Claris mengigit jari gemas. Seumur hidup, Claris tak pernah yang namanya mengigit jari kalau bukan gugup ataupun pusing. Sejauh itu, Claris bukan orang mudah galau. Secara otomatis mengigit jari sangat jarang Claris lakukan. Galaunya Claris sangat jarang terjadi. Galau tersebut tertutup oleh kesibukan, istilahnya, Claris tak punya waktu untuk galau.
"Ini pilhanku Tuhan, semoga benar." Claris menengadahkan tangan, tak lama kemudian ia pun mengambil ponsel. Javier datang terlalu lama!
Claris tak habis pikir, kenapa pula Javier datang terlambat?
Muncul berbagai pertanyaan pada diri Claris. Kalau Javier datang tidak dengan alasan jelas, akan langsung Claris cekik leher orang itu. Claris sudah tak sabar ingin menghajar Javier. Tangan Claris mengepal kuat.
"Halo presdir cantik."
Berdecak, Claris pun melihat Javier sekilas.
"Halo, kabar apa yang kamu bawa?"
"Kabar?" Otak Javier ngelag, tak tahu maksud Claris. Biasanya Claris bicara langsung ke inti, saat itu ceritanya beda. Bagi javier, Claris biacra berbelit-belit.
Butuh perjuangan otak berproses extra untuk tahu maksud ucapan Claris.
"Bentar Cla." Javier mengakat tangan. "Otak aku mau proses dulu. Kamu bilang apaan sih?"
Claris berdecak, hal itu ia lakukan sebab menyumpahi diri sendiri. Selain itu, Claris juga menyayangkan Javier tak paham. Oke, mengenai hal itu mereka sama-sama salah.
Sebagai perempuan yang keras hati, Claris anggap Javier juga salah. Bukan hanya ia sendiri.
"Lupakan, sekarang aku tanya, kau sudah baca pesanku?"
Javier mengangguk polos.
"Sudah, dan aku gak setuju, Cla. Pikirkan lebih baik, rencana pernikahan kita tak tercapai kalau kamu mengatakan yang sejujurnya."
"Tapi ini harus, Vier, tidak akan ada dusta antara seluruh orang."
Javier memejamkan mata kuat-kuat, kalau Claris sudah memikirkan sesuatu, Javier yang sejak awal tahu Claris keras kepala sulit mencari celah menghentikan Claris. Lebih baik tidak. Justru mulai terpikir hal lain pada diri Javier.
"Kau sudah menyiapkan alasan tepat?"
"Siap dengan segela kemungkinan buruk?"
"Siap," ucap Claris tanpa keraguan barang sedikit. Pada akhirnya Javier mengangguk, ia paham. Lebih baik begitu daripada tidak sama sekali. Claris sangat yakin.
"Oke, aku di pihakmu Cla. Yang penting kamu tidak dekat dengan Yanuar. Kau sadar gak sih dia itu keganjenan?"
Javier mendekat ke Claris. Khas bestie bergosip, Claris mendekat ke Javier. Sontak Javier mengulum senyum, oke, alur sikap mereka mulai terlihat sama.
Javier harap, ia dan Claris sudah berteman menjadi point plus tersendiri untuknya. Yanuar tak boleh dekat-dekat Claris.
"Jadi, kita akan melakukan apa?"
Klepak. Claris gemas, kepalang tanggung satu pukulan mendarat sempurna di kepala Javier. Claris tak habis pikir dengan lelaki itu.
"Rencananya aku tak ingin buat ini jadi buruk. Hal pertama yang aku pikirkan, aku ingin menghubungi Lily. Mengajak dia makan bersama kita, lalu membahas kejelasan hubungan antara kita."
Javier terlihat menimbang-bimbang. Sedikit ragu, pada akhirnya Javier pun setuju. Sependapat dengan ucapan Claris. "Apapun yang kamu katakan Cla, aku berada di pihakmu. Semoga semua berjalan sesuai yang kita inginkan."
"Semoga."
Javier melihat-lihat sekitar, tak lama kemudian ia pun tersnyum ramah. Tangan javier terangkat meraih kue. Makanan masuk ke mulut. Saat makan Javier menggemaskan, terbukti saat mulut Javier menggembung mirip tupai. Claris menghela napas dua sampai tiga kali saat matanya melihat Javier.
Brak!
Javier kaget, setahunya tadi Cla sedang asyik main ponsel, tak tahu kenapa Claris jadi marah-marah. "Ada apa?"
Di tangan Javier masih ada kue. Mulut sibuk mengunyah. Tatapan bingung bercampur kaget, walau begitu Javier tidak heboh.
"Jangan bertingkah imut depanku atau aku akan membunuhmu," ucap Cla kesal. Javier mendelik, ia merasa tak salah, Claris saja yang terlalu berpikiran aneh-aneh mengenainya. Sebelum berucap Javier menelan kue. Tidak ada minuman keras, air putih di meja pun jadi. Javier menyikat habis semua jenis minuman, yang dapat diterima kerongkongan dan tubuhnya.
"Kau pasti takut kalah saing."
"Tuhan." Claris menjambak rambut. Tingkat kenarsisan Javier sudah di atas ambang wajar, lelaki itu sangat-sangat menyebalkan.
"Halo Cla."
Javier melihat ke bekarang. Tepat di hadapannya berdiri seorang perempaun berpakaian rapi. Glek, tanpa sadar Javier menelan ludah sulit. Sekali lihat, satu kalimat Javier menilai snag perempuan, manis.
Sangat berbeda dengan perawakan Claris yang elegan dan dewasa.
Javier melihat Claris. Tidak bicara, cukup dengan tatapan Claris tahu yang Javier rasa. Pasti syok. Claris tak pernah bilang ke Javier kalau ia menghubungi Lily saat itu juga.
Javier melihat ke samping, membuang rasa kesal. Berusaha menahan diri tidak mengumpat. Gak lucu Javier mengumpati Claris.
"Halo. Silahkan duduk."
"Ehem." Cla memperbiki posisi duduk. Lalu Cla pun memberi isyarat pada Lily ikut duduk. Javier kejangenan sudah biasa, tak jarang tepat depan Claris, Javier menggoda karyawan kantor baik di Yunan Corp maupun Arsen Corp.
"Dasar tidak tahu diri," seloroh Cla dalam hati. Masih sangat ia ingat benar Javier mengatai Yanuar kegenjenan.
Lily duduk tepat di samping Cla, ada empat kursi, salah satunya di samping Javier. Lily tak mengenal Javier, oleh sebab itu ia memilih tempat di samping Claris.
"Ini pasti pacarmu, Claris."
"Ihuk."
Javier tersedak air liur, Claris yang melihat itu cepat-cepat memberikan tissue untuk Javier.
Mata Claris bergerak gelisah, dirinya tengah mencari jawaban sesuai. Javier memberi isyarat agar Claris bertindak, sebab kalau Javier yang bertindak, pasti akan berakhir buruk. Javier tak pernah main-main dengan ucapan. Sekali jleb, langsung pas terkena di hati dan pikiran. Soal hal serius, Javier suka langsung berucap, tidak secara pelan.
Claris menghadap Lily. Lily menangkap hal kurang pas saat itu, aneh. "Ada apa?"
Sudah Claris pikirkan baik-baik, saat terjadi langsung, ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Sulit.
Claris memejamkan mata sejenak. Ia ingin jujur dan itu adalah saat tepat. "Maaf Ly, orang ini." Claris menujuk Javier. Javier yang dapat perlakuan begitu turut menatap Javier lurus. Ia akan berpihak pada Claris apapun yang terjadi. Diserang pun bersama.
"Dia yang tidur dengamu Ly, bukan David. Maaf, aku tidak bermaksud membohongimu, memang beginilah yang terjadi. Semuanya di luar kemampuanku. David yang menawarkan diri mengantikan posisi Javier, dia bilang mencintaimu sejak di bangku kuliah."
Lily bungkam. Tak percaya terhadap hal yang ia dengar. Dalam hati Lily otaknya konslet, sekian ia berpikir, semakin tak paham. Otak Lily tengah memperproses.
Lalu, sesuai perintah otak, Lily melihat seseorang di hadapannya. Lily menatap Javier dari atas sampai bawah. Terlihat menelisik. Javier berdehem dapat tatapan begitu. Tak dapat Javier tampik, ia grogi. Gelar brengsek Javier langsung menguap, tak ada apa-apanya depan Lily.
"Dia?"
Wajah Lily berubah datar, jari tangan menunjuk Javier. Kerutan di dahi muncul. "Kalau begitu aku mau dia yang bertanggung jawab," pungkas Lily.
*****