Chereads / CIPO wartawan cilik / Chapter 8 - Hilangnya Anak Jalanan

Chapter 8 - Hilangnya Anak Jalanan

Om Yongky yang nama aslinya Guo No mengasuh sebuah rumah singgah. Saat belum tahu arti rumah singgah, Cipo berpikir kalau rumah itu bisa untuk singgah siapa saja, terutama kalau sedang turun hujan. Setelah bertemu Om Yong barulah dia mengerti tentang arti rumah singgah. "Banyak anak-anak yang tidak beruntung, tidak seperti kalian yang memiliki orang tua yang penuh perhatian dan kasih sayang. Coba kamu lihat, berapa banyak anak-anak seusia kalian yang hidup di jalanan," kata Om Yong. Tugas rumah singgah mendata anak-anak jalanan, termasuk memfotonya agar keberadaan anak-anak terpantau. Sehingga mudah melacaknya bila ada hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi rumah singgah adalah rumah khusus untuk anak-anak jalanan seperti pengemis, pengamen, penyemir sepatu, dan lainnya yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Meskipun Yogyakarta bukanlah kota sebesar Jakarta, tapi kian hari keberadaan anak jalanan semakin bertambah. Tiap-tiap persimpangan jalan, terutama yang ada lampu lalu lintas, bisa dipastikan ada anak-anak jalanan yang berbaur bersama orang-orang jalanan dewasa yang juga menjadi pengemis, pengelap kaca mobil, bahkan copet atau penodong.

"Dengan rumah singgah diharapkan mereka tidak liar. Mereka bisa pulang ke rumah singgah untuk tidur, istirahat, atau kegiatan lainnya. Dengan rumah singgah mereka tidak tidur di jalanan," kata Om Yong.

"O, begitu," kata Ndul-ndul. "Apakah kami boleh berkunjung ke rumah singgah itu? Apa saya harus jadi anak jalanan dulu?"

Om Yong tertawa. "Aduh kamu lugu amat, Ndul! Masa untuk mampir ke rumah singgah saja mesti jadi anak jalanan dulu. Ya, kamu boleh main ke sana kapan saja. Kalian juga bisa lebih mengenal kehidupan anak-anak jalanan."

"Apakah mereka galak-galak, Om?" tanya Jalu.

"Maksudmu?"

"Saya lihat mereka sering berkelahi dengan temannya. Jangan-jangan kalau kami ke sana dicurigai," kata Jalu.

"Tidak, mereka sama seperti kalian. Apalah kalian tidak pernah berantem dengan teman? Sebatas itu kenakalan anak-anak, wajar-wajar saja!" terang Om Yong. "Kapan kalian main ke sana?"

"Tunggu hari libur ya, Om. Minggu, deh!" kata Cipo.

"Boleh, saya tunggu," kata Om Yong.

Cipo berencana akan menulis kehidupan anak-anak jalanan untuk majalah Kriminol. Bukan karena menganggap mereka suka berbuat kriminal, bukan! Tapi hendak memaparkan tentang kehidupan mereka yang keras. Konon banyak dari mereka yang jadi anak jalanan karena ada yang menyuruh. Ada organisasi yang memanfaatkan mereka. Tapi nanti Cipo tidak akan membawa alat-alat kewartawanannya seperti kamera dan perekam, agar tidak mengganggu suasana. Bila ketahuan kalau dia hendak menulis kehidupan mereka bisa jadi akan ditolak.

Minggu pagi. Cipo, Ndul-ndul, dan Jalu sudah siap dengan sepeda masing-masing. Di punggung mereka ada minuman. Ada juga beberapa baju yang layak pakai. Soal baju bekas itu atas usulan Jalu, "Siapa tahu mereka membutuhkan baju, maka kita bawa baju untuk mereka." Tentu saja Ndul-ndul dan Cipo menyetujui usulan itu.

Rumah singgah ada di Jl. Kaliurang km 5, tidak jauh dari kampus UGM. Rumah yang mungil, menyelip di antara gang-gang. "Mengapa kosong, Om? Mana anak-anak itu?" tanya Cipo ketika mereka sampai di rumah singgah. Di rumah itu hanya ada Om Yong.

Om Yong tertawa dan menjawab, "Masa kalian lupa. Jam segini mereka masih kerja di jalanan, cari duit. Tapi ada beberapa yang tinggal, baru sakit." Om Yong lalu mengajak mereka masuk ke ruang dalam. Di sebuah ruangan yang sederhana terlihat dua anak laki-laki sedang terbaring. "Kepala mereka pusing. Kemarin sore mereka kehujanan dan tidak segera pulang, sekarang mereka terkena flu!" jelas Om Yong. "Mereka hanya minum obat warung, tapi katanya sudah mendingan."

"Nama saya Cipo."

"Saya Ndul-ndul."

"Saya Jalu, artinya taji ayam," kata Jalu bangga dengan namanya.

"Jangan salah sebut, nanti kalian sebut Jalu sebagai tahi ayam!" kata Ndul-ndul. Mereka yang mendengar kata Ndul-ndul tertawa. Mereka yang terbaring sakit mencoba bangkit tapi menyeringai menahan sakit. Pakaian mereka kucel, apalagi baunya! Pastilah mereka belum mandi.

"Namaku Neong," kata anak jalanan menjawab perkenalan mereka.

"Aku bernama Lodo." Bukan main gembiranya mereka ketika Cipo dan teman-temannya mengeluarkan kue untuk mereka.

"Tampaknya baju yang saya bawa pas untukmu," kata Jalu kepada Lodo. Jalu mengeluarkan bungkusan an menyerahkannya kepada Lodo. "Tubuhku dan tubuhmu tidak terlalu jauh berbeda."

"Terima kasih, kalian sangat baik," kata Neong. "Tapi meskipun tubuh kita sama tapi kami lebih tua dibanding kalian." Memang mereka tampak lebih tua, karena gizi mereka tidak terurus.

"Ah, soal umur tidak ada masalah," kata Om Yong. Ternyata di rumah singgah itu Om Yong dibantu teman-temannya sesama mahasiswa. Mereka juga membantu anak-anak jalanan belajar dengan mengadakan sekolah khusus. Malah beberapa dari mereka adalah mahasiswa Australia yang kuliah sastra. Sekolah mereka sangat sederhana, tapi itu lebih baik dari pada mereka tidak mendapat apa-apa. Tentu saja kelasnya tidak sama seperti kelas Cipo cs. Bila dibandingkan dengan anak-anak jalanan mereka harus bersyukur. Mereka bisa belajar normal, malah tak jarang mereka hanya menghabiskan waktu untuk bermain. Sementara anak-anak jalanan juga harus berpikir untuk mencari makan, yang kadang dapat dan kadang tidak.

Rumah singgah adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki jaringan di kota-kota besar, sehingga antara rumah singgah saling berhubungan. Pengurus rumah singgah tidak mendapat imbalan, sehingga hanya mereka yang tulus saja yang bersedia bekerja di situ. Sehingga orang-orang seperti Om Yong sangat diperlukan untuk mengembalikan harkat anak-anak jalanan, dan itu bukanlah tugas mudah. Menurut Om Yong, tidak jarang mereka melarikan diri dari rumah singgah. "Kadang beberapa di antara mereka tidak suka aturan-aturan rumah singgah dan memilih pergi. Padahal aturan itu juga untuk kebaikan mereka."

Lodo masih memiliki keluarga. Dia meninggalkan keluarganya karena marah. Menurut cerita, Lodo pernah dibuang orangtuanya saat masih bayi dan dikembalikan lagi sama penemunya. Nah, Lodo mendapat kisah itu dan sakit hati dan pergi dari rumah. Om Yong pelan-pelan memberi kesadaran kepada Lodo agar kembali ke orangtuanya, dan berhasil. Lodo setuju untuk pulang, tapi keburu hilang. Memang bagi anak jalanan yang mengalami nasib seperti Lodo, rumah singgah sebisa mungkin memulangkannya kepada keluarga. Dan itu sudah banyak yang berhasil. "Sungguh bahagia rasanya bila kami bisa mengembalikan kepada kehidupan normal bersama keluarganya," kata Om Yong. Meskipun sudah ada yang dipulangkan tidak berarti rumah singgah jadi sepi, karena saat yang satu pergi datang yang lainnya. Silih berganti, bahkan lebih banyak yang datang. Apalagi setelah terjadi krismon.

Suatu hari Cipo mendapat kabar kalau Lodo hilang. Pengurus rumah singgah dan anak jalanan yang mencarinya tidak menemukan jejaknya. Bahkan pihak keluarga Lodo yang dihubungi tidak tahu-menahu. "Lodo hilang?" tanya Cipo ketika mendapat berita itu.

"Ya, Lodo menghilang entah ke mana. Padahal dia sudah akan pulang kepada kelaurganya lagi," kata Om Yong sangat sedih. Ternyata sampai hitungan bulan Lodo tidak ditemukan jejaknya. Seperti hilang ditelan bumi. Ternyata hilangnya anak jalanan tidak hanya menimpa rumah singgah di Yogya saja, tapi juga rumah singgah yang ada di Bandung.

"Bagaimana, sudah ada kabar tentang Lodo?" tanya Jalu.

"Belum," jawab Om Yong, "Entahlah, kami sudah melacaknya ke mana-mana. Jaringan rumah singgah di setiap kota sudah kami kontak. Siapa tahu mereka yang hilang pindah kota. Biasanya dengan menumpang kereta api barang. Dulu pernah ada yang hilang dan kami temukan di Jakarta. Tapi Lodo dan anak Bandung tidak kami temukan di mana-mana. Malah kami juga sudah pasang iklan tentang anak hilang di radio dan koran."

Dua bulan kemudian ada berita televisi tentang ditemukannya mayat seorang anak laki-laki di sebuah mercusuar tua di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta. Dengan ciri-ciri mirip dengan Lodo. Om Yong bersama beberapa temannya datang ke rumah sakit yang menyimpan mayat yang diperkirakan itu mayat Lodo. Tapi ketika datang, ternyata wajahnya lain. Tapi ada satu ciri yang Om Yong yakin kalau itu Lodo, yaitu adanya kutil kecil di salah satu ketiak kaki Lodo. Juga giginya, ada tanda gingsulnya dicabut. Padahal itulah ciri utama Lodo, giginya gingsul. Hanya saja sudah ada keluarga kaya yang mengaku bila itu mayat anaknya yang hilang diculik.

"Aneh, aku sangat tahu ciri si Lodo. Ciri di kakinya juga gigi gingsulnya yang sudah dicabut. Tambalan di geraham atas sisi kiri adalah ciri lainnya, karena aku dulu yang membawanya ke RS Sarjito untuk tambal gigi."

"Jangan-jangan orang yang mengaku itu salah," kata Cipo. "Bukan anaknya, tapi memang si Lodo."

"Anak itu lebih gemuk, dan wajahnya memang bukan wajah si Lodo," kata Om Yong. "Lalu di manakah si Lodo yang sebenarnya?"

Tidak lama kemudian ada anak jalanan di rumah singgah Semarang hilang. Tak terlacak keberadaannya. Dua bulan berikutnya ditemukan anak mati tenggelam di Pelabuhan Merak, Banten. Dengan ciri-ciri sama dengan anak jalanan yang hilang, hanya saja wajahnya berbeda meski ada beberapa kemiripan. Ketika pengurus rumah singgah Semarang datang untuk mengambil mayatnya ditolak rumah sakit, karena itu anak korban penculikan yang sudah akan diambil orang tuanya di Jakarta.

Cipo mengikuti berita-berita yang dibawa Om Yong. Dia selalu mengkliping berita tentang anak mati secara tidak wajar. "Aneh, anak jalanan hilang. Lalu beberapa bulan kemudian ditemukan mayat dengan ciri serupa dan dinyatakan sebagai korban penculikan yang meminta uang tebusan," bisik hati Cipo.

"Apakah kalian menemukan hubungan antara anak-anak yang mati ini dengan hilangnya anak-anak jalanan?" tanya Cipo kepada Jalu dan Ndul-ndul.

"Hubungan saudara maksudmu?" tanya Ndul-ndul.

"Ah kamu, Ndul! Katanya calon polisi. Tapi tidak bisa mengendus kejahatan," kata Jalu. "Kamu mesti lebih banyak nonton film Conan sang detektif!"

Cipo menjereng klipingnya. "Perhatikan, anak jalanan hilang lalu selisih beberapa bulan ditemukan anak mati karena korban penculikan! Semuanya mati di sekitar laut. Ini tanggal hilangnya Lodo, ini tanggal ditemukannya mayat dengan ciri yang mirip Lodo."

"Lalu yang hilang di Semarang?" tanya Jalu.

"Ya, ada selisih bulan dengan mayat di Pelabuhan Merak," kata Cipo.

"Bukankah mereka memang bukan si Lodo dan anak Semarang," kata Ndul-ndul. "Mereka diambil keluarganya masing-masing."

"Ingatan kamu tajam juga, Ndul," kata Jalu.

Mereka bertiga kasihan melihat Om Yong yang tak kunjung menemukan Lodo. "Aneh, Lodo seperti hilang dibawa setan," keluh Om Yong.

"Jangan ngomong gitu, Om," kata Cipo. "Saya rasa hilangnya Lodo dan yang di Semarang ada kaitannya dengan anak-anak yang mati di laut. Mungkin ada kejahatan yang sengaja mengambil anak-anak jalanan."

"Ah, kamu sok jadi detektif," kata Om Yong.

"Lha dari pada Om Yong yang sampai kini tidak bisa mengendus keringat Lodo, tapi hanya sedih melulu," sahut Cipo.

"Bagaimana aku tidak sedih, dia sudah kuanggap adikku sendiri," ucap Om Yong semakin sedih.

"Ya, maaf deh," kata Cipo.

Beberapa minggu kemudian ditemukan anak mati di sebuah dermaga pelabuhan Surabaya. Ternyata mayat anak itu mirip dengan anak yang hilang dari rumah singgah Denpasar, malah anak Denpasar lebih dulu hilang dari pada Lodo. Kali ini yang mati anak perempuan. Keterangan yang didapat dari Denpasar, anak perempuan itu tidak pernah kembali ketika diajak oleh seorang perempuan yang tak dikenal. Tidak pernah terlacak ke mana perginya anak perempuan itu bersama yang mengajaknya. Beberapa hari kemudian Om Yong mengabari Cipo bila anak perempuan yang mati itu juga korban penculikan. Orang tuanya dimintai tebusan, tapi meski uang tebusan telah dikirim anaknya tetap dibunuh.

"Aneh, semua korban penculikan," kata Cipo kepada Jalu dan Ndul-ndul. "Aha, begini saja. Saharusnya dibalik, ya, dibalik."

"Apanya yang dibalik, celanamu?" tanya Ndul-ndul.

"Uh, bicara denganmu jarang bisa nyambung," timpal Jalu.

"Bukan salahku, kalau ngomong yang jelas, dibalik-dibalik, apanya yang dibalik? Kalau tidak diutarakan mana saya bisa membaca pikiranmu," gerutu Ndul-ndul. "Tampaknya dari dulu kalian menganggap saya anak yang bodoh."

"Jangan berpikir begitu, siapa yang bilang kamu anak bodoh?" kata Jalu ketus. "Jangan suka ngambek, deh."

Cipo menengahi mereka, "Sudahlah, memang saya yang salah. Maksud saya, seharusnya melacak alamat-alamat korban penculikan itu."

"Ya, tapi itu bukan tugas kita," kata Jalu.

"Apakah kamu sudah melupakan Lodo? Bukankah bajumu dulu yang dipakai Lodo," kata Ndul-ndul.

"Terus apa hubungannya dengan saya?" tanya Jalu.

"Sedikit banyak Lodo jadi suadaramu," kata Ndul-ndul.

"Kok begitu?"

"Karena keringatmu dan keringatnya pernah bersatu di baju itu," kata Ndul-ndul sambil tertawa sampai memegangi perutnya. "Saudara tunggal baju, tunggal keringat!"

"Cukup! Kalain malah berkelahi sendiri. Kamu Ndul-ndul, juga tak pantas mentertawakan teman seperti itu. Seharusnya kamu mencoba ikut menyelesaikan masalah hilangnya Lodo," kata Cipo.

"Bagaimana kalau kita membuat jailangkung?" tanya Ndul-ndul.

"Ah, dasar anak penuh dosa," seru Jalu. "Kepalamu yang gundul itu yang jadi batoknya." Ndul-ndul tidak terima dengan kata-kata Jalu, secepatnya meraih krah baju Jalu dan membantingnya. Tapi itu tidak mudah, karena Jalu jagoan yang suka latihan gulat di rerumputan bersama anak-anak penggembala kambing. Sebelum lebih menjadi runyam, Cipo menyebar permen. Melihat permen berjatuhan Jalu dan Ndul-ndul berebut permen, dan melupakan permusuhan mereka.

Cipo menemui Om Yong. "Sebaiknya Om Yong melacak keberadaan korban penculikan itu. Selama ini hanya anak-anak yang mati saja yang menjadi perhatian, dan hanya berhenti sampai rumah sakit. Setelah itu bukan Lodo atau lainnya berhenti, tidak diteruskan."

Om Yong mengangguk. "Benar juga usulmu, lama-lama aku juga berpikir seperti itu. Mungkin rentetan hilangnya anak jalana adalah kejahatan yang disengaja."

Tapi sebelum Om Yong berbuat lebih jauh, sukarelawan rumah singgah dari Australia memberi kabar. Di negeri kangguru dia menemukan anak berkewarganegaraan Indonesia yang mukanya mirip dengan foto anak yang mati di mercusuar, yang diperkirakan sebagai Lodo. Anak itu bersekolah di sana. Mendapat kabar seperti itu Om Yong bersemangat lagi. Bersama jaringan rumah singgah lainnya dilacaklah alamat orang tua yang anaknya mati di mercusuar. Alamat itu bisa dengan mudah didapat dari rumah sakit yang menerima jenasah dulu. Lalu dihubungilah perusahaan asuransi, menanyakan apakah anak itu diasuransikan, ternyata ya. Akhirnya pihak asuransi menyewa pengacara khusus yang menangani kejahatan asuransi. Ternyata anak yang mati di mercusuar itu korban kejahatan asuransi. Lodo adalah anak jalanan yang dikorbankan untuk mendapat klaim asuransi.

"Untuk apa Lodo dibunuh?" tanya Jalu sedih.

"Demi uang," jawab Cipo.

"Saya belum begitu paham?" tanya Ndul-ndul.

"Saya juga," kata Jalu.

Om Yong menerangkan: "Lodo diculik komplotan penjahat pembobol asuransi. Orang jahat itu mengasuransikan anaknya. Bila anaknya mati maka dia mendapat klaim dan mendapat uang yang banyak sekali. Untuk itu dia harus mengorbankan anaknya, tapi tidak tega. Lalu dicarinya anak yang sebaya, kalau bisa yang mirip! Tapi itu sangat sulit."

"Maka dilakukan penculikan anak jalanan, salah satunya Lodo," sambung Cipo.

"Betul! Oleh penculiknya Lodo dirawat agar menjadi anak yang sehat dan bugar. Setelah itu dilakukan operasi plastik, agar wajah Lodo sama dengan anak yang diasuransikan itu. O, Lodo, malang benar nasibmu," kata Om Yong dan terisak. Ndul-ndul ikut terisak, sampai srut-sruit pileknya terdengar kencang menggelikan.

Dalam persidangan terkuak, bahwa penculikan anak-anak jalanan itu dijalankan dengan sangat rapi. Melibatkan banyak orang, termasuk dokter ahli bedah plastik. Ternyata pelaku utama kejahatan asuransi berada di London, Inggris, sehingga melibatkan polisi internasional/interpol untuk menangkap penjahat yang telah menculik anak-anak jalanan.

Suatu hari Om Yong menemui Cipo dan gengnya, menawarkan sesuatu, "Apakah kalian bisa ikut kami menabur bunga di mercusuar, tempat ditemukannya jenazah Lodo?"

"Ke Kepulauan Seribu?" tanya Cipo.

"Ya."

"Wah, bisa jalan-jalan kita!" seru Ndul-ndul.

"Hus, ini tabur bunga, bukan piknik," kata Cipo.

"Kita tidak libur, Om. Tampaknya kami tidak bisa. Kami akan berdoa saja dari rumah untuk arwah Lodo," kata Cipo.

"Baiklah kalau begitu," kata Om Yong. "Kami bersama rombongan rumah singgah akan bergantian mendatangi tempat-tempat ditemukannya jasad anak-anak jalanan yang menjadi korban penculikan penjahat asuransi."

Saat pulang ke rumah, dalam perjalanan Cipo menggumamkan kata mercusuar berkali-kali, "Mercusuar, mercusuar." Cipo teringat sesuatu, lalu dengan cepat dihelanya langkah untuk segera sampai rumah. Dia ingat, ayahnya memiliki buku khusus tentang mercusuar. Begitu sampai rumah dicarinya buku itu, dan ditemukan. Buku arsitektur, termasuk arsitektur mercusuar. Tapi di buku itu tertulis juga tentang sejarah pembuatan mercusuar. Selama berabad-abad perairan di selatan lepas pantai Inggris mengambil korban kapal-kapal dagang, terutama dekat sekelompok bebatuan yang berjarak 14 mil (22,5 km) di selatan Plymouth. Di tempat itulah pada tahun 1698 seorang pedagang Inggris bernama Henry Winstanley membangun mercusuar pertama di dunia yang dibangun di atas bebatuan di laut lepas.

Mercusuar pertama yang diberi nama Eddystone itu dibuat dari kayu, sehingga porak-poranda ketika terkena hantaman badai pada tahun pertama pembuatannya. Hal itu mendorong Winstanley membangun lagi mercusuar itu dan memperkuatnya, dan dia berujar dengan sombong bahwa mercusuar buatannya itu sangat tahan terhadap badai terkuat sekalipun. Bahkan dia mengatakan akan menaklukkan badai-badai besar. Lalu dia berada di mercusuarnya itu ketika badai besar menghantam Inggris pada tahun 1703. Badai itu menewaskan 8.000 orang, dan Henry Winstanly tewas saat tertidur di menara mercusuarnya.

Enam tahun berikutnya mercusuar Eddystone kedua dibangun oleh pedagang bernama John Rudyerd, dan mercusuar itu berfungsi selama 46 tahun sampai saatnya habis terbakar. Pada tahun 1759 dibangun mercusuar berikutnya, kali ini dibuat dengan bahan granit. John Smeaton dari Yorkshire adalah perancangnya. Mercusuar ini beroperasi sampai tahun 1870, saat mercusuar itu dibongkar dan dipindahkan ke daratan Inggris sebagai monumen karena keindahan arsitekturnya.

Tentu saja Cipo jadi menulis tentang kehidupan anak jalanan, juga tentang rumah singgah yang Om Yong jadi pengasuhnya. Selain itu, kisah tentang kejahatan asuransi yang telah mengakibatkan hilangnya anak jalanan yang tidak berdosa. Pak Soku, sang pemred majalah Krimonol pun angkat topi. Cipo janji, uangnya akan diserahkan kepada Om Yong untuk membantu rumah singgah. "Istirahatlah dengan tenang Lodo," kata Cipo ketika selesai berdoa sebelum tidur. (*)