Pukul tujuh pagi, mereka sudah berkumpul di ruang makan. Rafael mengirimkan pesan di ponsel baru mereka yang kemarin sempat di berikan Rafael. Ponsel keluaran terbaru dengan teknologi yang lebih modern, mengikuti jaman yang semakin canggih. Mereka cukup mengenakan pakaian yang lebih rapi dari kemarin, meski masih tidak pantas jika untuk dikenakan bekerja.
"Jadi hari ini kita akan berbelanja mencari keperluan kalian, terus kita akan langsung ke kantor. Bukan untuk bekerja hanya melihat-lihat kondisi kantor sambil memperkenalkan kalian dengan rekan-rekan yang akan kerja bersama kalian nanti," jelas Alvaro di sela-sela mereka sarapan.
"Siap, Tuan Alvaro. Kami menurut saja mau di bawa kemana, asal jangan ke neraka. Kami masih ingin menikmati hidup," sahut Lexis sedikit bercanda.
"Ya janganlah, lalu siapa yang akan membantu saya kalau kalian ke neraka secepat ini." Alvaro tersenyum menanggapinya candaan Lexis.
Zeline hanya tersenyum melihat percakapan dua orang itu, meraka pun menyelesaikan sarapan. Hanya saja masih terlalu pagi untuk mereka jika pergi saat ini, itu kenapa Varro meminta mereka untuk bersantai lebih dulu.
"Ini masih terlalu pagi, jadi nanti saja perginya. Kalian bersantai dahulu. Nanti pukul setengah sepuluh baru kita pergi kalian tunggu saja di teras depan," ucap Alvaro.
"Apa kami boleh berjalan-jalan keliling rumah ini, sekalian melihat-lihat sekitar sini?" tanya Zeline.
"Ya sudah tidak apa-apa, sekalian kenalan dengan orang-orang di sini. Tapi jangan heran kalau mereka tidak terlalu menanggapi, karena mereka memang terbiasa tidak banyak bicara dengan orang baru." Alvaro menjelaskan agar mereka tidak heran jika tidak terlalu ditanggapi.
"Siap, tidak masalah tuan Alvaro. Kami hanya ingin menghilang kebosanan," sahut Zeline.
Setalah mendapatkan ijin Alvaro, mereka berdua lantas beranjak untuk keluar. Sementara Alvaro seperti biasanya akan menuju ruang kerjanya. Rafael dengan setia mengikuti sang bos menuju ruang kerjanya.
"Jadi mereka besok resmi menjadi pekerja di kantor kita, Tuan? Bagaimana masalah keselamatan mereka. Bagaimana dengan identitas mereka? Bukankah terlalu beresiko jika mereka terlalu diungkap, apalagi Zeline. Di cukup menjadi incaran, apalagi jika orang-orang berkuasa tau di anak dari siapa." Rafael sedikit khawatir jika sampai identitas Zeline terungkap.
"Tenang saja, kita tidak buka nama lengkapnya. Kalau tidak salah, itu juga bukan nama lahirnya. Bibinya mengganti namanya, karena tau itu beresiko. Bukankah karena itu kita sedikit kesulitan mencarinya kemarin, jadi kamu jangan terlalu cemas. Kamu hanya perlu mengawasi dia, toh dia akan sibuk di kantor dan tidak akan keluyuran" Alvaro menenangkan pikiran buruk Rafael, jika sampai orang-orang berkuasa mengenali Zeline.
"Baiklah kalau begitu, Tuan. Saya permisi dulu, saya ingin melihat apa yang mereka lakukan." Rafael pun berpamitan lalu meninggal ruang kerja Alvaro setelah mendapat anggukan dari bosnya.
Bukan menuju luar rumah, di mana Zeline dan Lexis sedang menikmati suasana rumah itu. Rafael langsung masuk ke sebuah ruangan, ternyata di sana terdapat banyak layar. Rupanya di sanalah Rafael mengecek segala aktivitas para pekerja di rumah ini. Semua kamera pengawas di pantau dari ruangan ini, tidak semua orang bisa masuk keruangan ini. Hanya Rafael dan beberapa orang terpercaya saja, karena Rafael tidak mau jika sampai ada yang lancang menghapus satu detik pun rekaman di sana.
Terlihat di layar, Zeline dan Lexis sedang berjalan di taman rumah itu. Mereka mengajak tukang kebun bicara sejenak, lalu mereka sibuk bercanda berdua. Tidak ada keanehan dari gerak-gerik keduanya, membuat Rafael bernapas lega. Ternyata banyak kamera yang berada di dalam dan luar rumah. Bahkan lorong menuju ke arah kamar dua orang sahabat itu, yang bisa membuat Rafael melihat pintu kamar keduanya. Hanya di dalam kamar yang tidak ada kamera pengawas, karena Rafael tetap mengutamakan kode etik. Membiarkan mereka berdua memiliki privasi, apalagi Zeline adalah seorang wanita.
***
"Ternyata rumah ini luas banget ya, halamannya pun bisa buat main bola kayaknya. Andai aku bisa bikin rumah sebesar ini, adik-adikku tidak perlu bermain di tanah lapang atau jalanan lagi. semua bisa di lakukan di sekita rumah," ucap Lexis tersenyum sendiri.
"Makanya rajin-rajin menabung, apalagi gaji kita di sini cukup besar, kamu bisa berikan seperempat untuk ibumu. Sisanya bisa kamu tabung, kelak buatkan rumah untuk keluargamu." Zeline menasehati sahabatnya itu, agar keinginannya bisa terwujud.
"Iya sih, itu pun kalau aku tidak menikah cepat. Hehehe," kekeh Lexis dengan kata-katanya sendiri.
"Belum apa-apa udah mikirin ke sana, biarkan keluargamu menikmati hasil jerih payahmu dulu. Selama ini mereka menikmati uang hasil kita mencuri uang orang-orang berkuasa, kali ini beri mereka yang hasil kerja kerasmu.
"Iya-iya, aku gak akan nikah cepet-cepet kok. Aku akan buatkan rumah bagus untuk keluargaku dulu, agar kelak kalau aku menikah aku tidak ada beban lagi. Tapi siapa yang mau jadi istriku ya, kamu mau gak?" tanya Lexis sambil cengengesan.
Plak!
Tangan Zeline dengan entengnya melayang ke kepala Lexis, membuat Lexis langsung mengaduh dan menjauhkan kepalanya dari Zeline. Mulut Zeline pun langsung mengomeli Lexis yang bicara seenaknya.
"Mulutmu itu ya, enak saja kalau ngomong. Sampai bumi terbalik aku gak akan mau, bisa-bisa aku stroke sebelum tua. Dan itu karena kelakuanmu yang masih suka seenaknya," gerutu Zeline mengomeli Lexis.
"Ya siapa tau kita jodoh," sahut Lexis seraya terkekeh dan menjauh.
"Amit-amit deh, jangan sampai. Selagi ada pria lain di dunia jangan sampai aku berjodoh denganmu, dasar anak nakal." Zeline mengejar Lexis lalu menggepit leher Lexis dengan lengannya.
"Ampun, iya gak. Ya ampun siapa yang mau sama cewek bar-bar seperti kamu ini!" teriak Lexis berusaha melepaskan lehernya.
"Biarin gak ada yang mau juga, aku juga belum tentu mau menikah. Menikah hanya merepotkan, belum lagi kalau harus melahirkan dan punya anak. Jadi doamu tidak berfungsi padaku," omel Zeline kesal.
"Iya-iya, sudah lepaskan tanganmu aku bisa mati!" Lexis berusaha membuka tangan Zeline yang mengapitnya.
"Makanya lain kali kalau ngomong disaring, bahkan jangan berani-beraninya kamu memikirkan hal itu. Aku benar-benar akan membunuhmu," ucap Zeline seraya melepaskan tangannya.
"Sudah, kamu gak asik lagi di ajak bercanda. Aku mau ke kamar saja," rajuk Lexis dan berjalan mendahului Zeline.
"Kamu merajuk? Hahaha, sudah seperti cewek saja. Sepertinya kamu pantes pakai rok deh," ledek Zeline terkekeh puas.
"Iya, kamu yang jadi cowoknya. Kamu sudah seperti pria saja, kerjaannya menghajarku."
"Salahmu sendiri, kamu memang harus di hajar biar gak sembarangan ngomong." Zeline tidak nau kalah, meski Lexis terlihat benar-benar kesal.
Lexis tidak lagi menyahuti ucapan Zeline, dia berjalan cepat untuk ke kamarnya. Zeline terus menggodanya, bahkan menggelitik sahabatnya itu agar tidak terus-terusan merajuk. Mereka pun akhirnya masuk ke kamar masing-masing, sebelum nanti mereka akan pergi bersama Alvaro.