalah Kriminol. S'moga dimuat. Cipo lalu berdoa agar hati Pak Soku berbunga-bunga saat membaca beritanya, dengan begitu kemungkinan dimuatnya jadi 95%! (*)