"Silahkan duduk."
"Clo."
"Jake."
Nama para orangtua disebut. Artinya ayah dan ibu Claris saling mengenal satu sama lain.
Javier dan Claris saling berpandangan, masing-masing sudah terpikir akan hal buruk dan baik, tatapan dua orang tua patuh baya tersebut aneh.
"Kalian saling mengenal?" Javier bertanya.
"Tentu, dia mantan suami Mom. Jadi..." Nonya Clo melihat Javier. Yang ditatap menelan ludah sulit. Air liur seperti menyangkut di tenggorokan.
"Dia anak kandungmu?"
"Iya."
Deg. Sudah Claris duga. Buruk.
"Mom gak mau tahu Cla, kalian tidak boleh menikah!" Suara menggelegar Mrs Arsen berefek pada Claris. Claris bingung. Ia penuh ketakutan.
"Kau." Mrs Arsen menunjuk Jake tepat di wajah. "Pergi dari rumahku. Jangan pernah menginjakkan kaki di sini!"
Javier bingung. Tak pernah terpikirkan olehnya pertemuan keluarga dalam bentuk lamaran malah berakhir bertengkar.
Muncul pikiran buruk di otak Javier. Dirinya dan Claris saudara kandung?
"Pergi. Masalah ini di luar pengawasan kita. Biar aku mengurus anakku. Lalu kau, kau urus anak bagianmu."
"Jaga mulutmu Clo. Jangan menyalahkan putraku. Anak perempuan ini yang tidak tahu diri. Semua tak akan terjadi kalau dia tidak mudah ikut ajakan orang lain."
"Terserah, pergi!"
"Mom." Suara Claris terdengar lirih. Ia menatap Javier khawatir.
"Cla." Javier hendak menyentuh lengan Claris. Sikap baik tersebut ditolak mentah-mentah. Otak Claris penuh. Tapi ia harus menyelesaikan hal itu. Pertama-tama Claris hentikan dulu perang dua keluarga.
"Tidak apa-apa, lebih baik kamu dan daddymu pulang. Sisanya biar aku yang pikirkan. Tak perlu khawatir."
"Tapi Cla..."
"Pergi! Kau sialan Jake. Dari dulu sampai sekarang kau terus menyusahkanku. Harusnya dulu aku bunuh kau."
Plak!
Javier dan Claris terpaku. Tepat depan mereka Mr Jake menampar pipi Mrs Clo. Claris mendekat. Ia tak sanggup.
Suara Claris tajam. Tersirat keteguhan nyata.
"Javier tolong pergi. Walau bagaimanapun Mom orang yang melahirkan sekaligus merawatku. Nanti kita bicara lagi."
"Get out!" Lagi-lagi Mrs Clo berteriak.
"Dad ayo." Keputusan Javier sudah bulat, tangan ayahnya ia tarik ikut pergi bersamanya.
Mr Jake melihat Claris sekilas, dari tatapan tersebut tersirat rasa benci. Claris dapat melihat api berkobar di sana. Sakit di hati Claris abaikan. Saat itu ia harus menenangkan ibunya.
"Daddy," lirih Claris. Claris terfokus ke mommynya. Emosi masing-masing orang tak terbendung. Satu-satunya hal yang Claris pikirkan ia harus menyelesaikan masalah satu-persatu.
"Mom." Claris tak pernah menangis sebelumnya. Sekeras apapun didikan sang ibu, satu tetes air mata tak pernah meluncur.
"Tadi...."
"Tadi benar Dad?"
"Bukan. Jangan pernah kamu sebut orang sialan itu daddy. Dia jahat, dia tidak pantas."
"But Mom."
Tanpa Claris duga sang ibu mencengkram kuat bahu. Tatapan perempuan itu syarat akan kegelapan. "Jujur pada Mom, Cla. Javier menidurimu?"
Claris menggeleng. Ia tak lagi berharap pertanggungjawaban Javier. Kenyataan jikalau Javier kakak kandungnya adalah pukulan telak.
"Bukan, orang lain Mom. Javier ingin tanggung jawab, dia mengajakku ke club. Bodohnya aku mau."
Plak!
Jujur Claris sudah biasa dapat tamparan. Pola didikan sang ibu tak jauh-jauh dari yang namanya pukulan, perintah, aturan ketat dan kata-kata kasar.
"Maaf," ucap Claris lirih, tangan memegang bekas tamparan sang ibu.
Mrs Clo mengalihkan pandangan sebentar, setelah itu kembali melihat Claris. Wajah Claris ditangkup agar terfokus padanya. Tatapan Mrs Clo syarat akan ketegasan.
"Siapa, siapa yang menidurimu?"
Sontak kepala Claris menggeleng. "I don't know Mom. Saat aku terbangun, kasur di sampingku kosong."
"Oke sayang, kita cari pelakunya."
"No!"
Tepat setelah Claris berucap, tatapan super tajam menghujam. Nyali Claris sempat menciut, akan tetapi ia tak goyah. Sudah lama Claris terpikir ingin berontak. Kalimat demi ibu tak lagi pas untuknya. Mrs Clo Arsen terlalu egois untuk memikirkan perasaan Cla.
"Biar aku cari orang untuk menikahiku. Terserah siapapun. Baik dari kalangan atas maupun bawah. Sudah aku pikirkan baik-baik soal ini, Mom. Untuk pasangan hidup, biar aku yang tentukan. Kalau Mom tak menuruti keinginanku, aku siap keluar dari kartu keluarga. Cukup selama ini aku ikut yang Mom katakan."
"Ada orang yang kau cintai, Cla?"
Tangan Claris mengepal kuat, meremat dres yang ia pakai. Sekali tarikan napas Claris mengangguk mantap.
"Iya."
Tangan Claris dipegang sang ibu. "Cla, Mom tidak mau kau salah pilih. cukup Mom yang tidak mulus perjalanan rumah tangganya. Kamu tidak boleh seperti Mom."
Air mata Claris mengalir keluar. Dirinya bimbang. Berbagai pikiran buruk menyergap.
Claris menatap mommynya jauh. "Mom gak perlu khawatir, pilihanku tidak salah."
"Baiklah sayang."
Claris menatap datar. "Aku mau ke kamar dulu. Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan," pungkas Cla.
Kalau soal cinta, Claris belum menemukan tambatan hati. Ia hanya sedikit menyimpan rasa tertarik pada Javier. Hanya saja, kalau lelaki itu kakak kandungnya, Claris tak mungkin memaksakan kehendak.
Pernikahan sedarah taboo.
"Untunglah aku tidak tidur dengan Javier," ucap Claris dalam hati.
Otak Claris berputar. Ia harus mencari tahu sesuatu. Sebuah kebenaran. "Aku bukan tipe orang langsung menerima. Hanya Mom yang bisa melakukan itu padaku. Benarkah Javier kakak kandungku?" monolog Claris. Ia bertekad ingin tes DNA membuktikan kebenaran status antara ia dan Javier.
Cepat-cepat Claris mengambil ponsel. Jari lentik bergerak cepat mengetik beberapa kalimat.
[Javier, ayo kita pastikan kalau kita saudara kandung atau bukan. Entah kenapa aku ragu. Kita tes DNA.]
Seutas senyum muncul di wajah Claris. Baik hasilnya nanti ia benar saudara kandung Javier, tak akan memberikan pengaruh apapun. Claris tinggal mencari seseorang untuk menjadi suaminya.
"Pengalaman cintaku kurang baik sih, tapi aku punya beberapa orang yang bisa dipercaya. David."
Salah satu karyawan muncul di otak Claris. Semangat kerja David buat Claris terkesan. Claris lihat apakah ada peluang baginya menikah dengan karyawannya tersebut.
Seberapa baik rencana yang Claris susun, tetap saja kekecewaan tak dapat Claris bendung. Claris marah pada takdir yang sebegitu besar menghantamnya.
***
Claris dan Javier menunggu hasil tes. Sedikit sulit mencari waktu luang. Untunglah hari itu akhir pekan. Keduanya jadi punya banyak waktu luang dipakai untuk melakukan apapun.
"Cla, aku mencintaimu."
Claris terpaku. Otak tak dapat merespon ucapan Javier seolah kehilangan fungsi. Claris langsung mengalihkan pandangan. Jantung berdetak kuat sejak Javier mengungkapkan perasaan.
Masih belum melihat Javier, Claris berucap. "Kalau kita bukan saudara, ayo menikah. Tapi kalau kita saudara, buang jauh-jauh perasaanmu."
"Semoga kita bukan saudara," celutuk Javier.
"Tapi aku tidak suka dengan kebiasaanmu," ucap Claris seperti menanggapi ucapan Javier.
"Kalau bukan sebab aku sudah tidak suci, aku tak akan pernah mau menerimamu. Aku bukan orang bodoh buta oleh cinta. Aku juga bukan orang tulus bisa menerima kekurangan orang lain. Bagiku pasangan hidup memang tak harus berasal dari strata sama, tapi setidaknya sama-sama masih suci. Aku perempuan normal yang tak mau diduakan."
"Maaf," ucap Javier. Bertepatan dengan ucapan Javier, dokter yang menangani mereka keluar.
Di tangan dokter tersebut ada hasil yang Javier dan Claris tunggu-tunggu.
"Nona Claris Arsen dan tuan Javier Yunan, mari ikut saya."
"Ayo."
Claris mengangguk. Tujuan mereka menunggu langsung adalah agar tak ada kesempatan hasil tes tertukar. Berhubung keduanya sama-sama punya kuasa, Javier dan Claris dapat nomor antrian khusus orang VVIP.
Hasil tes keluar hari itu juga. Claris dan Javier tak masalah menunggu. Jantung Claris berdetak cepat. Penasaran menganggu dirinya.
*****