Chereads / Relationshi(t) / Chapter 4 - 04 David Ingin Bertanggungjawab

Chapter 4 - 04 David Ingin Bertanggungjawab

"Anda saudara jauh David?"

"Of course. Meski jauh, kami sangat dekat. Kau tak perlu khawatir, David akan bertanggung jawab atasmu." Claris melihat perut Lily.

Sejenak Claris melihat David, yang ditatap jelas bingung. "Ehem, kau sedang masa subur?"

Lily terbatuk. Berbeda dengan David, ia langsung membuang wajah melihat ke arah lain.

Claris menatap polos, mata mengerjap lamat-lamat. "Hey, kita sama-sama sudah besar. Ini pembicaraan normal. Rahasia umum." Claris pikir ia tidak salah. Sifat keras kepala makin membuat Claris tak mau disalahkan.

Sembari menunduk Lily menjawab.

"Tidak tahu, aku tidak pernah menghitung jadwal mens. Aku bahkan lupa kapan hari terakhir aku dapat jadwal. Yang aku tahu aku jadwalku tak teratur."

Claris menatap datar. Muak mengakui kalau ia juga sama. "Aku tak punya alasan menghitung masa subur. Sebelumnya aku perempuan baik-baik."

"Wait." Claris terpikir akan sesuatu.

"Kenapa kau bisa berada di club?"

Lily menjawab polos. Saking polosnya Claris ingin memukul kepala perempuan itu kalau bukan teringat Lily punya alasan. Meskipun tidak masuk akal bagi Lily.

"Coba-coba. Lain kali aku tak akan melakukannya. Club tempat maksiat yang gelap. Baru sekali masuk, aku langsung dapat karma. Ini bukan seperti judul novel beautiful karma atau sweet accidental one night stand."

David tersenyum memaksa. Ia menatap Claris berharap atasannya maklum. David memberi kode pada Claris. Claris yang kebetulan melihat David pun mendekat. "Dia jurusan sastra. Saat ini berprofesi sebagai novelis."

"Ehem." Lily berdehem. Tatapannya tajam.

"Ouh." Claris tergelak. "Selera humor kamu cukup bagus. Beristirahatlah. Kita akan bertemu lagi nanti. Semoga hubungan kalian langgeng sampai ke pernikahan."

***

Claris mengetik pesan untuk Javier. Pesan adalah cara terbaik dan paling efektif Claris menghubungi Javier saat orang itu sibuk.

[Javier, aku sudah ketemu perempuan yang tidur denganmu. Namanya Lily. Lily berprofesi sebagai novelis. Dia teman kuliah David, salah satu karyawanku. David ternyata menyukainya. David sendiri yang menawarkan ingin menjadi penggantimu. Dia ingin menikahi Lily. Aku mempermudah jalan David. Harus ada alasan aku berada di tengah-tengah mereka, jadi aku mengaku sebagai saudara jauh David. Kalau ada yang ingin kau tanyakan, silahkan langsung tanyakan melalui pesan. Selamat bekerja.]

Claris menghela napas. Bukan hal baru di hari libur Javier tetap bekerja. CEO penuh pekerjaan padat menjadi keseharian di setiap hari Javier dan Claris. Tak jarang Claris pun juga masih bekerja saat libur. Tergantung pekerjaan tersebut mendesak atau tidak.

Ting. Ponsel Claris berdenting menampakkan notifikasi pesan masuk. Senyum Claris luntur saat tahu pesannya bukan dari seseorang yang ia harapkan.

"Ah, pacar aku lagi," ucap Claris. Dari SD sampai menjadi presdir, hanya satu yang Claris anggap sebagai pacar. Pesan operator.

"Iya, nanti aku isi kok. Gak sabaran banget," gerutu Cla. Cla tak habis pikir, rasanya ia sangat ingin mengigit ponsel. Satu kartu Cla meronta-ronta minta perhatian.

Mata Cla membulat hampir akan keluar dari tempatnya. Pesan dari Javier!

[Cla, aku di rumah dekat sungai. Kamu di sana, kan?]

"Bagaimana dia tahu?"

Claris bertanya-tanya. Setahunya ia tak mengatakan tempatnya saat itu. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Claris menatap jengah.

"Dasar tidak sabaran."

Ceklek.

"Cla, lihat yang aku bawa," ucap Javier semangat, di tangan terdapat berbagai macam sosis bercita rasa dan cilok. Javier adalah tipe orang suka makan. Tak peduli makanan itu berasal dari kaki lima sekalipun.

Claris menatap datar. Tangan bersedekap. "Kau mengajakku makan-makan?"

"Hem, begitulah. Bicara serius harus ada makanan. Kita butuh tenaga untuk berdebat."

"Masuk," ujar Claris cuek.

Ia memberi ruang untuk Javier masuk. Kepribadian dan selera humor Javier buat Claris muak. Sangat berbanding terbalik dengannya yang serius. Tak dapat Claris pungkiri, kepribadian yang buat muak itulah yang membuat Claris tertarik berteman dengan Javier.

"Kamu heran kan kenapa aku bisa sampai di sini. Mau GPS kamu matikan sekalipun, aku tahu kamu di sini. Kalau ada masalah pasti gak jauh-jauh dari tempat menyendiri."

Claris menatap jengah. Mulut mengerucut mengolok-olok Javier. Sangat telaten Javier menyusun makanan yang ia bawa di atas piring.

"Jadi." Javier duduk tepat depan Claris. Saat itu Claris di atas kursi kerja sedangkan Javier di kursi sama seperti milik Claris. Javier menyusun kursi agar mereka dapat saling berhadapan.

"Dia sedang masa subur atau tidak?"

"Tidak tahu, katanya dia gak pernah menghitung."

Javier memposisikan tangan di paha Claris. Perlakuan itu langsung berdampak. Tubuh Claris menegang.

"Hehehe, clam down Cla. Aku tak akan menyentuhmu. Oke, sekarang biar aku tanya lebih lanjut. Kamu sedang masa subur?"

Kepala Claris menggeleng. Ia tak tahu yang ia pikirkan. Rasa takut menghampiri. "Jangan bilang kamu gak pernah menghitung juga."

"Iya. Aku gak menghitung."

"Oh Gosh Cla."

"Lalu..." Javier meraih sosis. Tadi siang ia belum sempat makan. "Kalau Lily tahu, kita terjebak masalah. Tidakkah kamu berpikir mau jujur?"

Ekspresi Claris langsung datar. "Mudah Vier, jangan sampai ketahuan. Kau mau menikah dengannya."

Cepat-cepat Javier mengeleng. Tangan meraih air di teko. Javier sering keselek makanan.

"Hah..." Javier senyum. Terkadang kalau dia tersedak lebih buruk. "Bukan begitu maksudku. Begini...." Javier menyinggung hal lain. Claris keras kepala, Javier harus melakukan sesuatu untuk menghargai sistem berpikir perempuan keras kepala nan kaku seperti Claris.

"Semua hal jadi mudah kalau kita transparan. Kau dengan logikamu pun pasti setuju denganku."

"Tapi Lily mungkin menuntut pertanggungjawaban. Kau mau menikah dengannya? Logikaku mengatakan perempuan manapun akan minta pertanggungjawaban."

"Kau tidak. Buktinya kau tidak mencari orang yang menidurimu," celutuk Javier. Sedetik setelahnya Javier memukul mulutnya sendiri.

"Sorry, aku gak bermaksud." Javier mengalihkan pandangan ke seluruh arah. Javier serba salah.

Claris terlihat menerawang. Ia tak ambil pusing terhadap hal yang terjadi.

"Aku punya alasan tidak mau mencarinya. Mom memaksaku menikah dengan orang itu kalau dia berasal dari keluarga baik menurut pasangan Mom. Sedangkan aku tidak mau. Soal pasangan hidup, aku mau tentukan sendiri."

"Oke." Javier mengangguk. "Ayo kita pikirkan hal lain." Mata Javier bergerak gelisah.

"Soal orangtuamu. Kalau aku bukan kakak kandungmu, aku anak siapa?"

Alis Cla mengerut sebab ia tengah berpikir. "Kalau begitu ayo kita cari."

Javier mendengus. Bukan itu yang ia pikirkan, ada hal lain yang lebih baik. Otak Cla terlalu lurus. "Bukan Cla, ada hal lain. Maksudku, kita selesaikan urusan intern dulu. Melihat hubungan Mom and Dad, aku yakin kita sulit mendapat restu."

Tiba-tiba Cla tertawa getir. "Kau tahu, aku bilang siap keluar dari kartu keluarga pada Mom."

"What!?"

Untuk ke sekian kalinya Javier tersedak. Ia tak habis pikir dengan sikap Cla. "Aku gak tahu terbuat dari apa otakmu."

"Kenapa?" Wajah Cla yang terbiasa datar dan serius berubah julid. "Kau keberatan? Aku sudah perhitungkan keputusan ini. Aku tak kan langsung miskin. Otakku berpikir sudah lama ingin berontak, untuk itu aku harus mempersiapkan diri. Kau tahu toko roti, cokelat dan bunga tanpa naungan Arsen Corp? Itu aku bangun sendiri dengan uang tabungan. Aku rela gak jajan berbulan-bulan untuk modal bangun usaha. Kau tidak tahu perjuangan yang aku alami."

Javier tak terima. Ia tersinggung.

*****