Chereads / The Impossible Hacker / Chapter 11 - Mengunjungi Perusahaan Alvaro

Chapter 11 - Mengunjungi Perusahaan Alvaro

Setelah belanja seluruh kebutuhan mereka, Akhirnya Alvaro mengajak mereka untuk menuju kantornya. Mobil terparkir di basemen gedung perusahaan, mereka langsung menaiki lift menuju lantai rahasia. Karena tidak ada angka yang menunjukkan lantai berapa itu, Zeline dan Lexis sempat saling tatap. Karena bingung kenapa tidak ada nomer lantai yang di tekan oleh Rafael.

Mereka pun sampai, si sebuah ruangan yang penuh dengan layar-layar besar. Tidak hanya itu tapi juga kaca-kaca yang berfungsi sebagai layar komputer. Semua peralatan yang ada di ruangan ini terlihat sanggat canggih, Lexis langsung melongo. kepalanya menoleh ke sana kemari, dari bibirnya kekuar decakan kagum. Selama ini dia hanya berkutat dengan komputer sederhana, yang sudah di modifikasi oleh Zeline agar mereka tidak mudah terlacak.

"Silahkan kalian melihat-lihat, ayo saya perkenalankan dengan semua orang di sini!" ajak Alvaro.

Zeline dan Alexis langsung mengangguk, mereka pun di perkenalkan dengan orang-orang yang ada di sana. Tapi karena sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, mereka hanya bisa menyapa sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

"Lalu nanti kami akan bekerja di bagian mana?" tanya Zeline penasaran.

"Ayo ikuti saya!" ajak Varro dan mengajak mereka ke sebuah ruangan.

ruangan yang berbeda dengan orang-orang yang bekerja di sama, di situ ada beberapa layar besar. Keyboard super canggih ikut menghiasi tempat itu, sungguh Zeline merasa kecil saat berada di sana. Dia merasa bukan apa-apa di tempat secanggih ini, berbeda dengan Lexis yang langsung duduk di salah satu kursi. Dia langsung mencoba komputer yang ada di depannya.

"Wow, fantastik! Benar-benar canggih dan luar biasa," celetuk Lexis mengeluarkan pujian dari mulutnya.

"Hust, jangan berisik kebiasaan kamu nih. Nanti malah ganggu yang lain," omel Zeline mendengar suara Lexis.

"Hehehe, maaf Sis." Lexis langsung memasang wajah tidak enak, lalu berpura-pura fokus pada komputernya.

"Sudah tidak apa-apa, ruangan ini kedap suara. Di sini kalian akan mengendalikan sistem keamanan semua komputer yang ada di gedung ini. Di sini adalah kantor tempat dinas sekaligus kantor perusahaananku, jadi semua sistem keamanan jadi satu. Tapi di sana sudah ada petunjuk apa-apa saja yang mesti kalian jaga, nanti akan aku minta manajer bagian Cyber Security untuk mengajari kalian. Ya sudah, berhubung besok kalian baru mulai kerja. Hari ini kita kembali dulu, tapi sebelum itu Rafael akan mengajak kalian ke bagian personalia. Dengan begitu kalian bisa terdaftar menjadi pegawai resmi perusahaan ini, agar bisa mengeluarkan ID card untuk kalian. Dengan begitu kalian bisa keluar masuk perusahan dengan bebas. Ayo kita keluar dahulu!" ajak Alvaro setelah menjelaskan.

"Siap, Tuan!" sahut kedua sahabat itu bersamaan.

Lexis langsung beranjak dari duduknya, matanya menatap sekilas kambli perangkat komputer canggih yang akan menjadi tempat kerjanya. Bagi seseorang yang menyukai komputer, tentu saja Lexis merasa luar biasa bisa bekerja dengan perangkat-perangkat yang canggih. Bibirnya terus mengulas senyum, matanya menatap kesibukan para ahli-ahli komputer yang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan yang terlihat santai tapi harus memiliki kepiawaian dan hal IT, Lexis benar-benar mengagumi tempat itu.

Mereka kembali Keluar, kali ini Rafael menekan tombol lift dengan angka 17. Karena mereka akan menuju lantai ruang kerja Alvaro, sebelum nanti Rafael akan mengantar mereka menuju ruang personalia. Untuk mengurus data-data kepegawaian dua orang sahabat itu. Saat lift berhenti di lantai ruang kerja Alvaro, dia meminta mereka untuk tidak ikut turun dan langsung ke personalia agar mereka bisa langsung pulang jika sudah selesai.

"Beneran gak mau saya antar ke ruangan dulu, Tuan?" tanya Rafael.

"Iya tidak usah, sana pergilah kerjakan urusan mereka. Jadi kita bisa langsung pulang nanti," jawab Alvaro.

Rafael pun mengangguk, lalu kembali menekan tombol menuju lantai 10. Sementara Alvaro melangkah untuk ke ruangannya, dua sekertarisnya langsung berdiri begitu melihat kehadiran Alvaro.

"Siang, Pak." Kedua wanita cantik itu langsung menyapa sang bos.

"Siang, kalian sudah atur rapat untuk besok?" tanya Alvaro.

"Sudah, Pak. Apa mau di antar jadwalnya sekarang?" tanya salah satunya balik.

"Nanti saja, kalian kirim salinannya ke ponsel Rafael saja. Saya ada kerjaan sedikit," sahut Alvaro langsung berbalik dan pergi.

Melihat Alvaro berlalu kedua sekertaris itu langsung duduk, mereka pun mengerjakan apa yang di perintahkan. Sementara Alvaro langsung membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkah masuk. Terlihat jelas sebuah ruangan yang luas, di man ada satu meja kerja khusu Presdir, juga ada sofa untuk tamu. Ada rak-rak buku, yanh terdapat ratusan buku yang berjejer rapi di sana. Alvaro melangkah menuju ruang kerjanya, lalu menyalakan komputer dan mengetik di sana. Entah apa yang sedang di lakukan Alvaro, dia akan selalu bekerja setiap ada kesempatan.

Sambil menunggu Rafael selesai mengurus administrasi untuk kedua orang yang akan di pekerjakannya, yang salah satunya adalah gadis istimewa yang sudah cukup lama di carinya. Ada rahasia yang masih di simpannya dengan rapi, yang belum bisa di katakan Alvaro untuk saat ini.

Setelah hampir satu jam menunggu barulah Rafael dan dua sahabat itu kembali ke ruang kerja Alvaro, Rafael mengetuk pintu. Yang langsung di persilahkan Alvaro masuk, saat masuk ke ruangan Alvaro. Lagi-lagi Lexis memperlihatkan kenorakannya, membuat Zeline hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Waw, ini ruang kerja satu orang sudah seperti rumahku yang berisi banyak orang. Bener-bener mantap tuan Alvaro," ucap Lexis memuji besarnya ruang kerja Alvaro.

"Hust, bisa gak biasa saja. Kamu nih selalu saja bikin malu, memangnya kamu tidak pernah lihat ruang kerja sebesar ini." Zeline kembali mengomeli Lexis yang sering bersikap berlebihan.

"Kenapa sih seneng banget ngomelin aku, memangnya kamu pernah lihat?" tanya Lexis kesal karena selalu salah.

"Ya gak sih, tapikan aku gak norak kayak kamu. Bersikap bisa saja akan menunjukan kelasmu," sahut Zeline mengingatkan Lexis.

"Sudah kenapa jadi kalian bertengkar, kalian mau duduk dahulu atau mau langsung pulang?" tanya Alvaro menengahi.

"Sepertinya lebih baik pulang, Tuan. Kami akan mempersiapkan apa saja untuk mulai kerja besok. Dan juga saya sudah lapar," sahut Zeline menegang perutnya.

"Oh ya sudah, kalau begitu kita ke kantin perusahaan. Supaya kalian juga tau bagaimana kantinnya," ucap Varro berdiri dan mematikan komputernya.

"Jadi di perusahaan ini ada kantinnya ya, Tuan Alvaro? Apa di sana gratis?" tanya Lexis sumringah.

"Jelaskan Rafael," pinta Alvaro tersenyum.

"Baik, Tuan. Jadi di sini disediakan kantin gratis untuk semua pekerja di sini, kalian hanya perlu Id card untuk bisa masuk ke sana. Jika sudah di dalam sana, kalian bebas mau makan apa saja yang sudah di sediakan. Hanya saja, menunya setiap Minggu akan sama. Seperti Senin sampai Jumat di Minggu ini makan apa, itu juga yang akan kalian makan. Meski kadang ada menu tambahan lain yang di buat bagian dapur, jadi tergantung kebaikan hati mereka. Ya sudah ayo kita ke sana!' ajak Rafael.

Alvaro jalan lebih dulu, mereka pun keluar dari dalam ruang kerja Alvaro. Dua sekertaris cantik langsung berdiri menunduk hormat pada Alvaro yanh lewat. Melihat dua gadis cantik di sana. Lexis langsung melambaikan tangan kepada keduanya, bahkan bibirnya tersenyum semanis mungkin. Dua sekertaris Alvaro hanya bisa tersenyum membalas Lexis yang langsung bergaya.

"Jangan ganjen, kita di sini mau kerja." Zeline menegur lexis yang terlalu banyak gaya, sambil terus berjalan mengikuti langkah Alvaro menuju lift.

"Apaan sih, Zeline. Cuci mata dikit gak apa-apa kali, seumur hidupku hanya melihatmu saja setiap hari. Kali ini bisa liat yang bening bukankah itu anugerah terindah," sahut Lexis dengan santainya.

"Oh jadi aku anugrah buruk buatmu, awas saja kalau mau minta ajari aku lagi." Zeline mengancam Lexis bertepatan dengan pintu lift terbuka.

Mereka pun sama-sama masuk, tapi Zeline yang kesal berdiri menjauh dari Lexis. Melihat ulah dua sahabat itu Alvaro hanya menahan senyumannya, sedangkan Rafael hanya menggelengkan kepalanya. Lexis yang tau jika Zeline benar-benar kesal padanya berusaha mendekati Zeline untuk membujuk sahabatnya itu.

"Bukan begitu juga, Sis. Kamu itu posisinya jauh lebih tinggi di hatiku, jadi tidak bisa disamakan dengan siapapun. Sekalipun itu bidadari, meski seumur hidup sampai aku mati tidak ada yang bisa menggantikan posisimu. Kamu sangat istimewa, melebihi keluargaku sendiri. Sudah jangan marah begitu, nanti cantiknya Hilang loh." Lexis berusaha membujuk Zeline supaya tidak marah lagi padanya, bisa-bisa dia kehilangan guru terbaik jika sampai Zeline berlarut marahnya.

"Alah, kamu tuh cuma merayu doang. Supaya gak kegilangan mentor gratis," sungut Zeline masih saja kesal.

"Ya gak lah, sudah jangan merajuk lagi. Nanti di lihat tuan Alvaro gak enak, kamu pasti lapar banget ya makanya jadi sensitif. Hehehe," kekeh Lexis sambil mencoba merangkul sahabatnya itu.

"Sudah jangan rangkul-rangkul, sudah mau sampai tuh. Nanti di lihat cowok ganteng malah dikira kita pacaran, ogah banget kalau ada yang sampai mikir begitu." Zeline menepis tangan Lexis seraya mengendikkan bahunya.

"Iya deh iya, cari deh cowok yang ganteng. Ada juga paling gak sebaik aku," ucap Lexis dengan percaya dirinya.

"Diam, sudah mau sampai jangan berisik." Zeline pun meletakan salah satu jarinya di bibir Lexis, matanya menunjuk ke arah floor indicator. Lexis hanya menyengirkan bibirnya lalu mengangguk patuh.

Sebenarnya kedua sahabat itu bicara dengan pelan, hanya saja baik Alvaro ataupun Rafael masih bisa mendengarnya. Mereka sengaja berpura-pura tidak mendengar, padahal sudah sejak tadi keduanya menahan tawa melihat kelakuan dua orang di belakang mereka.

Mereka pun sampai di tujuan, pintu lift terbuka dan mereka semua keluar dari sana. Alvaro langsung mengajak mereka ke sebuah ruangan dengan pintu kaca, di sana tertulis jelas jika itu adalah kantin. Lexis langsung tersenyum kegirangan, begitu pun Zeline yang tadi sedang kesal. Rasa lapar memang bisa membuat seseorang menjadi sensitif.

Rafael menempelkan ID card miliknya yang di keluarkannya dari kantong jas, dia pun langsung menempelnya ke card lock membuat pintu kaca itu terbuka dengan sendirinya. Alvaro langsung masuk, diikuti Zeline dan Rafael. Di sana terlihat jelas makanan yang sudah tersusun rapi. Mereka hanya perlu mengambil piring, lalu berbaris menyendokkan makanan ke piring masing-masing. Karena waktu makan siang masih kurang 10 menit lagi, jadi tempat itu belum ramai. Koki langsung menyambut saat melihat Alvaro yang datang.

Setelah mengambil makanan, mereka tentu saja langsung menuju meja. Sementara Alvaro mengajak koki kantin berbincang sebentar, tentu saja akan ada Rafael juga di sana. Selesai berbincang barulah keduanya menyusul Lexis dan Zeline yang sudah makan lebih dulu. Sampai akhirnya mereka selesai makan dan hendak keluar bertepatan dengan jam makan siang. Pukul satu kurang lima belas menit, pekerja kantor istirahat dan mulai masuk dalam kantin sementara Alvaro dan yang lainnya langsung keluar untuk kembali ke rumah.