"Nak, ayo keluar makan. Itu ayahmu juga pulang, tapi ngomong baik-baik ya." Sang ibu mengetuk pintu dan bicara pada Lexis dari balik pintu.
"Jadi dia sudah pulang, Bu?" tanya Lexis langsung keluar dari kamarnya.
"Iya, tapi bicaralah dengan pelan. Kamu tau sendiri bagaimana ayahmu," sahut ibu mengingatkan Lexis.
"Iya, kalau dia bisa di ajak bicara baik-baik, Bu." Lexis menyahuti ibunya seraya langsung berjalan ke ruang makan, Lexis yakin ayahnya ada di sana.
"Ayah, kemana ayah menjual komputer-komputer itu. Ayah tau itu semua milik Zeline, bagaimana Lexis bisa bicara pada Zeline kalau ayah menjual komputer kesayangannya." Lexis langsung bicara pada ayahnya, pria pemarah itu langsung melotot pada Lexis.
"Salah sendiri, kenapa pergi tanpa meninggalkan uang untukku. Apalagi itu komputer ada di rumahku, jadi secara tidak langsung itu milikku. Aku sudah menjualnya kamu mau apa, Hah?" tanya ayah Lexis keras.
"Aku mau menebusnya, beritahu aku di mana ayah menjualnya. Lagian di mana-mana ayah yang memberi anak uang, bukan sebaliknya. Kapan ayah akan bertanggung jawab pada kami," sahut Lexis mulai kesal.
"Oh kamu sudah banyak uang, kalau begitu beri aku uang. Daripada untuk menebus komputer butut itu, yang bahkan laku hanya dengan harga murah. Sejak kapan ada aturan itu, kamu sudah dewasa jadi wajib bagimu memberikan orang tua yang sudah susah payah membesarkan mu. Mana uangmu berikan padaku, pasti uangmu banyak sekarang. Kamu kan bekerja dan tidak pulang selama sebulan, sini berikan ayah uang!" bentak ayah Lexis.
"Andai aku tau harus lahir dari orang tua seperti Anda, lebih baik aku tidak pernah lahir. Tidak aku tidak akan memberimu uang!" tukas Lexis tak kalah keras.
Prangg!
Suar piring jatuh yang di geser dengan lengan sang ayah, membuat Lexis terkejut. Ayah Lexis langsung mendekati Lexis dengan tangan terkepal. Ibu Lexis sudah berteriak panik melihat anak dan suaminya. Lexis melihat ke arah sang ibu, sebelum tinju ayahnya melayang padanya.
Bugh!
Bugh!
Terdengar tinju dan suara tendangan, adik-adik Lexis berlari dari kamar mereka. Semua orang hanya bisa berteriak, saat Lexis yang terduduk saat di pukul sang ayah. Lexis hanya pasrah saat ayahnya memukul dan menendangnya, semua dia lakukan karena melihat ibu dan adik-adiknya. Lexis bisa saja melawan, tapi dia tidak ingin ibunya semakin histeris ketakuta. Sampai akhirnya sang ayah berlari mengambil pemukul bisbol milik adiknya.
"Ayah! Sudah Yah hentikan, jangan pukuli Lexis dengan itu. Dia itu putra kita Yah!" teriak histeris ibu Lexis.
"Dia putramu bukan putraku, aku akan menghajarnya. Atau kamu mau menggantikannya, hah?" tanya ayah Lexis berusaha mendekati ibu Lexis.
"Tidak Yah! Pukul saja aku bajingan!" teriak Lexis langsung berdiri dan melindungi ibunya.
Alhasil sang ayah akhir memukuli Lexis yang melindungi ibunya dengan tubuhnya sendiri. Suara teriakan terdengar jelas dari rumah, itu yang ternyata terdengar sampai keluar. Tapi tidak ada siapapun yang menolong Lexis, semua tetangga hanya diam mendengarkan.
"Lari Nak, tidak usah perdulikan lagi rumah ini. Pergilah Nak," ucap ibu Lexis sambil mendorong putranya.
Lexis pun menangkap tongkat bisbol, lalu menariknya dari ayahnya. Pria paruh baya yang bertubuh besar itu sempat terhuyung saat Lexis menarik tongkat bisbol. Lexis yang sudah babak belur pun berlari keluar, anak buah Alvaro yang melihat tetangga Lexis ramai di dekat rumah itu langsung menyetir mendekat dari seberang jalan. Mereka baru saja hendak berlari mendekat, saat melihat Lexis yang berlari ke luar.
"Ada apa tuan Lexis?" tanya salah satunya.
"Kalian masih di sini, ayo kita pergi dari sini sekarang!" ajak Lexis sambil berlari menuju mobil.
"Tunggu anak brengsek, baru bekerja saja kami sudah sombong!" teriak ayah Lexis. Tapi saat melihat orang-orang dengan tubuh besar dan beliau pun menghentikan langkahnya.
"Ayo kita pergi tidak usah hiraukan di sini!" ajak Lexis.
Para anak buah Alvaro pun akhirnya berbalik, sementara ayah Lexis sedikit heran bagaimana bisa putranya di kawal oleh orang-orang dengan tubuh besar. Apa mungkin putranya sekarang menjadi orang penting, atau bekerja dengan orang-orang penting. Mobil yang membawa Lexis pun meninggalkan rumah itu, ibu Lexis yang keluar tidak kalah herannya.
"Anakmu itu bekerja di mana sebenarnya, bagaimana bisa dia di kawal orang-orang itu. Apa jangan-jangan dia menjadi anggota mafia?" tanya ayah Lexis.
"Ibu juga tidak tau Yah," sahut ibu Lexis sedikit berbohong karen dia ingat jika Lexis bekerja dengan tuan Alvaro.
"Dasar ibu dan anak sama saja, mana uang dari anak itu berikan padaku. Kalian semua ngapain di sini? Dasar tetangga tidak tau aturan menguping urusan orang sajjat!" tukas ayah Lexis kasar.
"Sudah Yah, ayo masuk saja!" ajak ibu Lexis.
"Aku mau uang bukan mau masuk!" bentak ayah Lexis.
"Lexis belum kasih ibu uang, Yah. Dia belum sempat kasih ayah sudah ajak ribut," jawab ibu Lexis berbohong.
"Bohong, aku akan cari. Awas saja kalau sampai ketemu, aku akan menghajarmu. Sini masuk," ucap ayah Lexis dan langsung menarik sang istri masuk.
Ayah Lexis pun memeriksa seluruh tubuh Istrinya, tapi dia tidak menemukan apapun. Dia pun langsung memeriksa kamar untuk mancari, dia berharap menemukan uang pemberian Lexis. Namun sampai setengah jam, dia tidak juga menemukan apapun.
"Brengsek! Ibu dan anak sama saja, kalian benar-benar tidak berguna!" teriak ayaj Lexis lalu keluar dari rumah.
"Ibu, apa ibu tidak apa-apa?" tanya salah satu adik Lexis.
"Tidak, Nak. Berkat kakakmu, tapi kasihan dia pasti sakit semua di pukuli ayah." Ibu Lexis menangis mengingat putranya yang luka-luka karena suaminya.
"Ibu kenapa tidak cerai saja dari ayah, kan kasihan kakak dan ibu. Lagian kakak sudah berkerja pasti di akan memberi kita uang," ucap adik Lexis yang tidak tega melihat ibu dan kakaknya.
"Sudah, kamu jangan ikut campur. Ada banyak hal yang membuat ibu tidak bisa melakukan itu, kamu tidak perlu tau. Sudah ayo kita rapikan meja makan lalu makan malam." Ibu Lexis pun langsung melangkah menuju ruang makan, adik Lexis terpaksa ikut dan membantu ibunya.
Sementara itu, di rumah kediaman Alvaro. Setelah makan malam, entah kenapa Alvaro tiba-tiba ingin mengajak Zeline bicara, mereka pun berjalan di taman rumah Alvaro. Lampu taman menyala, membuat tempat itu terlihat terang. Zeline baru menyadari, jika taman rumah Alvaro sangat indah saat malam hari. Dengan lampu-lampu yang beraneka warna.
"Saya baru tau, kalau rumah ini ternyata sangat indah saat malam hari." Zeline menyeletuk memuji halaman rumah Alvaro.
"Makanya saya ingin mengajakmu keluar, Karena kamu selalu kembali ke kamar setiap habis makan malam. Sesekali kami harus menikmati hal seperti ini, meski terlihat simpel tapi bisa membuat mata dan otak fresh. Jadi jangan bekerja terus," sahut Alvaro tersenyum.
Zeline juga ikut tersenyum, matanya menatap sekeliling. Menikmati keindahan tempat itu, tanpa sadar kaki Zeline menabrak sebuah batu yang memang di letakan di tempat itu sebagai hiasan di taman
"Aw!" Zeline terpekik karena kakinya menyandung baru, untung saja Alvaro sigap dan menarik tangan Zeline membuatnya tidak sampai terjatuh dan malah menabrak dada Alvaro.