Chereads / CIPO wartawan cilik / Chapter 5 - Duka Pak Kriting

Chapter 5 - Duka Pak Kriting

Apa yang menarik di sekolah? Selain bisa bertemu teman-teman, juga karena di depan sekolah banyak pedagang. Ada yang jualan es, makanan kecil, mainan, dan lain-lainnya. Meskipun ada kantin sekolah, tetapi penjual jajanan di depan sekolah Cipo tetap laris. Salah satu pedagang itu adalah Pak Kriting yang jualan gorengan. Yang dimaksud "jualan gorengan" itu bukan jualan wajan lho ya, melainkan aneka makanan yang digoreng, seperti pisang goreng, tempe goreng, tahu goreng, pisang molen, singkong goreng, maupun ubi goreng. Pokoknya makanan yang serba digoreng. Hanya saja untuk singkong goreng, sebelum digoreng direbus dulu dan dibumbui supaya empuk dan gurih sehingga yang giginya ompong pun bisa mengunyahnya. Gorengan adalah jajanan yang murah meriah, ya murah meriah, karena jika dibanding harga makanan lainnya harganya lebih murah. Tak pelak jika dagangan Pak Kriting laris manis karena pelanggannya sudah banyak. Pak Kriting memikul angkringan, yang satu tempat kompor minyak dan wajan, sedangkan yang satunya lagi tempat menaruh gorengan yang sudah matang.

Gorengan Pak Kriting, jika dicicipi Pak Bondan Winarno yang pakar kuliner itu, pasti akan diacungi jempol empat dan dikatakan "mak nyus". Anak-anak juga suka membeli gorengan Pak Kriting, apalagi sehabis pelajaran olahraga yang menguras energi sehingga membuat perut lapar. Makan satu atau dua gorengan, maka perut sudah tidak akan krucuk-krucuk lagi. Nama aslinya Poniman. Hanya saja karena rambutnya keriwil-keriwil seperti brokoli, maka dipanggil Pak Kriting. Malah nama itu yang ngetop. Bisa jadi kalau ada orang nanya tentang Pak Poniman, maka orang yang ditanya akan kebingungan. Tapi jika nanya yang mana Pak Keriting, akan dijawab 'Itu yang jual gorengan!'. Umur Pak Kriting kurang lebih 50 tahun. Kulitnya hitam, maklum karena selalu dekat dengan penggorengan yang panas. Setelah jualan di depan sekolah Cipo, begitu sekolah bubaran, Pak Kriting berjualan berkeliling, lalu setelah itu mangkal di pertigaan jalan dusun Cipo sampai habis. Tak sampai malam, dagangannya ludes.

Selain itu, anak-anak menyukai Pak Kriting karena orangnya sangat lucu. Setiap hari ada-ada saja kelucuannya. Dan itulah salah satu daya tariknya sehingga banyak pelanggan. Banyolan dan teka-tekinya selalu membuat orang rindu, rindu Pak Kriting berarti juga rindu dagangannya. "Ayo, siapa yang tahu, di manakah saya dilahirkan?" tanya Pak Kriting pada suatu hari.

"Di Semarang, karena Pak Kriting asli orang sana," seru Cipo, yakin jawabannya benar.

"Di Salatiga!"

"Di Jepara, dekat rumah Ibu Kita Kartini!" kata Jono.

"Salah," kata Pak Kriting. "Ayo, siapa yang tahu, hadiahnya tahu goreng!" Anak-anak sahut-sahutan memberi jawaban. Tetapi tidak ada jawaban yang benar. "Salah semua. Yang pasti saya lahir di tempat tidur!" kata Pak Kriting. Wow itu jawaban yang asal-asalan, tak disangka-sangka, tapi anak-anak tertawa semua.

"Ayo, sekarang tebak, mengapa air laut asin?" tantang Pak Kriting, suatu hari. "Karena mengandung garam!" jawab anak-anak riuh. Ya, memang itulah yang menyebabkan air laut asin. Tapi Pak Kriting punya jawaban beda. "Bukan begitu, tetapi karena di laut banyak ikan!"

"Ya... di laut memang banyak ikan, Pak!" gerutu Jalu. "Lalu asinnya dari mana?"

"Karena ikannya berenang ke sana kemari sehingga banyak mengeluarkan keringat. Keringat ikan itulah yang membuat air laut asin!" Cerdiknya Pak Kriting, dia suka membuat penasaran, tidak menjawab teka-teki yang dilontarkan saat itu juga. Kadang disimpan buat besok agar anak-anak datang merubungnya lagi keesokan harinya. Seperti ketika dia melontarkan teka-teki, "Mengapa kambing sangat bau?" Anak-anak menjawab karena kambing tidak pernah mandi. Tapi itu salah, kata Pak Kriting. "Jawabannya besok, ya!" Jika ada anak-anak yang menjawab betul, suka diberi gorengan gratis, dan bisa milih. Ah, ahli dagang betul dia! Sejak terjadi perubahan bahan bakar dari minyak tanah ke gas, Pak Kriting suka uring-uringan. Bagaimana tidak, sebagai pedagang gorengan, dia sangat mengandalkan kompor untuk mencari nafkah.

"Kenapa Pak Kriting tampak kusut akhir-akhir ini?" tanya Cipo.

"Beruntunglah kalian para anak-anak, tidak perlu memikirkan bagaimana mencari uang. Bayangkan, rakyat disuruh ganti kompor dari kompor minyak tanah ke gas, mana sanggup aku membeli kompor gas yang mahal. Sedangkan kompor gas gratisan yang dijanjikan belum kunjung datang, tetapi harga minyak selangit dan itu pun harus antre, bahkan berebut." Memang, harga minyak tanah selangit, sementara gas juga mahal bagi rakyat kecil seperti Pak Kriting.

"Pakai kayu bakar saja, Pak," kata Ndul-ndul.

Pak Kriting melotot lucu, "Ya, kamu Ndul-ndul, mana mungkin jualan gorengan dengan memakai kayu bakar. Apa aku harus mengangkat dapur rumahku sekalian?" Ndul-ndul nyengir, menyadari keluguannya. Seharusnya kompor gas gratis dibagikan dulu, baru minyak tanahnya ditarik dari peredaran. Tampaknya terjadi kesalahan dalam pendistribusian kompor gas gratis. Kompor gas belum merata diterima warga, tetapi minyak tanah sudah sangat langka. Hal ini membuat banyak orang merasa kesal. Warga di dusun Cipo pun banyak yang jadi manusia purba lagi dalam memasak, alias pakai kayu bakar! Paman Odar sedang gencar melakukan percobaan membuat arang briket dari sampah, tapi tampaknya belum sukses. Kok tahu? Ya, karena jika Paman Odar sukses membuat sesuatu, dia akan menghubungi Cipo agar temuannya itu dipotret. Sedangkan sampai sekarang belum ada undangan motret.

Pada suatu pagi, di sekolahan, Jalu berkata kepada Cipo, "Mulai sekarang jangan beli gorengan Pak Kriting!"

Tentu saja itu membuat terkejut sang wartawan cilik. "Lho, ada apa kok melarang membeli gorengan darinya?" tanya Cipo.

"Gorengannya sudah tercemar."

"Tercemar? Tercemar apa?" tanya Cipo, penasaran. Jalu menjelaskan dengan bisik-bisik bahwa minyak goreng yang dipakai Pak Kriting dicampuri plastik.

Ndul-ndul penasaran, "Pak Kriting jualan plastik goreng, begitu maksudmu? Saya belum pernah mencicipi plastik gorengnya."

"Bukan begitu maksud saya, bukan jualan plastik goreng. Tapi minyak yang dipakai menggoreng sudah dicampuri plastik," kata Jalu, "Begini ya, teman-teman. Kata orang-orang, sebelum Pak Kriting menggoreng tempe, singkong, atau lainnya, dia menggoreng plastik terlebih dahulu. Setelah plastik itu larut dalam minyak panas, barulah dimasukkan ubi atau lainnya."

"Apa maunya Pak Kriting dengan berbuat begitu?" tanya Cipo.

"Gorengan Pak Kriting akan awet keras, tidak mudah melempem atau layu. Rasanya kriyuk-kriyuk terus. Awet renyah, sehari semalam juga tetap kriyuk-kriyuk karena sudah tertepungi plastik," kata Jalu. "Juga, katanya, dengan dicampur plastik, minyak gorengnya lebih irit, malah sangat irit."

"Sejak kapan itu dilakukannya?" tanya Ndul-ndul. Jalu menerangkan bahwa dirinya sudah tahu cukup lama. Hanya saja dia baru bercerita sekarang pada Cipo dan Ndul-ndul. Alasannya, dia sebetulnya tidak tega menceritakan hal itu karena kasihan Pak Kriting.

"Jadi kamu lebih kasihan pada Pak Kriting daripada kami?" sungut Ndul-ndul.

"Benar kata Ndul-ndul. Jika itu benar dilakukan Pak Keriting, maka kamu sengaja membiarkan kami berdua teracun,!" gerutu Cipo.

Jalu garuk-garuk kepala dan berkata, "Itu benar jika saya membiarkan kamu makan gorengan itu berdua saja dengan Ndul-ndul. Nyatanya, saya juga ikut makan ketika kamu beli."

"Itu karena kamu anak yang bodoh," kata Ndul-ndul. Jalu langsung saja menyerbu Ndul-ndul. Yang diserbu berlari menghindar sambil tertawa-tawa.

Cipo merenung, apa benar yang dikatakan Jalu. Jika benar, kejam amat Pak Kriting. "Jalu, stop! Oke, kamu sudah menuduh Pak Kriting melakukan tindak kejahatan. Dan itu harus dibuktikan benar atau tidaknya. Kalau itu tidak benar, maka kamu berdosa kepada Pak Kriting."

Jalu tidak terima dikatakan seperti itu, alasannya dia hanya menyampaikan isu yang berkembang, "Saya hanya menyampaikan cerita yang beredar saja, bukan membuat-buat isu sendiri." Sebagai wartawan cilik dari majalah Kriminol, isu itu sangat mengusik nalurinya. Apa benar Pak Kriting tega melakukan itu? Apa benar hanya agar gorengannya lebih renyah, dia tega mencampur minyak gorengnya dengan plastik? Jika itu betul, maka itu hanya keuntungan kecil yang bisa merusak masa depannya sebagai pedagang. Orang tidak akan ada yang bersedia membeli dagangannya lagi. Cipo tidak bisa tidur karenanya. Pak Kriting yang disangkanya orang baik itu telah berbuat curang. Tapi apa benar begitu? Bagaimana kalau ditanyakan langsung kepada Pak Kriting? Jika itu benar, pasti akan berkelit. Maling tak pernah ada yang mengaku secara sukarela. Pada satu sisi, Cipo tak ingin menambah beban pikiran Pak Kriting yang sedang gundah memikirkan kelangkaan minyak tanah. Tapi kalau isu itu benar, alangkah kejinya Pak Kriting.

Saat di sekolahan, Cipo masih memikirkan hal itu. "Kalau benar mencampuri minyak gorengnya dengan plastik, pasti dilakukan saat masih di rumah, bukan di tempat umum." Padahal selama ini Pak Kriting menyatakan memakai tepung beras sehingga gorengannya renyah dan kemeripik. Menggoreng dengan dicampur tepung beras hasilnya lebih keras jika dibanding dengan memakai tepung terigu, tepung sagu, atau lainnya. Tapi benarkah plastik meleleh di minyak goreng yang panas? Secara akal sudah pasti. Hanya saja Cipo harus membuktikannya. Jika begitu, hatinya kurang puas. Sepulang sekolah, sesampainya di rumah, dia mencari kaleng bekas dan plastik bening, lalu dibawanya ke kebun. Dicarinya koran bekas dan diambilnya minyak goreng. Dibuatnya tungku darurat dari batu bata, minyak itu dituang di kaleng, kertas koran disulut untuk memanasi kaleng. Ketika minyak sudah mendidih, maka plastik dimasukkan. Plastik itu meleleh dan mencair, menyatu dengan minyak, dan tidak ada tanda apa-apa. Hanya kelihatan minyak mendidih saja, plastiknya lenyap. Cipo memasukkan batu kecil. Api dimatikan, lalu batu itu diambil pakai jepitan kayu. Beberapa saat kemudian, setelah dingin, batu itu layaknya dibungkus plastik. Sementara di bagian bawah kaleng, ada yang terbentuk semacam lapisan, lapisan plastik.

Selain minyak sawit dan minyak kelapa, ada minyak goreng lainnya seperti minyak canola, minyak zaitun, minyak jagung, dan lainnya. Minyak canola berasal dari bunga canola yang tumbuh di Kanada Barat. Minyak zaitun sudah dikenal ribuan tahun silam oleh masyarakat Timur Tengah dan Laut Tengah. Buah zaitun muda bisa dimakan sebagai penambah rasa, sementara buah zaitun matang sering diawetkan menjadi acar atau diperas untuk diambil minyaknya. Minyak jagung berasal dari biji jagung, dan harganya lebih rendah jika dibanding minyak goreng lainnya. Minyak kedelai berasal dari kacang kedelai. Dalam kacang kedelai terdapat fosfatida yang terdiri dari 2% lesitin dan sepalin sebagai bahan pengemulsi dalam industri makanan. Lesitin digunakan sebagai bahan pengempuk dalam pembuatan roti. Minyak wijen dihasilkan oleh biji wijen. Tanaman wijen banyak ditanam di India, Cina, Mesir, Turki, Sudan, Meksiko, dan Venezuela. Minyak wijen juga digunakan sebagai minyak urut karena bisa membuat hangat. Minyak biji bunga matahari banyak dihasilkan Amerika Utara, Meksiko, Cile, dan Peru karena bunga matahari adalah tanaman asli sana. Kualitas terbaik minyak bunga matahari dihasilkan dari varietas biji hitam. Sedangkan minyak biji anggur, dihasilkan dari sisa pembuatan minuman wine. Semua jenis anggur yang bisa dibuat wine, bijinya dapat dibuat minyak biji anggur. Minyak biji anggur tidak mudah gosong dan tidak mengeluarkan asap karena tahan panas sampai suhu 160 derajat Celsius.

Ketika bertemu Jalu dan Ndul-ndul, Cipo mengutarakan keinginannya untuk menyelidiki kebenaran isu itu. "Gawat, jika gorengan Pak Kriting seperti ini, bisa sakit orang yang memakannya. Sebaiknya kita menyelidiki apa benar kata orang-orang tentang Pak Kriting."

"Bagaimana caranya?" tanya Jalu.

Cipo membuat skenario, "Sore ini kita minta minyak jelantah pada Pak Kriting. Bilang akan dipakai untuk melumasi rantai sepeda Ndul-ndul yang karatan."

Ndul-ndul protes, "Heh, sepedaku tidak karatan."

"Ini hanya sandiwara," kata Cipo, "Agar kita diberi minyaknya."

Jalu menukas, "Tapi siapa tahu kandungan plastiknya sudah habis. Bukankah kalau menggoreng tempe dengan tepung itu lama-lama tepungnya habis karena menempel di tempe. Saya rasa kalau sudah sore plastiknya sudah habis, sudah pindah ke gorengan."

"Lantas bagaimana, dong?" tanya Ndul-ndul.

"Kita harus berbuat sesuatu," kata Cipo. Tapi belum sempat mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba mereka bertemu dengan Pak Kriting. Orang tua itu mengeluh kepada mereka bahwa akhir-akhir ini dagangannya tidak pernah habis. "Kemarin-kemarin tidak seperti ini, keberuntungan saya tampaknya sudah pergi. Yang laku tidak ada separuhnya. Apakah karena krisis gombal ya," keluh Pak Kriting.

"Krisis global, bukan gombal," kata Ndul-ndul.

Bukan Pak Kriting jika tidak bisa berkelit, "Antara gombal dan global hanya beda sedikit!" Hal itu membuat hati Cipo makin kasihan pada penjual gorengan itu. Apakah dia tidak tahu kalau tidak lakunya itu karena isu mencampurkan plastik di minyak gorengnya. Tapi kata-kata Pak Kriting membuat mereka bertiga terkejut, "Ada yang menuduh gorengan saya krenyes-krenyes gara-gara saya memakai plastik. Demi Allah, saya tidak pernah melakukannya. Saya mencari nafkah untuk menyambung hidup keluarga, tak ingin muluk-muluk. Saya sudah tua, yang dicari hanya jalan terang!" Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul terharu mendengarnya. Pak Kriting berkeluh lagi, "Ini terjadi semenjak di TV ada tayangan tentang pedagang gorengan nakal, yang menggoreng plastik agar gorengannya cepat kering dan awet!" Cipo mengangguk, tak terasa air matanya menetes. "Sungguh kejam isu ini," kata Pak Kriting, tercekat, suaranya hampir tidak terdengar.

Setelah bisa menahan perasaannya Cipo bertanya, "Pak, kira-kira siapa yang pertama kali menghembuskan isu ini?"

"Saya tidak tahu. Tiba-tiba orang sudah tak mau beli gorenganku, lalu anak-anak kecil mengolok-olok daganganku ada plastiknya. Saya rasa ada pihak yang sengaja memfitnah."

Jalu teringat sesuatu, "Saya ingat, saat itu Mas Goblek mengatakan pada teman-temannya kalau gorengan Pak Kriting mengandung plastik."

"Goblek?" tanya Pak Kriting. Jalu mengangguk. "Wah, tak kusangka dia pelakunya. Jadi, pagar makan tanaman kalau begitu?"

Ndul-ndul terkejut, "Pagar makan tanaman? Baru kali ini saya dengar ada pagar makan tanaman, apa ada pagar yang punya mulut?"

"Huh, itu hanya peribahasa!" kata Cipo. "Perumpamaan saja!"

"Goblek pernah saya suruh menunggui dagangan saya," kata Pak Kriting.

Pada suatu hari, ketika sedang berada tak jauh dari anak-anak muda yang sedang nongkrong, Cipo mendengar percakapan penting. Mereka kelihatannya sedang merencanakan akan berjualan sesuatu, yaitu gorengan. Mereka sudah iuran modal. "Bagus juga kalau betul-betul dilaksanakan," kata Cipo dalam hati. Jika mereka ada kegiatan positif, maka tak suka berbuat ulah lagi: suka mabuk, malak, dan berantem antardusun. Ups, tapi mereka akan jualan gorengan. Sementara Pak Kriting sempat menyebut Goblek sebagai pagar makan tanaman. Ada apa ini? Mas Goblek memang salah satu dari anak muda ini, yang kata Jalu pernah mengatakan gorengan Pak Kriting mengandung plastik. Beberapa hari kemudian, Cipo melihat anak-anak muda itu sibuk membuat tempat berjualan berupa gerobak dorong yang didesain unik. Kreatif juga mereka. Cipo mendekati anak-anak muda itu, "Wah, akan dagang apa mas-mas ganteng ini?"

Mas Goblek yang menjawab, "Eh, ada Cipo. Kebetulan, doa kamu kan manjur. Doakan dagangan kami laris, ya!"

"Iya, saya doakan. Tapi gerobak ini untuk dagang apa?" tanya Cipo mengulang.

Dijawab Ndet, "Jualan gorengan."

"Saingan dong sama Pak Kriting," kata Cipo.

"Rezeki kan ada yang ngatur. Bukankah Pak Kriting sudah akan pensiun?" kata Nogo.

Mas Goblek menimpali, "Dagangannya sudah tidak laku, pembelinya akan pindah ke kami."

Mendengar keterangan itu Cipo mencari Pak Kriting. Tentu saja dia mengajak Jalu dan Ndul-ndul. Ketika ketemu Pak Kriting, Cipo menanyakan, "Mengapa dulu Pak Kriting mengatakan kepada kami bahwa Mas Goblek sebagai pagar makan tanaman?"

Pak Kriting menjawab, "Karena saya curiga dia yang membuat isu itu. Padahal seperti yang pernah saya utarakan pada kalian dulu, Goblek sempat menjaga dagangan saya."

"Kenapa Pak Kriting menyuruhnya menjaga dagangan?"

"Dia yang menawarkan diri. Saat itu saya harus pulang dulu ke rumah karena ada urusan penting, anak saya memerlukan surat tanah saat itu juga. Sekembalinya dari rumah, saat jualan lagi, pembeli yang memakan gorengan saya jadi terkesan aneh. Malah ada yang mengatakan lebih keras dari biasanya. Ya, Mbah Kiyek mengatakan giginya tak kuat mengunyah gorengan saya lagi. Aneh kan, padahal selama ini dia salah satu pelanggan setia saya."

Cipo menelaah baik-baik cerita Pak Kriting. "Kemungkinan isu yang dihembuskan pada Pak Kriting sudah direncanakan matang," ujar Cipo.

"Kok kamu tahu?" tanya Jalu.

Cipo memberi alasan, "Nyatanya anak-anak muda itu akan berdagang gorengan. Nah, pada saat Pak Kriting pulang ke rumah untuk mengurusi surat tanah itulah, Mas Goblek beraksi dengan memasukkan plastik di wajan yang penuh minyak panas. Sebab sejak saat itu para pembeli gorengannya merasa aneh. Gorengannya terasa lebih keras, terutama Mbah Kiyek yang sudah ompong."

Jalu mengernyitkan dahi, bagaimana pun otak Cipo lebih cepat bekerja daripada otaknya, "Terus kita harus berbuat apa untuk mengembalikan kepercayaan orang kepada Pak Kriting?"

Cipo berkata, "Kita harus bekerja sama dengan Pak Kriting. Kita jebak Mas Goblek dan teman-temannya. Saya tahu caranya. Dengan cara ini, kita juga tak akan lama-lama berprasangka terhadap anak-anak muda itu. Siapa tahu mereka tak berbuat jahat seperti yang kita pikirkan." Kemudian Cipo mengutarakan strateginya. Pak Kriting setuju.

Siangnya, Pak Kriting sengaja langsung berjualan tak jauh dari tempat anak-anak muda itu nongkrong. Tidak seperti biasanya yang berkeliling dulu dan baru kemudian berlama-lama di pertigaan jalan dusun. Sejam kemudian, istri Pak Kriting datang dengan sepeda dan mengutarakan sesuatu. Pak Kriting tampak kebingungan, "Terus dagangan kita bagaimana, siapa yang menjaganya?"

"Tapi ini lebih penting, Kang!" kata istrinya. Pak Kriting kebingungan, menoleh kiri dan kanan untuk mencari pertolongan. "Mas, apakah ada yang bisa menolong saya?"

"Ada apa, Mr. Kriting?" tanya Ndet, bercanda. Pak Kriting mengutarakan bahwa dia harus meninggalkan dagangannya untuk beberapa waktu. "Jangan khawatir, biar saya yang menjaganya. Tapi saya boleh menggoreng dagangan kan? Biar kalau ada pembeli tidak kecewa, apalagi dagangan yang matang sudah habis." Pak Kriting mempersilakannya. Lalu dia pulang dengan sepeda, membonceng istrinya. Cipo waspada, mengawasi gerak-gerik Ndet dan teman-temannya. Kadir datang, celingukan dan setelah itu menyerahkan sesuatu kepada Ndet, plastik bening. Ndet segera memasukkannya ke wajan. Kamera Cipo beraksi, jelas tanpa blitz. Karena lumayan jauh, maka dia harus menge-zoom-nya agar tampak dekat. Setelah berkali-kali Ndet menggoreng, Cipo memberi kode kepada Jalu. Teman Cipo itu segera berjalan ke arah penjual gorengan dan membeli gorengan lumayan banyak, sepuluh ribu. "Buat apa, kok banyak banget belinya?" Jalu menjawab bahwa itu untuk arisan. Tidak hanya Jalu saja yang beli, tapi juga yang lainnya. Sekembalinya Pak Kriting, dagangan diserahkan kembali kepadanya. Sebagai tanda terima kasih, Pak Kriting memberi gorengan kepada Ndet lumayan banyak. Ndet menolak habis-habisan. Tetapi Pak Kriting memaksanya, mau tak mau Ndet menerimanya. Cipo terus mengawasi. Gorengan pemberian itu tak dimakan oleh Ndet dan teman-temannya. Diam-diam dijatuhkan dan ditutupi sampah.

Hanya saja, tak lama kemudian, anak-anak muda itu berulah dan ada yang berseru, "Sialan, gorengannya tidak enak!"

"Campuran plastik!" seru Mas Goblek.

"Pak Kriting penipu!" seru Nogo dan Kadir. Anak-anak muda itu sudah merubung Pak Kriting. Untung saja warga bisa melerainya sehingga Pak Kriting tidak disakiti. Urusan jadi berbuntut panjang. Cipo lalu menghubungi kantor polisi, Briptu Anwar segera datang. "Pak Kriting mencampur minyak gorengnya dengan plastik!" kata Ndet.

"Bukan saya yang mencampur plastik, tetapi kamu! Saya ada buktinya!"

"Bukti apa?" tantang Mas Goblek.

Pak Kriting mengeluarkan satu kresek gorengan komplit dari tempat dagangannya. "Ini gorengan yang saya goreng sebelum saya pergi dan menitipkan pada Ndet!"

"Itu tak ada artinya sama sekali!" seru Nogo.

"Ada! Karena ini menjadi pembanding dengan gorengan yang digoreng Ndet!" kata Pak Kriting. Jalu menyerahkan gorengan yang katanya untuk arisan. Mata anak-anak muda itu menjadi terbelalak. "Coba Pak polisi bandingkan, mana yang digoreng pakai plastik atau tidak. Gorengan saya atau gorengan Ndet?"

Briptu Anwar jadi bingung, "Wah bagaimana ya, saya sendiri belum tahu bagaimana bentuk makanan yang digoreng dengan plastik."Cipo mendekati Briptu Anwar dan memperlihatkan isi kameranya. Briptu Anwar mengawasi kamera, lalu berganti-ganti menatap Kadir dan Ndet. "Apa yang kalian lakukan? Kalian tak bisa mengelak! Ini ada bukti yang tak bisa dipungkiri!"

"Ada bukti lain Pak Polisi!" kata Cipo, dan mengajak polisi itu ke tempat nongkrong anak-anak muda tadi. Dikuaknya sampah, dan ditemukan bungkusan gorengan dan isinya yang masih utuh. "Jika mereka tidak tahu kalau gorengan itu ada plastiknya, maka akan dimakan habis, tapi ini masih utuh. Sehingga mereka sengaja memfitnah Pak Kriting," kata Cipo.

"Para pecundang ini tidak kapok-kapoknya berbuat jahat," seru Pak Jlog, jengkel. "Kok ya tega-teganya memfitnah orang kecil."

"Bagaimana? Kalian masih mau mangkir?" tanya Briptu Anwar. Anak-anak muda itu hanya menunduk, sudah tak bisa mengelak lagi. "Pak Kriting, apa perlu mereka dibawa ke kantor polisi?"

Pak Kriting diam beberapa lama, lalu berkata, "Tidak usah, Pak. Mereka saya maafkan, tetapi mereka harus janji tidak akan membuat fitnah lagi. Tidak saja pada saya, tetapi juga kepada yang lainnya.!"

"Terima kasih Pak Kriting," kata Ndet lirih. "Kami tidak akan mengulanginya lagi." Karena peristiwa itu disaksikan banyak orang, maka itu memulihkan nama baik Pak Kriting. Orang pun tak ragu-ragu lagi membeli gorengannya sehingga laris lagi.

"Terima kasih, Cipo. Kamu dan teman-temanmu telah menyelamatkan saya," ujar Pak Kriting saat berjualan di depan sekolah.

Cipo tersenyum, "Tapi ada teka-teki yang harus Pak Kriting jawab."

"Apa teka-teki itu?"

"Mengapa kambing sangat bau?" kata Cipo, yang masih penasaran dengan tebak-tebakan Pak Kriting yang belum dijawab.

Pak Kriting tertawa, "Karena ketiak kambing ada empat. Kita punya ketiak dua saja sudah sangat bau, apalagi kalau empat!" Dasar Pak Kriting! Apakah Cipo mengirim kasus yang menimpa pedagang gorengan itu ke majalah Kriminol? Tidak, dia tahu diri. Kalaupun dikirim paling juga akan ditertawakan Pak Soku, sang pemred. Melihat Pak Kriting yang kembali ceria menjadi kebahagiaan sendiri bagi Cipo. Lalu apakah anak-anak muda itu jadi berdagang gorengan? Tidak, mereka mengalihkan fungsi gerobak uniknya untuk jualan pulsa. Jualan pulsa dengan mendorong, ada-ada saja. (*)