Chereads / CIPO wartawan cilik / Chapter 6 - Kejahatan Dari Tengah Makam

Chapter 6 - Kejahatan Dari Tengah Makam

Saat ini desa Cipo begitu sibuk. Semua orang membicarakan tentang acara pemilihan kepala desa yang akan segera berlangsung. Sebetulnya ada lima orang yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa. Tapi pada tahap seleksi di tingkat kabupaten hanya tiga saja yang lolos tes, dua lainnya gugur. Kini para calon kepala desa melakukan kampanye, yaitu dengan cara membeberkan rencana-rencana mereka nanti bila terpilih sebagai kepala desa. Untuk mendukung kampanye diadakan beberapa macam acara, yang intinya agar warga tertarik untuk memilihnya. Tiga calon kepala desa itu adalah Pak Tomo, Pak Digo, dan Bu Condro. Pak Digo berkali-kali mengadakan acara campur sari, bahkan berjanji bila terpilih akan mengundang penyanyi Didi kempot. Tentu saja warga desa senang dengan acara-acara seperti itu. Bu Condro memilih menanggap wayang kulit. Sementara Pak Tomo mengadakan kenduri besar-besaran. "Kamu kemarin mendapat uang saku berapa, Din?" tanya Pak Kuo kepada Paman Bidin. Memang para calon kepala desa juga mendadak jadi dermawan, bagi-bagi uang. Pokoknya ada-ada saja alasan untuk menggelontorkan duit. Bahkan hanya karena ada kaki warga yang terkena duri bayam saja berebut memanggil mobil ambulan.

"Uang saku dari Bu Condro tidak sebanyak Pak Digo. Aku hanya mendapat lima belas ribu," jawab Paman Bidin.

"Sudah kubilang, seharusnya kamu ikut aku ke Pak Tomo. Saudaranya pimpinan bank besar di Jakarta, sehingga memberi uang seratus ribu rupiah."

"Edan! Apa mereka nanti tidak bangkrut ya, Kang?" tanya Paman Bidin.

"Bangkrut atau tidak itu urusan mereka," kata Pak Kuo.

Anak-anak, meskipun belum berhak memilih, tapi ikut-ikutan menjagokan para calon. Ada yang memilih menjagoi Pak Digo, karena memiliki teman yang masih keponakan calon itu. Ada juga yang menjagokan Pak Tomo karena suka membagi-bagi jambu air. "Sebaiknya biar Pak Tomo saja yang jadi kepala desa," kata Ndul-ndul. "Biar kita sering dibagi jambu."

"Kamu pikir jambu air berbuah setiap hari, jambu kan musiman. Jadi ya setiap musim saja kamu diberi jambu," kata Cipo.

"Saya lebih suka Bu Condro, karena anaknya cantik," kata Jalu. Ha-ha...ha! Anak kecil saja sudah berpikir punya istri.

"Hah, Mbak Tika kan sudah mahasiwa! Masa akan pacaran sama kamu yang masih meler hidungnya," kata Ndul-ndul sambil tertawa. Bukan main panas hati Jalu sehingga jambu biji mentah yang ada di tangannya melayang ke arah Ndul-ndul, untung saja tidak kena.

"He, pemilihan kepala desa bukan urusan anak-anak," kata Cipo. "Sebaiknya kita memancing saja." Ajakan memancing Cipo tidak terjawab, Jalu dan Ndul-ndul tidak tertarik.

"Kamu, Cipo. Belum pernah ikut acara yang diadakan para calon. Enak, lho, banyak makanan enak-enak," kata Ndul-ndul.

"Juga kepala gundulmu dielus-elus sampai tidur," kata Jalu, kini giliran Ndul-ndul yang marah.

Di rumah Cipo menanyakan kepada ayahnya tentang pemilihan kepala desa. "Desa adalah bentuk pemerintahan yang paling kecil. Justru para kepala desa yang dibantu para punggawa desa yang menjadi ujung tombak, karena mereka berhadapan langsung dengan warga. Kepala desa dipilih oleh warga desa dan masa jabatanannya enam tahun. Dulu malah sampai sepuluh tahun. Mereka hanya mendapat gaji bengkok, yaitu sawah yang dimiliki desa," terang Ayah Cipo.

"Lurah itu pemimpin kelurahan dan adanya di kota. Lurah tidak dipilih langsung oleh warga, tetap ditunjuk oleh pemerintah. Lurah adalah pegawai negeri," Bunda menambahi. Ada yang lebih seru, karena muncul kabar kalau ada "pulung" yang menuju rumah Pak Digo. Pulung adalah seceleret cahaya dari langit yang jatuh ke arah calon pemimpin. Orang Jawa masa lalu sangat mempercayai itu sebagai pertanda bahwa Tuhan merestui yang bersangkutan. Orang-orang pun tak habis-habisnya membicarakan tentang pulung. Cipo sampai bingung dibuatnya. "Bunda juga belum pernah melihatnya. Katanya seperti cahaya. Maka calon raja zaman dahulu perlu bertapa untuk mendapat pulung," jawa Bunda ketika Cipo menanyakan ikhwal pulung.

"Apakah seperti bintang jatuh?"

"Mungkin saja. Tapi coba kamu bertanya kepada yang lebih tahu. Tentu saja para ahli astronomi," kata Bunda.

"Bunda percaya tentang pulung?"

"Bukankah komet juga seperti itu. Siapa tahu itu komet," lanjut Bunda. Ya, Cipo pernah melihat komet Halley bersama ayahnya.

Namun komet yang ini kok dihubung-hubungkan kalau nanti yang terpilih jadi kepala desa itu Pak Digo, karena sinar itu jatuh ke arah rumah Pak Digo. Sementara Pak Digo tidak begitu disukai warga, karena angkuh. Hanya akhir-akhir ini saja dia ramah. Pak Digo memang paling kaya dibanding saingannya. Dia memiliki beberapa mesin penggilingan padi. Karena itulah dia sok, hanya mau menegur tetangganya bila disapa dulu. Malah pernah, ketika diundang tetangga yang selisih beberapa rumah yang menikahkan anaknya, dia tidak datang. Padahal dia saat itu ada di rumah dan sehat, gara-gara tetangga itu miskin. Jadi kalau kini dia jadi sering memboncengkan warga dengan mobilnya itu bukanlah tanpa maksud. Karena dia mengincar kursi kepala desa. Lha kok malah sinar itu berpihak pada Pak Digo, semua orang jadi heran, kecuali kadernya.

"Bukankah dia sudah makmur sebagai juragan penggilingan padi, kenapa ikut menjagokan diri untuk jadi kepala desa?" tanya Pak Pongah.

Saudara kembarnya, Pak Pongih, menjawab, "Lho itu hak setiap warga untuk dipilih dan memilih."

"Tapi apa dia tidal berkaca, selam ini dia itu bagaimana," sambung Pak Jlog.

Paman Sodar menimpali, "Lha, sekaranmg dia sudah baik."

"Ya karena ada yang ingin dipetik," sahut Nek Imeh.

Pak Pongih yang simpati pada Pak Digo tak mau kalah, "Jangan berpikiran begitu. Berilah kesempatan. Bukankah setiap orang itu bisa berubah. Sunan Kalijogo saja dulunya seorang perampok, sebelum jadi seorang wali."

"Huh!" sungut Pak Pongah. Sama saudara kembar saja beda pendapat, apalagi sama orang lain. Tapi pembicaraan tentang pulung semakin menjadi-jadi. Sehingga orang-orang berpikir, jangan-jangan memang Pak Digolah yang harus dipilih sebagai kepala desa. "Tapi siapa yang melihat pulung itu?" tanya seseorang, dia menyangsikan itu. Pastilah dia itu kader lawan Pak Digo, mungkin kubu Pak Tomo atau Bu Condro.

"Banyak yang melihatnya," kata yang lain.

"Lalu siapa yang menghembuskan pertama kali tentang pulung itu?" tanya orang pertama.

"Pak Rus!"

"Lho, bukanlah dia kadernya Pak Digo? Siapa tahu dia hanya membual saja! Mengada-ada!" kata orang pertama.

Orang kedua menjadi emosi. "Jangan begitu, kalau tidak percaya ya begadang saja kamu malam-malam!"

Orang pertama terkejut, "Lho, memangnya akan datang beberapa pulung?"

Orang kedua jadi agak gugup. "Eh, maksudku siapa tahu ada pulung lagi, biar rakyat semakin mantap!" Perbincangan tentang pulung sangat panas. Ternyata gara-gara sinar pulung itu kubu Pak Tomo dan Bu Condro kelimpungan dan jadi was-was. "Dulu saat akan terpilih sebagai kepala desa, rumah kakekmu didatangi semut dari segala penjuru. Sehingga rumah penuh semut," kata Ibu Jalu.

"Mengapa begitu, Bi?" tanya Cipo.

"Sebagai pertanda bila rakyat akan memilihnya," jawab Ibu Jalu.

Jalu menimpali, "Bu, tapi siapa tahu nenek memang menyebar gula di setiap sudut rumah."

"Hus!" kata Ibu Jalu, malu.

Suatu hari Cipo memancing di sungai yang berada di bawah lereng makam tua. Tempat itu sangat sepi, tapi Cipo memang anak pemberani. Dari atas makam posisi Cipo tidak kelihatan karena sangat terjal. Kuburan itu kuburan mati, yang sudah tidak dipakai lagi. Hanya nisan-nisan tua dan sudah tidak diurusi dan terletak di tengah sawah. Cipo sering mencari burung sampai kuburan itu. Saat itulah Cipo mendengar orang bercakap-cakap, kadang dengan nada tinggi. "Tidak, masa hanya dengan harga segitu. Katakan kurang kepada Pak Digo. Untuk membuat kembang apinya saja masih kurang."

"Tapi Pak Digo hanya memberi uang segini padaku."

"Sekali lagi katakan padanya, itu masih kurang. Peluncuran yang kemarin saja aku menghabiskan uang hampir satu juta. Belum biaya kami yang harus begadang di kuburan dan digigiti nyamuk."

"Masa kamu tidak percaya. Kalian pikir aku mencatut uang dari Pak Digo."

"Bilang saja sama calon kepala desamu, uangnya kurang! Titik! Bila tidak bersedia menambah, maka akan kubeberkan bawha pulung itu palsu!"

"Baiklah, kalian tunggu di sini. Jangan sampai diketahui orang lain. Kalian kalau siang berpura-pura saja sebagai pencari burung perkutut. Kalau malam sebagai pencari kodok! Aku akan ke Pak Digo, minta tambahan uang. Tunggu saja, aku tidak akan lama." Cipo segera bersembunyi di balik pohon talas yang berdaun sangat lebar. Dia begitu tertutup rapat sehingga kader Pak Digo yang menuruni lereng tidak tahu kalau ada seseorang yang mendengar pembicaraannya. Cipo tetap bersembunyi, memancingnya dibatalkan. Lebih baik menguping pembicaraan orang-orang di makam. Si kader itu memang tidak mencurigaikan datang ke tempat itu, karena dia memang memiliki sawah di situ. Cipo memang sering bertemu dengannya saat memancing. "Ini, kubawa uang tambahan lagi dari bos!"

"Nah begitu! Ini baru namanya calon lurah yang royal!"

"Tapi nanti malam kamu luncurkan kira-kira jam tiga malam!"

"Bagaimana kalau saat terdengar adzan Subuh, sehingga lebih banyak orang yang akan melihatnya?"

"Itu ide bagus sekali, tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Tapi kalian masih ingat letak rumah Pak Digo, kan?'

"Tentu saja masih ingat. Bukankah dusun Pak Digo terpisah dengan calon lainnya? Itu lebih memudahkan kami. Asal arah kembang api ke dusun itu maka orang akan tahu bahwa pulung itu memang untuk Pak Digo."

"Awas, jangan sampai diketahui orang lain. Tapi empat malam berikutnya jam tiga pagi saja, ya!"

"Beres bos! Kenapa tidak sms saja, bukankah kamu sudah dibelikan handphone?"

"Hus, lebih aman bertemu langsung seperti ini, kan aku dapat komisi!" Cipo tersenyum, jadi selama ini yang digembargemborkan sebagai pulung yang jatuh ke rumah Pak Digo hanyalah nyala kembang api. "Nanti malam, terus tiga malam berikutnya. Sekarang hari Selasa atau malam Rabu. Tiga malam berikutnya berarti malam Kamis, malam Jum'at, malam Sabtu, dan malam Minggu. Jadi nanti malam dan malam Minggu akan ada pulung jatuh ke arah rumah Pak Digo lagi." Wartawan cilik itu berpikir, bagaimana cara menyadarkan rakyat bahwa mereka telah ditipu oleh kader-kader Pak Digo? Nanti malam, waktunya sudah terlalu dekat.

"Tapi saya harus bertindak!" kata Cipo dalam hati. Ketika orang-orang itu sudah pergi dari makam tua, maka Cipo mengendap keluar dari persembunyian dan pulang. Segera dicarinya Jalu dan Ndul-ndul. Kepada dua teman akrabnya itu Cipo membual, "Tadi, saat tidur siang, saya bermimpi. Nanti malam setelah terdengar adzan Subuh akan ada pulung yang menuju rumah Pak Digo! Apakah kalian percaya?"

"Wah, kalau begitu Pak Digo yang harus jadi kepala desa!" kata Ndul-ndul.

"Maksus saya, kita umumkan kepada warga agar mereka nanti malam melihat pulung itu," kata Cipo. "Bagaimana caranya, ya?"

Ndul-ndul punya usul, "Kita tulis, lalu kita sebarkan setelah difoto copy. Saya punya uang seribu untuk memfoto copynya."

"Nanti kita dimarahi tidak," tanya Cipo.

Jalu berkata, "Dimarahi bagaimana, justru Pak Digo senang!" Akhirnya, mereka membuat tulisan dengan spidol, pengumuman ajakan untuk melihat pulung yang akan jatuh nanti malam. Setelah jadi difotocopy lalu dibagi-bagikan ke masjid-masjid dan tempat lain yang strategis. "Ayo, saksikan beramai-ramai jatuhnya pulung ke rumah Pak Digo pada jam Subuh!" Banyak yang tertawa melihat hasil copian itu. "Wah, ada peramal cilik. Memangnya akan jatuh berapa kali pulung itu? Bukankah tempo hari sudah ada pulung untuk Pak Digo, masa' akan ada lagi?"

"Dasar anak-anak. Dipikirnya pulung itu mainan, bisa diatur-atur!" Tapi fotocopian itu terus tersebar, berpindah tangan. Sehingga malamnya, ketika adzan Subuh terdengar, orang-orang yang pergi ke masjid melihat ke langit. Pada saat itulah meluncur sinar yang arahnya menuju rumah Pak Digo. "Benar, ternyata ramalan anak-anak itu benar. Hebat sekali mereka!"

"Wiih, hebat ramalan kalian. Ternyata tadi pagi ada pulung yang jatuh ke rumah Pak Digo!"

Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul bangga. "Tapi yang mimipi bukanlah kami bertiga, tapi Cipo!" kata Jalu.

Paman Sodar menepuk-nepuk pundak Ndul-ndul, "Kalian memang anak-anak berbakat!"

"Berbakat apa, Paman?" tanya Ndul-ndul.

"Jadi dukun!" jawab Paman Sodar.

Mata Ndul-ndul terbelakak dan berkata, "Berbakat jadi dukun, mendingan tidak usah saja. Yang mimpi bukan saya tapi Cipo."

"Kalau begitu Cipolah yang berbakat jadi dukun," kata Paman Sodar.

"Tidak apa-apa saya jadi dukun. Bila nanti saya bermimpi lagi maka akan kami sebarkan seperti kemarin," kata Cipo membual.

"Betul ya, kami tunggu," kata Pak Jlog.

Nek Imeh menambahi, "Ya, kamu tampaknya memiliki bakat. Siapa tahu kamu jadi dukun cilik dan dusun kita jadi terkenal."

"Terkenal ke seluruh dunia, Nek," sahut Jalu.

"Atau malah sampai ke angkasa. Bair makhluk luar angkasa pada datang ke sini," kata Ndul-ndul. "Terus kapan kamu akan bermimpinya?"

"Ya nanti kalau saya tidur, masa terjaga kok mimpi," jawab Cipo. "Oke, sekarang saya pulang dan tidur, kalian jangan menganggu. Biar dapat mimpinya cepat." kata Cipo. Dia segera pulang. Sampai rumah bukannya tidur tapi menggambar dan mengerjakan pe-er. Tapi setelah kelelahan dia memang tertidur. Tapi tidak mimpi apa-apa.

"Bagaimana, sudah dapat mimpinya?" tanya Ndul-ndul. "Saya dan Jalu sudah tidak sabar menunggumu."

"Sudah, sudah kudapat. Malam Minggu jam tiga pagi, pulung itu akan muncul lagi dan menuju rumah Pak Digo," kata Cipo sambil duduk bersedekap tangan dengan mata merem.

"Betulkah, Mbah?" tanya Jalu.

"Benar," kata Cipo. "Bagaimana, kita sebarkan lewat brosur seperti kemarin?"

"Sebaiknya begitu," jawab Ndul-ndul dan Jalu.

"Kami sengaja tidak jajan, untuk bisa memfotocopy lebih banyak. Nanti, kita sebakan ke tiap-tiap dusun. Biar kita sekalian terkenal. Kamu yang jadi dukun dan kami berdua menjadi wakilnya. Nanti kalau dapat uang kita bagi bertiga," kata Ndul-ndul berkhayal.

"Baiklah, tapi sebaiknya saya tulis pakai komputer Ayah. Tunggu sebentar. Nanti kita sebarkan ke masjid-masjid dan di tempel di pos-pos ronda," kata Cipo.

Sejak Cipo bisa meramal kemunculan pulung itu dia menjadi pembicaraan banyak orang. Sehingga ketika bertemu orang-orang maka Cipo selalu ditanya perihal pulung itu. Tapi bagi yang jeli, menyangsikan ramalan itu. Pastilah pulung itu hanya perbuatan manusia dengan bantuan teknologi. "Aku curiga, pastilah ulah kader Pak Digo."

"Hya, aku juga berpikir seperti itu. Masa' sampai ada pertanda alam dua kali. Jangan-jangan ini hanya pertanda pesanan."

"Ya. Mungkin seperti kembang api. Bukankah kembang api bisa diluncurkan dengan laras seperti senjata api. Tinggal diarahkan ke sasaran saja," kata kader Bu Condro.

"Tapi warga sudah terlalu percaya itu pulung untuk Pak Digo. Pastilah posisi Bu Condro akan terlibas karena pengaruh sinar misterius itu," kata kader yang lain. Maka ketika tersebar brosur kedua dari Cipo cs, orang-orang pun jadi lebih bertanya-tanya. Terlebih lagi dari kubu lawan Pak Digo. Pengumuman tanda calon kepala desa sudah disebarkan. Bu Condro mendapat tanda jagung, Pak Digo bertanda padi, dan Pak Tomo mendapat tanda ketela pohon. "Lihat, Pak Digo mendapat tanda padi. Bukankah beras dibuat dari padi, sehingga Pak Digo yang pantas menjadi kepala desa. Karena akan membawa kesejahteraan, murah sandang pangan," kata kader Pak Digo.

Kader Pak Tomo tidak mau kalah, "Gambar padi itu karena Pak Digo punya penggilingan padi. Sangkamu orang hanya makan nasi saja. Aku sekarang bertanya padamu, apakah singkong itu bukan makanan?"

Kader Pak Digo menjawab, "Bodoh bila menjawab singkong bukan makanan!"

"Kalau begitu singkong juga simbol kemakmuran!"

"Tapi padi sebagai makanan pokok!" kata kader Pak Digo, ngotot.

"Itu tak ada hubungannya dengan hasil pemilihan kepala desa!"

"Apakah kalian tidak melihat pulung yang menuju rumah Pak Digo, hah?" tanya kader Pak Digo meradang.

"Itu hanya palsu, pulung mainan!" kata kader Bu Condro.

"Apa katamu?"

"Itu pulung palsu!" jawab kader Pak Tomo. Lalu kader dari masing-masing calon bertengkar sengit. Bahkan kader Pak Digo sudah melayangkan pukulan ke arah kader Bu Condro, tapi berhasil dilerai.

"Sudahlah, ini era demokrasi! Jadi tidaknya para calon sebagai kepala desa urusan pemilih. Yang mendapat suara terbanyaklah yang akan menduduki kursi kepala desa!" kata Pak Jlog yang kebetulan ikut melerai yang bersengketa. "Lihat ini, peramal cilik mengatakan akan muncul pulung lagi pada malam Minggu, jam tiga pagi," kata Pak Jlog sambil menyerahkan brosur yang dibuat Cipo dan kawan-kawan.

"Lihat, bukankah peramal cilik saja sudah tahu kalau Pak Digo yang akan menjadi kepala desa?" kata kader Pak Digo berang dan meninggalkan tempat itu.

"Kalian percaya dengan ramalan itu?" tanya kader Pak Tomo.

"Buktinya, malam Rabu kemarin terbukti. Padahal saat it dia hanya tidur siang. Nah, yang ini katanya juga didapatkan dari mimpi tidur siang," kata Pak Jlog.

"Aneh, ramalan yang sangat tepat, termasuk jam-jamnya," kata kader Pak Tomo. "Sebaiknya aku menemui dukun tiban itu sekarang juga."

"Untuk apa?" tanya Pak Jlog.

"Untuk lebih meyakinkan saja, apa benar dia bermimpi seperti itu!"

"Kamu pikir dia hanya mengigau. Kalau mengigau saja terbukti, apalagi mimpi?" kata Pak Jlog sambil tersenyum. Kader Pak Tomo mencari Cipo dan teman-temannya. Cipo dan dua wakilnya sedang memancing.

"Sini, nak! Siapa yang meramal pulung itu?" tanya kader Pak Tomo. Cipo mendekat. "Apa benar kamu yang menyebarkan brosur itu?"

"Ya!" jawab Cipo.

"Apa benar kamu mendapatkan dari mimpi?"

"Ya!"

"Lalu maksudmu apa?"

"Tidak ada maksud apa-apa, hanya menyatakan akan ada pulung lagi pada malam Minggu, jam tiga malam. Ke arah rumah Pak Digo."

"Demi Allah, kamu memimpikan semua itu?" tanya orang itu. Mendengar nama Allah disebut Cipo tercekat, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Akhirnya Cipo mengajak orang itu menjauh dan diceritakanlah rahasianya. "Tenang saja! Kamu tidak usah cemas, tidak akan terjadi apa-apa," kata kader Pak Tomo senang. Malam Minggu, orang sudah termakan oleh brosur tentang kemunculan pulung itu. Mereka begadang sambil menonton televisi. Begitu jam tiga malam tiba terlihatlah cahaya di langit dari arah utara, menuju arah dusun Pak Digo. Gemparlah warga desa. "Betul-betul ramalan yang hebat. Tepat sekalian hari dan jamnya. Betul-betul dukun cilik yang sangat sakti!" Tapi pamor dukun cilik sakti itu segera luruh, karena pada saat itu beberapa orang, termasuk Briptu Anwar dan Briptu Sanusi, menggelandang beberapa orang. "Inilah orang-orang yang membuat pulung. Mereka suruhan kader Pak Digo!" kata Pak Jlog yang ikut melakukan penangkapan.

"Di mana mereka ditangkap?"

"Di tengah sawah. Saat itu kami mengintip gerak-gerik mereka yang mencurigaikan, berpura-pura sebagai pencari kodok tapi tidak membawa lampu karbit. Malah diam-diam mereka menyiapkan kembang api dan meluncurkan ke arah dusun Pak Digo!" jawab Britu Sanusi.

"Dasar licik, tidak pantas dia jadi kepala desa," gerutu orang-orang. Tapi hal itu tidak menyurutkan kubu Pak Digo yang memang didukung dana besar. Karena Pak Digo tidak terbukti menyuruh si tukang kembang api, maka tidak diambil tindakan apa pun. Masa kampanye memasuki tahap akhir. Setelah itu semua tanda-tanda kampanye dicabuti, dan tidak ada pertemuan lagi. Tapi masa tenang kadang dipakai untuk bergerilya menjanjikan uang kepada calon pemilih. Setelah Pak Digo dan Pak Tomo mengadakan kampanye terakhir, maka giliran Bu Condro yang memanfaatkan kampanye terakhirnya. Nah, Bu Condro mengundang bakso dan mie ayam Pak Thor untuk memeriahkan suasana. Tua muda yang bersimpati kepada Bu Condro datang ke calon kepala desa itu. Tapi, paginya semua orang yang memakan bakso dan mie ayam Pak Thor terserang diare. Malah ada yang harus dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja itu membuat Pak Thor sebagai tertuduh dan menjalani pemeriksaan di kantor polisi.

"Gila Pak Thor, dia sudah meracuni orang banyak!"

"Kurasa bukan ulahnya, tapi ada penyusup yang merusak acara itu dengan memasukkan garam Inggris. Apa keuntungan Pak Thor, dia bukan warga desa kita sehingga tidak ikut memilih. Ternyata setelah dilacak, sebelum sampai kepada Pak Thor, mie itu dibawa oleh Codet. Orang Pak Thor yang memiliki hubungan istimewa dengan salah satu kader Pak Digo. Codet disuruh menaburkan garam Inggris di mie Pak Thor. Pak Thor bebas, Codet dan kader Pak Digo jadi tersangka dan ditahan.

"Aduh, hampir habis napasku ketika ditahan di kantor polisi!" kata Pak Thor ketika bertemu Cipo. "Sangkanya aku yang memberi garam Inggris. Apa aku sudah tidak waras berbuat keji seperti itu. Sekali aku jahat, berarti aku membunuh keluargaku sendiri karena mie dan bakso adalah sumber nafkahku." Di berbagai negari, mie yang masuk kategori pasta sangat populer. Mie mudah didapat, murah, dapat disajikan dengan cepat, mengenyangkan, dan tahan disimpan bertahun-tahun. Selama ini banyak versi tentang asal-usul mie. Rata-rata menyebutkan berasal dari China. Namun beberapa sumber mengungkapkan bahwa mie yang terbuat dari tepung gandum diperkirakan berasal dari jazirah Arab. Di China, pertama kali muncul pada tahun 100. Pembuatannya mengimpor teknologi dari Timur Tengah. Dalam perkembangannya mie menyebar ke berbagai negara Asia karena mudah diolah dan tahan lama.

Di kawasan Asia, mie dibedakan berdasarkan bahan yang digunakan. Ada yang dibuat dari kedelai, rumput laut, beras, tepung tapioka, gandum, sampai barley, yaitu sejenis tepung yang biasanya dipakai untuk membuat bir. Pada dasarnya tiap negeri yang menghasilkan gandum atau beras memiliki jenis pasta sendiri. Tapi ada beberapa pengecualian, misalnya pasta jarang ditemukan dalam hidangan asli Inggris dan Perancis. Sementara, mie tidak mudah ditemukan di India. Di Saporo - Jepang, ramen adalah jenis mie yang paling populer. Sebenarnya ramen sama dengan mie lo mien atau mi tarik dari China. Namun saat masuk Jepang pengucapannya menjadi ramen.

Sementara di Vietnam mie disebut pho. Salah satu teori kelahiran pho adalah provinsi Nam Dinh, sebelah barat daya Hanoi. Alasannya, juru masak di kota Nam Dinh berhasil membuat hidangan yang dapat memuaskan penduduk Perancis (Vietnam jajahan Perancis) dengan bahan lokal, yaitu mie dari tepung beras ditambah daging sapi. Padahal sapi di Vietnam sebelumnya tidak pernah dipotong, hanya dianggap hewan pekerja untuk diambil tenaganya. Teori lain, mie berasal dari desa miskin Van Cu di provinsi itu juga. Karena pada abad 20 hampir semua penduduknya hidup dari membuat mie. Desa itu hanya 50 mil dari kota Hanoi. Di Hanoi sendiri penjual mie rata-rata berasal dari desa Van Cu.

Akhirnya, pemilihan kepala desa berlangsung meriah di balai desa. Ramai sekali, malah melebihi pesta penikahan yang paling meriah sekali pun. Apalagi saat hitungan suara yang bersaing ketat antara Bu Condro dan Pak Tomo. Pak Digo harus gigit jari, meskipun sudah banyak keluar uang tapi hanya mendapat beberapa gelintir suara saja. Mungkin hanya dari kader dan keluarganya. Bu Condro yang mendapat suara terbanyak, dan dialah yang akan menjadi kepala desa perempuan pertama di desa Cipo. Rahasia Cipo yang jadi dukun tidak dibocorkan oleh kader Pak Tomo, takut Cipo akan mendapat masalah. Cipo sendiri tidak pernah buka mulut tentang rahasia di lereng kuburan tua. Juga kepada dua teman akrabnya, takut Jalu dan Ndul-ndul buka rahasia. "Kapan kamu akan meramal lagi?" tanya Ndul-ndul.

"Tidak ada ramalan lagi. Bukankah pemilihan kepala desa sudah berlalu, ya, menunggu acara pemilihan kepala desa berikutnya."

"Ahhhh.....kalau begitu kamu itu dukun palsu," kata Jalu. Cipo tertawa hi-hi-hi! Tapi tindak kriminal tentang keculasan dengan memanfaatkan kembang api untuk kepala desa itu ditulis oleh Cipo dan dikirim ke majalah Kriminol. Malah menjadi berita utama. Cihuiii...! (*)