Chereads / Relationshi(t) / Chapter 3 - 03 Bukan Saudara Kandung

Chapter 3 - 03 Bukan Saudara Kandung

"Hahaha, firasatmu tak pernah salah, Cla! Kita bukan saudara kandung!"

Klepak!

Claris tersenyum tak nyaman pada dokter yang menangani mereka. Javier berlebihan, harusnya tidak bersikap heboh.

Sembari menunduk dalam, Claris tersenyum setengah memaksa. Javier adalah tipe presdir paling kocak yang pernah Claris temui. Tak jarang emosinya meledak-ledak hingga mirip anak kecil.

"Terima kasih Dok. Kami permisi."

"Sama-sama."

Javier juga mengucapkan terima kasih. Lengan bekas mendarat pukulan Claris masih terasa menyakitkan. Javier mengusap pelan lengannya tersebut.

"Sakit."

"Kau masih punya waktu?"

Javier menggeleng.

"Tidak, sedari tadi sekretarisku sudah menelepon."

"Oh, Lio. Ya sudah sana pergi." Tangan Claris mengusir Javier. Kurang puas, Claris juga mendorong orang yang dijuluki CEO panas tersebut. Javier menyeringai, baginya tingkah Claris imut.

"Cium dulu."

Mata claris membulat. Seketika itu juga Claris melihat sekitar. Pegawai rumah sakit ada yang tersenyum. Javier memang tak punya malu, tapi kalau Claris, jelas-jelas ia punya. Bahkan lebih besar.

"Sana pergi, mau aku tendang?"

Javier pergi, sebelum itu ia sempatkan mencium kilat pipi Claris. Jangan tanya reaksi Cla, terpaku. Rona merah langsung menguasai wajah. Malunya Claris sampai ke ujung telinga.

"Sialan," pungkas Claris. Claris tak habis pikir dengan sikap Javier. Terkadang terbersit pikiran dalam otak Claris, bagaimana bisa Javier menjadi CEO dengan kepribadian terlalu humoris?

"Lain kali kau yang harus malu, bukan aku," tekad Claris dalam hati. Tangan Claris mengepal kuat.

***

"Ada apa Nona memanggil saya?"

Claris beralih fokus dari laptop ke seseorang di hadapannya. Saat itu Claris tengah berada di restoran salah satu cabang Arsen Corp.

"Silahkan duduk," ucap Claris sopan. Dengan siapapun Claris berhadapan, selalu sikap baik ia tunjukkan.

David duduk. Ia menelan ludah sulit bertatapan langsung dengan Claris, CEO Arsen Corp.

"Ehem." Claris memberikan buku menu untuk David. David menerima buku tersebut dengan gerakan kaku. Tingkah itu mengundang rasa penasaran Claris.

"Jangan gugup, ini bukan pertama kalinya aku memanggilmu."

"Iya Nona."

"Aku punya tugas untukmu. Maaf menganggumu di hari libur. Ini tugas penting."

"Apa yang harus saya lakukan, Nona?"

Senyum di wajah Claris terbit. "Akan ada fee tambahan untukmu. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih sudah meluangkan waktu menemuiku."

Claris memberikan alamat sebuah club yang ia kunjungi bersama Javier.

"Cari seseorang untukku. Sisa informasi sudah aku kirim ke nomormu. Uang muka juga aku kirim. Saat dia ketemu, sisanya akan menyusul. Perlengkapanmu ada di situ." Claris menunjuk sebuah mobil. Sontak David menelan ludah sasah payah.

Claris menatap David intens. "Ini tugas rahasia, usahakan dia tidak tahu apapun."

David mengangguk patah-patah. Ia siap menjalankan tugas.

***

David sampai di kawasan elite. Tepat di hadapannya gedung bertuliskan X club. Saat masih muda David sering mengunjungi tempat laknat itu sebelum akhirnya ia tobat.

Langkah David pasti, berlagak seperti seorang CEO sungguhan.

"Ada apa Tuan. Ada yang bisa kami bantu?"

David terlihat menilai. Bartender di hadapannya terlihat masih cukup muda. Sejenak David menghela napas, kerasnya kehidupan di kota besar membuat seseorang tak terlalu punya kesempatan memilih jenis pekerjaan.

"Aku ingin bertanya. Kau tahu lelaki memakai jas hitam di sini datang bersama seorang perempuan? Perempuan itu memakai dress warna hitam dan tertutup."

"Ada masalah, Tuan?"

David berdecih. Ia mendekatkan wajah ke bartender kemudian tersenyum misterius. "Kau tahu atau tidak?"

Si bartender menyeringai. David mengeluarkan kartu sebagai Intel. David berposisi sebagai Intel rahasia negara, bukan CEO.

Berlagak profesional, David melihat sekitar sebenar. "Tempat ini sayang kalau ditutup."

"Oke, akan aku katakan. Tapi, tidakkah ada tip untukku?"

Cletak. Davies menjetikkan jati.

"Tentu ada. Kita mitra kerja, Tuan. Kau beruntung aku tidak memakai kekerasan."

Saat David dan si bartender tengah bicara, terdengar suara teriakan dari luar.

"Kau jangan membohongiku Pak, aku tahu tempat ini tidak tutup. Biarkan aku masuk!"

David seperti tidak asing dengan si pemilik suara. Kening mengerut dengan alis saling bertautan.

"Tunggu."

"Kita lihat yang terjadi."

Si bartender mengusap kepala kasar, hilang sudah sumber pendapatannya.

Tepat di depan sana David terpaku. Perempuan yang tengah berteriak, Lily. Teman satu kampus David. Perempuan itu adalah orang pertama yang David sukai. Orang terindah di hatinya.

Tak ingin ketinggalan apapun, David menarik tangan si perempuan. Si perempuan sempat berontak. Dapat perlakuan begitu Lily kaget.

"Hey, apa-apaan nih. Lepas! Jangan main-main denganku."

David memejamkan mata sejenak. Baik-baik David tahan dirinya agar tak mengamuk.

"Lily, aku David. Kita satu kampus. Kamu jurusan sastra dan aku manajemen."

Mulut Lily menganga. Seingat Lily, belum pernah orang menyebut ia dengan informasi sedetil itu. Lily menatap lurus.

"Kau David?"

"Em. Sekarang kau ikut aku."

"Ta-tapi, lepas!"

"David."

"Shut up Ly. Aku bukan orang jahat. Kita bicara di mobil. Aku punya jalan keluar atas masalah yang kamu alami."

Lily kicep. Ia menatap lurus David. Dalam otak Lily terpatri berbagai pemikiran. David seorang CEO. Yang lebih menyebalkan, David adalah lelaki mabuk yang mengambil keperawanannya.

Sampai mobil Lily masih berusaha memproses hal yang ia alami. Dirinya menatap David takut-takut. Dengan seluruh akal sehat yang Lily punya, ia masih tak percaya.

David menghela napas berat. Sekali bergerak David menatap lurus Lily.

"Kenapa kau di sana?"

"Bukan urusanmu," Lily melengos. Tak ia lihat sedikitpun David. Lily serba salah.

Untuk ke sekian kalinya David menghela napas. "Oke, biar ku tebak. Kau mengalami accident one night stand di club X."

Detik itu juga oksigen merupakan hal langka untuk Lily. Berbagai kebingungan menguasai otak.

"Artinya kau?"

"Iya, aku. Aku yang mengambil keperawananmu," ucap David lantang. Untuk ke depannya, keputusan itu adalah hal yang akan David sesali seumur hidup.

***

"Bawa dia kepadaku Dav. Aku ingin bicara dengannya."

Claris menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Tak lama kemudian David masuk ke ruangan khusus tempat Claris tengah mengigit bibir.

"Nona Claris Arsen."

"Mana dia, aku ingin bertemu," ucap Claris. Bukan David yang Claris tunggu melainkan Lily. Perempuan yang menjadi pasangan Javier, itulah yang Claris inginkan.

"Nona!"

Claris terkesiap. Selama itu tidak ada orang membentak Claris kecuali sang ibu. Titel karyawan biasa makin tak masuk akal.

"Kenapa?" Seperti vibe Claris yang sudah-sudah, ia menatap David penuh pertimbangan. Karyawan ulet dan disiplin seperti David tak akan berani membentak kalau bukan membahas hal penting.

"Nona, perempuan yang tidur dengan pak Javier adalah teman sekampus saya. Perempuan yang menepati tempat khusus. Saya menyukainya."

Claris menatap datar. Pengalaman cintanya kurang bagus, dengar kalimat cinta secara langsung, timbul rasa muak.

"Jadi?"

"Nona, saya mohon jangan menyakitinya. Saya siap menjadi pengganti pak Javier," pungkas David.

Tepat setelah David berucap, Claris menatap jengah. Oke, Claris bisa jamin ia tak menyakiti Lily. Niat awal Claris mencari Lily juga bukan untuk menyakiti atau bahkan menekan. Memang agak aneh, tapi Claris ingin mempertemukan Lily dan Javier. Sebagai sesama perempuan, Claris ingin kedua orang itu sama-sama menolak.

Claris mungkin bukan orang baik, bukan juga tipe orang peka. Tapi ia tahu rasa sebagai sesama perempuan.

Cinta buta bukan hal baik untuk Claris perjuangan.

"Oke, bawa dia masuk. Selanjutnya terserah kamu," ucap Claris. Agaknya ia akan menyembunyikan sebuah fakta.

*****