"Apakah kalian pernah mendapati kejadian di mana seorang narapidana yang dihukum belasan tahun ditemukan sedang berada di luar penjara?" tanya Paman Dirj. Tentu saja ada jika orang itu lari dari penjara sehingga menjadi buron. Tapi bukan itu yang dimaksud Paman Dirj. Katanya, banyak petugas penjara yang main mata dengan penghuni penjara yang banyak uang. "Dengan segepok uang semuanya bisa diatur. Kamar tahanannya mau bagaimana? Yang ber-AC, berkasur pegas, atau kemewahan lainnya. Dengan uang, fasilitas hotel prodeo bisa disulap jadi hotel bintang tujuh belas. Aturannya di dalam penjara tidak boleh ada handphone bagi napi, tapi nyatanya, di penjara ada yang jualan pulsa."
"Aduh, Paman Dirj ini cerita apa sih?" kata Ndul-ndul.
Cipo serius menyimak kata-kata Paman Dirj. "Kok Paman bisa ngomong seperti itu, apa paman sudah pernah dipenjara?" tanya Cipo kemudian.
"Eit, jangan harap aku mau masuk penjara," sergah Paman Dirj. "Apa yang kuutarakan tadi kulihat pada sebuah film."
"Yee... hanya film. Film hanya bohong-bohongan," kata Jalu.
Tapi Paman Dirj menyatakan itu film yang dibuat dari sebuah kisah nyata. "Badannya dipenjara, tetapi otaknya bebas karena bisa mengendalikan bisnis jahatnya dari penjara dengan memakai handphone. Dengan begitu, meskipun berada di dalam penjara, tapi punya penghasilan yang sangat besar. Tahu tidak, untuk bisa keluar penjara, dicari orang yang bisa menggantikannya di dalam penjara. Dicari orang yang mirip, malahan yang sangat mirip."
Cipo memotong, "Mana ada orang yang bersedia menggantikannya di penjara?"
Paman Dirj segera menjawab, "Kamu belum tahu permainannya sih. Orang itu dibayar. Kalau perlu, digaji seperti karyawan. Tentu saja ini melibatkan sipir jahat. Misalnya, malam hari orang itu menggantikan posisinya, sementara narapidana asli itu sedang dansa di diskotik."
"Tampaknya Paman sudah menambah-nambahi film itu," kata Jalu. Paman Dirj berlalu sambil tersenyum, meninggalkan tiga anak yang bengong dibuatnya. "Tapi kalau Paman Dirj dipenjara akan sulit mencari penggantinya. Paman Dirj tidak ada duanya di dunia, bayangannya di cermin saja berbeda jauh," kata Jalu. Cipo dan Ndul-ndul tertawa keras mendengar kata-kata Jalu. Untung Paman Dirj sudah jauh dari mereka, kalau masih dekat, Jalu bisa dijewernya.
***
Klining...! Klining...! Klining...! Lewat seorang pedagang es keliling. "Itu Pak Kadir!" seru Ndul-ndul, "Cipo, kamu masih punya uang tidak? Kita beli es yo, kasihan Pak Kadir!"
"Saya lebih kasihan pada lidahmu yang kering," kata Jalu sambil mencegat Pak Kadir. "Beli satu, Pak. Tolong dipotong menjadi tiga."
"Oke Bos Jalu," kata Pak Kadir, sambil menghentikan sepedanya. Empat termos es tergantung di kiri kanan angsang sepedanya. Pak Kadir sudah jadi penjual es lebih dari tiga puluh tahun. Kalau umurnya sekarang enam puluh lima tahun, maka sudah mulai jualan es pada umur tiga puluh lima tahun. "Saya jualan es setelah anak ketiga lahir. Sebelumnya saya jadi tukang becak di Ciamis, Jawa Barat." Sepeda bututnya, katanya, adalah sepeda bekas pemberian orang. Meskipun orang miskin, tetapi Pak Kadir ringan tangan, suka membantu orang. Tentu saja bukan bantuan uang, melainkan tenaga. Misalnya ada orang yang kerepotan mengangkat jemuran gabah ketika akan turun hujan, Pak Kadir sukarela membantunya. Ketika Ayah Cipo sedang mengangkati pasir untuk uruk di halaman rumahnya, Pak Kadir membantu. Ketika diberi uang lelah untuk beli rokok, Pak Kadir tidak mau.
"Kok Pak Kadir tidak pernah menaiki sepeda? Bukankah lebih cepat jika dinaiki sehingga bisa berkeliling lebih jauh," kata Cipo kepada Pak Kadir, suatu hari.
"Kalau saya naik sepeda, maka akan cepat-cepat berlalu, sehingga mereka yang baru akan keluar rumah untuk membeli es sudah tidak menemukan saya lagi. Apalagi jika saya ngebut," kata Pak Kadir. Itu alasannya saja. Karena kata orang-orang tua yang mengenalnya, Pak Kadir memang tidak bisa mengendarai sepeda. Maka Pak Kadir selalu menuntun sepedanya untuk berjualan es. Yang dijualnya es mambo yang diambil dari juragan es di kota kabupaten. "Mutu es Babah Liong sangat terjaga, maka saya tidak pernah ganti juragan. Juragan es yang lain suka membuat asal-asalan sehingga tidak laku dan tutup. Rumah Babah Liong di depan warung mie Surabaya." Itulah, kaum pedagang banyak yang tidak berpikir untuk jangka panjang. Katakanlah sekarang esnya enak, tetapi setelah laris, sebulan kemudian rasa esnya sudah tidak karu-karuan. Wow, jauh juga Pak Kadir kulakan esnya. Pagi-pagi Pak Kadir sudah berangkat ke Babah Liong untuk mengantar uang hasil jualannya dan mengambil es yang baru. "Es yang tidak laku kemarin oleh Babah Liong tidak boleh dijual lagi. Esnya semua baru sehingga pelanggan semakin percaya dengan mutu esnya." Tapi banyak yang mengatakan, capeknya Pak Kadir tidak sebanding dengan uang yang didapatnya. Toh, nyatanya, Pak Kadir senang-senang saja menjalaninya.
Penjual es keliling itu selalu menyapa anak-anak dengan nama mereka, bahkan hafal nama anak-anak di setiap dusun yang menjadi tempat berdagangnya. "Sejak Ayah masih kecil, Pak Kadir sudah jualan es. Tapi dulu belum memakai sepeda, tetapi memikulnya," kata Ayah Cipo. Pak Kadir tinggal seorang diri di rumahnya. Hanya ditemani seekor anjing putih yang bernama Gonggong. Anjing itu ditemukannya di pinggir jalan, terlindas mobil. Bekasnya ada sampai sekarang, yakni kaki kirinya pincang. Bukannya dia tidak punya keluarga, istrinya sudah meninggal dunia lima belas tahun lalu, sedangkan anak-anaknya sudah menikah dan tinggal di lain kabupaten. Anak-anak, termasuk Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul, sudah tahu rumah Pak Kadir. Rumahnya kecil dan sederhana di tengah kebun luas. Rumah yang rapi, kata orang-orang, karena Pak Kadir orang yang rajin. Si Gonggong sering ikut Pak Kadir jualan es. Karena anjing yang jinak, maka anak-anak sering mengajaknya bermain-main. Dengan melempar kayu atau lainnya, si Gonggong lalu berlari-lari mengambilnya. Anak-anak suka memberinya makan. Kadang-kadang anjing itu tidak ikut, "Dia jaga rumah," kata Pak Kadir jika ditanya kenapa anjingnya tidak ikut dengannya.
***
Tidak ada hari libur bagi Pak Kadir. Setiap hari dia keliling jualan es. Apalagi kalau musim penghujan, maka bisa agak malam esnya habis, atau dagangannya tidak habis. Namun hampir seminggu Pak Kadir tidak berjualan es. Orang-orang bertanya-tanya, ada apa dengan Pak Kadir? Tetapi pada hari kedelapan dari absennya, Pak Kadir sudah muncul lagi. "Es! Es!" teriak Pak Kadir, klining-kliningnya jarang dibunyikan. Malahan yang lebih hebat lagi, Pak Kadir kini mengendarai sepedanya, tidak dituntun lagi. Ada yang mengolok-olok liburnya Pak Kadir tidak jualan es hanya untuk kursus naik sepeda.
"Hebat, Pak Kadir sudah bisa naik sepeda!, kata Jalu, kagum. Dia senang Pak Kadir bisa naik sepeda sehingga tidak begitu kecapaian.
Pak Jlog berkata, "Perlu dicontoh. Pak Kadir yang sudah tua saja tak pernah malu untuk belajar."
"Tapi, saya sudah bisa naik sepeda," kata Ndul-ndul.
"Hus, yang dicontoh semangatnya, bukannya kamu harus belajar naik sepeda lagi," kata Paman Odar, bersungut-sungut. "Tak apalah kamu salah paham, kamu masih anak-anak, masih bau jahe!" Tapi setelah Cipo amati selama beberapa hari, dia menganggap ada yang aneh pada Pak Kadir. Keanehan pertama, Pak Kadir tidak pernah mau lagi menyapa anak-anak yang ditemuinya, apalagi memanggil nama anak-anak, terkesan cuek bebek. Keanehan kedua, tentu saja Pak Kadir yang bisa naik sepeda. Keanehan ketiga, Pak Kadir sekarang lebih banyak berteriak "es-es-es" daripada memakai kliningannya, dulu tak pernah berteriak menawarkan dagangannya. Satu lagi, sejak kemunculannya setelah absen jualan, si Gonggong belum pernah sekalipun ikut dengannya. Ada apa dengan si Gonggong, sakitkah?
***
Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul sedang membantu Paman Odar menggali tanah di kebun. "Pak Kadir sejak bisa naik sepeda menjadi sombong," sungut Jalu.
Cipo berkata, "Apa kalian tidak melihat keanehan pada Pak Kadir?"
"Iya, rokoknya sudah bukan teng-we lagi lho, yang melinting sendiri, rokoknya kini Gudang Garam filter," kata Ndul-ndul. Apa yang dimaksud rokok kretek atau rokok filter? Rokok kretek adalah rokok yang tidak memakai gabus untuk menyaring nikotin. Sedangkan rokok filter, di pangkalnya ada gabus penyaring nikotin. Meskipun begitu, baik yang kretek ataupun filter, tetap saja berbahaya karena nikotin tetap bisa masuk ke dalam paru-paru. Tiba-tiba Ndul-ndul menemukan topeng tembikar. Topeng itu hanya kepalanya saja. Ndul-ndul senang sekali, merasa mendapat harta karun. ""Ini topeng Gajah Mada, lihat, wajahnya sama dengan yang ada di buku," kata Ndul-ndul.
"Itu topeng buatan saya," kata Paman Odar. "Saat itu ketika saya duduk di bangku SMP, saya disuruh membuat prakarya oleh guru, saya membuat topeng Gajah Mada." Ampun deh Ndul-ndul!
Siapakah Gajah Mada? Untuk mengetahuinya, kita harus tahu sejarah Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1292, Raden Wijaya membuka hutan tarik atas izin Raja Jayakatwang dari Kediri. Daerah baru itu dinamakan Majapahit atau Wilwatikta (wilwa= maja, tikta= pahit). Karena pada saat itu, ada anak buahnya yang memakan buah maja yang ternyata rasanya pahit. Tahun 1293, Raden Wijaya menggulingkan Jayakatwang dan menjadi raja Majapahit pertama bergelar Kertarajasa Jayawardana. Tahun 1295, terjadi pemberontakan Ronggolawe. Tahun 1300, pemberontakan Lembu Sora. Tahun 1309, Raja Kertarajasa mangkat digantikan oleh anaknya, Jayanegara. Tahun 1316, pemberontakan Nambi. Tahun 1319, pemberontakan Kuti digagalkan oleh Gajah Mada seorang bekel bhayangkara pengawal Jayanegara. Tahun 1323, Gajah Mada diangkat sebagai patih di Daha. Tahun 1328, pemberontakan Tanca, Jayanegara dibunuh Tanca, dan Tanca dibunuh Gajah Mada. Tahun 1329, Tribuwana Tunggadewi diangkat sebagai ratu Majapahit. Tahun 1331, penaklukan Keta dan Sadeng. Tahun 1336, Gajah Mada diangkat sebagai patih amangkubumi atau maha patih dan mengucapkan Sumpah Amukti Palapa di hadapan ratu dan para menteri, "Jika sudah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya akan beristirahat." Tahun 1343, pelaksanaan program penaklukan Nusantara dengan pendudukan Bali. Tahun 1350, Putra Tribuwana Tunggadewi, Hayam Wuruk, diangkat sebagai raja dengan gelar Sri Rajasanagara. Tahun 1357, hampir seluruh wilayah Nusantara mulai dari Semenanjung Melayu (Malaysia), Tasik (Singapura), Sumatra, Kalimantan, Ambon, Seram, Timor, dan Dompo telah ditaklukkan. Tinggal Sunda yang belum, menyusul insiden Bubat sehingga Gajah Mada diusir dari keraton. Tahun 1359, Gajah Mada kembali ke keraton dan kembali mendampingi Hayam Wuruk keliling wilayah kekuasaannya, dan ini mengilhami penulisan kitab Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca. Tahun 1364, Gajah Mada mangkat. Tahun 1389, Hayam Wuruk mangkat. Tahun 1403, perang saudara (paregreg) antara Damarwulan (Wikramawardhana) menantu Hayam Wuruk dengan Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari selir), dan dimenangkan oleh Wikramawardhana. Tahun 1429-1447, cucu Hayam Wuruk, Suhita, menjadi ratu Majapahit dan merupakan turunan langsung Raden Wijaya yang terakhir yang memerintah Majapahit. Tahun 1453, kekosongan tahta Majapahit. Tahun 1456-1478, pudarnya pengaruh Majapahit seiring perebutan tahta dan pengaruh masuknya Islam di Jawa. Tahun 1478, Majapahit runtuh dan jatuh ke kuasaan Kesultanan Demak.
Situs Trowulan adalah satu-satunya peninggalan purbakala berbentuk kota dari era kerajaan-kerajaan kuno di masa klasik Nusantara, dari abad V sampai XV Masehi. Dari kerajaan lain yang tersisa hanya candi atau prasasti. Yunani memiliki Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan Pompeii, Kamboja bangga dengan Angkor, Peru ada Mechu, dan Indonesia memiliki Trowulan. Penelitian ilmiah pertama Trowulan dilakukan Wardenaar atas perintah Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Rafles pada tahun 1815, dan penelitian itu dimasukkan dalam buku History of Java.
***
Pada suatu hari, ada pengendara motor yang menanyakan alamat Pak Kadir pada Cipo. "Saya mencarinya karena disuruh Babah Liong si juragan es untuk menagih uang hasil jualan esnya. Tidak seperti dulu lagi, kini Pak Kadir sering mangkir, uang hasil dagangnya tidak disetorkan. Kenapa orang ini akhir-akhir ini berubah sifat," kata orang itu. Jadi bukan mereka saja yang merasakan perubahan pada Pak Kadir. Bahkan Pak Kadir sudah tidak ramah lagi, dan selalu tergesa-gesa. Anak-anak yang menanyakan si Gonggong dijawab dengan ketus. Cipo diam-diam mengamatinya cermat, kulit Pak kadir lebih putih dan agak lebih gemuk, suaranya agak berbeda dengan biasanya, mungkin sakit tenggorokan. Tetapi mengapa sifatnya berbalik seratus delapan puluh derajat, kok bisa berubah dalam waktu yang sangat singkat? "Apakah Pak Kadir mendapat lotre sehingga sekarang begitu sombong," kata Pak Cardov yang sedang menggiring sapinya. Sapaannya pada Pak Kadir tidak dibalas. "Bahkan tersenyum saja tidak," kata Pak Cardov. Kejanggalan demi kejanggalan yang ditemukan Cipo pada diri Pak Kadir mengusik naluri investigasinya.
"Kita harus menyelidiki Pak Kadir," ajak Cipo pada dua sahabatnya, "Biar kita tahu penyakit apa yang menyebabkan Pak Kadir berubah sifat. Apa kalian pernah membeli esnya yang akhir-akhir ini?"
"Pernah dan tidak enak. Bukan lagi es yang dulu," kata Ndul-ndul. Pasti Pak Kadir sudah tidak mengambil esnya dari Babah Liong. Gara-gara tidak menyetorkan duit hasil jualan esnya sehingga ganti ke juragan lain.
Jalu mengutarakan pendapat, "Menyelidiki Pak Kadir untuk apa? Kamu pikir berubah sifat itu kejahatan?" Benar juga kata Jalu. Toh, meskipun perubahan sikap itu tidak disukai, tetapi itu bukan merupakan tindak kejahatan. Tapi kepenasaran hati Cipo harus dipuaskan. "Kalau kalian tak mau ikut, saya akan melakukannya sendiri." Tapi mana sampai hati, Jalu dan Ndul-ndul membiarkan Cipo sendirian. Akhirnya mereka pergi ke dusun Pak Kadir. Mereka mengamati dari jauh keberadaan rumah itu. Sepi, dan sudah kotor di sana-sini. Sampah dedaunan dibiarkan saja di halaman rumah, tidak disapu. Karena Cipo membawa senapan angin, maka mereka masuk ke kebun Pak Kadir, berburu tupai, begitu jika akan dimarahi. Untunglah ada cericit anak burung pipit di pohon kemuning.
"Ada suara anak burung pipit!" seru Ndul-ndul, "Jalu, kamu dengar itu?" Jalu mengangguk.
"Itu dia sarangnya!" kata Cipo. "Sttt, kalian lihat si Gonggong tidak?" Ndul-ndul dan Jalu menggelengkan kepala. Di dahan kemuning yang rindang ada serat-serat dari jerami, ya itu sarang pipit. Induk pipit sedang menyuapi anaknya sehingga anaknya berebut dengan ribut. Ketika Jalu hendak mengambil sarangnya, dilarang Ndul-ndul, kasihan anak-anaknya nanti mati jika di tangan mereka. Karena dulu mereka pernah mengambil sarang dan anak burung yang akhirnya mati semua. Ketika sedang asyik mengamati sarang burung itu terdengar geram anjing. Rupanya si Gonggong sedang menggali tanah. Mungkin mencari tikus atau musang yang ada di dalam lubang. "Wow, kotor amat badan si Gonggong!" seru Cipo. Bulu-bulunya terkena tanah sehingga tidak putih lagi. Melihat anak-anak itu, si anjing tidak peduli, terus menggali dan menggeram. Namun kemudian anjing itu menghentikan kegiatannya, berputar-putar di atas lubang yang digalinya sambil mengibas-ibaskan ekornya. Beberapa kali anjing itu melakukan gerakan yang sama. Mungkin hendak menunjukkan sesuatu, tapi ketiga anak itu tidak tahu maksudnya karena tidak paham bahasa anjing.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Sedang apa kalian di situ! Ayo keluar!" seru seseorang yang ternyata Pak Kadir. Cipo, Jalu, dan Ndul-ndul sangat terkejut, lalu keluar dari area kebun. Tapi Cipo heran kenapa si Gonggong hanya menatap Pak Kadir dari kejauhan, tak mau mendekati tuannya. Ketika keluar dari kebun itu, mereka berpapasan dengan seorang nenek yang membawa sayuran, mungkin pulang dari sawah. Nenek itu menatap ketiga anak itu. Yang ditatap jadi serba salah.
" Iya, Nek. Kami salah telah masuk ke kebun orang tanpa izin," kata Cipo.
Nenek itu tersenyum, lalu berkata, "Kebunnya sekarang tidak terawat lagi. Entahlah, Pak Kadir sekarang begitu mala. Tidur-tiduran saja kerjanya. Dulu kebun ini rapi, ada tanaman sayur-sayuran, seperti bayam dan kangkung cabut. Lihat, buah pepayanya yang matang dibiarkan tetap tergantung di pohon dan dimakan burung. Biasanya buah matang diambilnya, dijual, atau diberikan kepada tetangga. Aneh memang orang satu ini." Jadi, tetangganya pun merasakan kejanggalan pada Pak Kadir.
"Begitu ya, Nek," kata Cipo. Sepulang dari kebun Pak Kadir, Cipo jadi banyak merenung. Ada yang salah dengan Pak Kadir. Semua orang merasa ada keanehan pada si penjual es itu. Bukan saja yang manusia, anjingnya pun menurut Cipo melihat kejanggalannya, buktinya si Gonggong tidak mau mendekatinya.
***
Dua hari kemudian, ketika melihat Pak Kadir berjualan, Cipo mengajak Jalu dan Ndul-ndul ke rumah Pak Kadir. "Mumpung orangnya sedang tidak di rumah," bisik Cipo. Ketika mereka memasuki kebun Pak Kadir, tampak si Gonggong sedang tidur-tiduran di dekat lubang yang digalinya. Ada suara nguik-nguik dari mulutnya, mungkin begitulah anjing sedang menangis. Ketika melihat tiga sekawan datang, anjing itu berdiri mengibaskan ekornya dan mengitari lubang itu beberapa kali. Cipo mendekati lubang itu, tapi segera disergap bau busuk bangkai sehingga mereka segera menutup hidung. Betul-betul bau yang sangat menyengat. Dari mana asalnya bau itu? Jangan-jangan Pak Kadir menimbun bangkai. Tapi alangkah terkejutnya ketika mengamati lubang yang digali si Gonggong, ada jempol kaki yang menyembul dari tanah. "Mayat!" pekik Cipo, dan mundur menjauh.
"Mayat? Apa maksudmu?" tanya Jalu, dengan heran.
Cipo berkata sambil gemetar, "Lihat, ada jempol kaki!" Ndul-ndul sudah merinding ketakutan, tangan kanannya pegangan baju Cipo dan tangan kirinya memegang baju Jalu. "Kita harus keluar dari sini dan lapor polisi!" Karena sangat ketakutan, maka ketika ada orang yang melintas, dicegatnya lalu diberi tahu, "Pak, ada mayat orang di kebun Pak Kadir!" Orang itu heran, antara percaya dan tidak. "Benar Pak, ada jempol kakinya!" Orang itu penasaran, lalu mendatangi kebun dan membuktikan kata-kata Cipo. Begitu melongok lubang yang ditunjuk, orang itu sangat terkejut lalu berlari mengundang orang-orang sekitar. Segera saja kebun Pak Kadir penuh orang. Ada yang segera menghubungi polisi. Polisi segera berdatangan, di antara mereka ada Briptu Anwar dan Briptu Sanusi. Oleh polisi tanah yang menimbun mayat digali. Anehnya lagi, itu jasad Pak Kadir! Jenazah Pak Kadir dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi.
Orang-orang saling berpandangan, serempak mereka bertanya, "Lantas siapa yang sekarang berjualan es?" "Hantu!" teriak mereka. Orang-orang menjadi ketakutan. Penemuan mayat Pak Kadir dan hantu Pak Kadir meruak ke mana-mana. Apalagi ditemukan sepeda dan termos es Pak Kadir di tepi sawah, tak jauh dari dusun Cipo. Esnya masih keras, belum mencair. Hantu Pak Kadir telah meninggalkan dagangannya. Cipo menjadi bingung, bagaimana ini, kalau hantu kenapa bisa jualan es? Dan esnya betul-betul nyata, bukan es hantu.
"Siapa hari ini yang sudah membeli esnya?" tanya Cipo. Ada banyak, tapi esnya, ya berasa es biasa, tapi bukan es Babah Liong.
"Jadi kamu menganggap itu es hantu?" tanya Jalu, berbisik.
Cipo menjawab, "Saya tidak percaya bahwa yang jualan es itu hantu." Kita sama-sama melihat keanehan-keanehan Pak Kadir setelah tidak berjualan selama seminggu. Pak Kadir yang bisa naik sepeda, beli rokok, suaranya agak berubah. Terlebih-lebih sifatnya bukan sifat Pak Kadir."
***
Dalam perkembangannya, setelah dilakukan otopsi, tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan pada tubuh Pak Kadir. Jadi, mati wajar saja. Tapi anehnya lagi, masa iya Pak Kadir yang mengubur Pak Kadir sendiri? Hantunya bisa mencangkul membuat lubang kubur. Tapi kalau itu manusia biasa, apa motifnya mengubur Pak Kadir seperti itu? Menguburkannya sendiri dan tidak memberi tahu tentang kematian Pak Kadir kepada tetangga dan kerabatnya. Kalau pun mereka melihat Pak Kadir membuat lubang di kebun, tetangganya tak akan curiga, pasti disangka sedang membuat lubang sampah atau menanam pisang. Cipo teringat cerita Paman Dirj tempo hari tentang orang yang disewa untuk menggantikan narapidana di tahanan, bahwa yang dicari orang yang sangat mirip. Jadi, betulkah hantu Pak Kadir adalah orang yang sangat mirip dengan Pak Kadir, atau bisa jadi saudara kembarnya?
"Mana ada hantu berjualan es dan merokok?" kata Briptu Anwar ketika Cipo menanyakan perihal hantu Pak Kadir.
"Tetapi kenapa sekarang lenyap?" tanya Cipo.
"Bukan lenyap, tapi melenyapkan diri. Dia tahu ada geger penemuan mayat di kebun Pak Kadir, ya dia segera melarikan diri," kata Briptu Sanusi.
"Tapi ada yang aneh. Kata anak-anak Pak Kadir, bapaknya memang terlahir kembar, hanya saja saudara kembarnya sudah mati tiga puluh tahun yang lalu di Pulau Buru ketika menjadi tahanan politik," kata Briptu Anwar, "Nama kembarannya adalah Kodir."
"Lha, terus siapa yang dagang es?" tanya Cipo, bingung juga. "Lalu, berapa bersaudara Pak Kadir?"
"Ya hanya Pak Kodir, tak ada yang lain. Sehingga ketika Pak Kodir dinyatakan meninggal di Pulau Buru, tinggal Pak Kadir saja."
Cipo termangu-mangu, "Aneh, katanya saudara kembarnya sudah mati tiga puluh tahun lalu. Kok, ada lagi?" Jemari tangan Cipo mengetuk-ngetuk meja, layaknya drum. Setelah diam, sejenak lalu berkata, "Satu-satunya cara agar kita tahu siapa yang telah menggantikan Pak Kadir jualan es adalah menemukannya. Menyebar fotonya."
"Kita tidak punya fotonya," kata Briptu Sanusi.
"Mudah... pakai foto Pak Kadir," kata Briptu Anwar. "Bukankah mereka sangat mirip satu sama lain? Foto Pak Kadir bisa menangkap orang itu." Mereka segera menghubungi anak Pak Kadir, minta foto Pak Kadir. Untunglah ada foto yang terbaru, yang diambil pada hari raya yang lalu bersama cucunya. Foto Pak Kadir diperbanyak, lalu disebar ke mana-mana. Foto itu ditulisi "Dicari!"
Benar, orang itu ditemukan sedang menggelandang di kota Salatiga. Orang itu ditangkap, lalu beberapa hari kemudian dibawa ke kantor polisi mereka. Orang itu ternyata Pak Kodir, saudara kembar Pak Kadir. Dia mengakui bahwa tiga puluh tahun yang lalu dia merekayasa kematiannya. Alasannya? "Saya tidak mau keluarga saya, terutama Kadir, terlalu memikirkan nasib saya. Dia sangat menyayangi saya…," kata Pak Kodir, menangis. "Itu saja tujuan saya. Sehingga ketika dibebaskan lima tahun yang lalu, saya tidak pulang ke sini. Saya hidup menggelandang di Surabaya sendirian karena saya tidak menikah."
"Terus, kapan Pak Kodir datang ke daerah sini?" tanya Cipo.
Pak Kodir menjawab, "Sebulan ini. Saya datang malam hari agar tidak ada yang mengetahui kehadiran saya. Kadir senang sekali ketika tahu saya masih hidup. Dia sempat berpikir saya ini hantu. Hanya saja ketika dia sakit mendadak dan meninggal, saya jadi sangat bingung sampai...."
Cipo menukas, "Sampai Pak Kodir punya pikiran, seandainya Pak Kodir bisa meneruskan jadi Pak Kadir, maka orang tidak akan tahu, termasuk anak-anak Pak Kadir!"
Pak Kodir mengiyakan. "Saya mungkin bisa mengelabui orang menjadi Kadir, hanya saja anjing itu tidak bisa tertipu. Anjing itu tidak mau mendekati saya. Ketika jasad saudara saya ditemukan, saya lari sejauh mungkin, sepeda dan termos es saya tinggal. Naik angkot dan pergi tak tentu arah, menggelandang," kata Pak Kodir.
"Tapi akting Pak Kodir kurang sempurna. Apakah Pak Kodir tidak tahu kalau Pak Kadir tidak bisa naik sepeda? Merokoknya juga buatan sendiri, bukan rokok filter," kata Cipo.
"Saya tidak suka rokok buatan sendiri. Tapi siapa bilang dia tidak bisa naik sepeda? Malahan lebih dulu dia bisa naik sepeda daripada saya," sergah Pak Kodir, "Perihal yang tidak pernah naik sepeda mungkin dia punya alasan khusus, barangkali pernah jatuh dan trauma. Tapi betul, seratus persen dia bisa naik sepeda."
"O, jadi saudara kembar bisa tidak tahu tabiat kembarannya?" kata Briptu Andi sambil tertawa, "Gara-gara sudah tiga puluh tahun tidak bertemu, ya? Cipo betul-betul sangat jeli." Meskipun Pak Kodir tidak membunuh Pak Kadir, tetapi tindakan yang dilakukannya salah. Pak Kodir harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Untungnya, keponakan-keponakannya, yakni anak Pak Kadir, tidak menaruh dendam kepadanya. Sebagai saudara kembar bapaknya, Pak Kodir diterima sebagai orang tuanya sendiri. Ketika Pak Kodir menjalani persidangan, anak-anak Pak Kadir datang untuk membesarkan hatinya. Mereka berjanji akan menunggu Pak Kodir menjalani hukuman, setelah itu akan mengajaknya tinggal bersama agar hidup Pak Kodir tidak terlunta-lunta lagi. Setelah terkuaknya teka-teki Pak Kadir itu, Cipo membuat kisahnya dan dikirim ke majalah Kriminol. "Luar biasa wartawan cilik kita ini," puji Pak Soku, "Saya doakan jika besar nanti, kamu jadi jenderal polisi." Wah, kok tidak didoakan menjadi wartawan hebat? Yang pasti, uang saku Cipo akan penuh dari hasil menulisnya itu. J