Tidak ada suara dari keduanya, yang ada hanya mata yang saling menatap. Dengan bibir terkunci dan tangan Alvaro melingkar di pinggang Zeline. Keduanya seperti terpaku dengan jarak yang sangat dekat, seperti ada aliran listrik yang membuat keduanya saling terpaku. Dengan darah berdesir hangat mengalir di tubuh keduanya.
"Maaf, Tuan." Zeline akhirnya tersadar dan menjauh dari Alvaro.
"Eh, tidak apa-apa. Lain kali jalan hati-hati, kalau sampai kamu terluka apalagi tanganmu yang luka bisa bahaya. Karena tanganmu itu adalah aset berhargamu," sahut Alvaro berusaha menetralkan perasaannya.
"Iya, lain kali saya akan lebih hati-hati. Ayo kita duduk di sana saja, Tuan!" ajak Zeline dan langsung menuju ke arah bangku taman berada.
Alvaro tersenyum simpul, sambil menghembuskan pelan napasnya. Perasaan yang tadi ditimbulkan oleh jarak mereka yang dekat, sempat membuat napas Alvaro tertahan. Dia pun akhirnya melangkah mengikuti ke tempat Zeline duduk, Alvaro merasa ada yang tidak beres dengannya. Karena semakin dekat dia dengan Zeline semakin jantungnya berdetak dengan kencang, sampai-sampai Alvaro terpaksa mengusap dadanya karena debaran jantung yang berpacu cepat.
"Kamu suka tinggal di tempat ini?" tanya Alvaro seraya duduk di sisi Zeline.
"Sangat suka, Tuan. Hanya satu yang sering menganggu, dentang lonceng jam yang ada di ruang depan. Suaranya benar-benar nyaring, bahkan sampai ke kamarku benar-benar sangat nyaring suaranya." Zeline mengeluhkan dentang jam yang selalu berbunyi setiap jam.
"Benarkah sebesar itu? Kenapa aku tidak pernah mendengarnya saat di kamar ya? Apa kamu mau aku atur agar loncengnya hanya menyala di setiap pukul satu malam?" tanya Alvaro.
"Tapi kenapa di kamarku jelas banget, mungkin karena Tuan tinggal di atas dan saya di bawah jadi gemanya lebih nyaring. Tidak usah Tuan biarkan saja, dengan begitu saya jadi suka ingat dengan waktu." Zeline mencegah niat Alvaro yang ingin mengatur waktu dentang jam besarnya.
"Tapi dari semua penghuni hanya kamu yang mengeluh dengan suara dentang jam itu. Padahal semua kamar sama, saya tidak memakai peredam suara. Hanya memang karena tertutup jadi suara tidak terlalu jelas dari setiap ruangan. Mungkin saja pendengaranmu lebih sensitif dari yang lainnya," jelas Alvaro.
"Bisa jadi, Tun. Tapi ya sudahlah tidak masalah juga, meski kadang saya sering terkejut dengan suaranya. Namun, akhir-akhir ini saya sudah mulai terbiasa. Eh itu mobil siapa yang masuk?" tanua Zeline saat melihat mobil masuk ke pekarangan rumah Alvaro.
"Saya juga tidak tau, ayo kita ke sana!" ajak Alvaro.
Mereka pun berdiri lalu sama-sama berjalan menuju ke arah teras rumah besar Alvaro, mereka melihat mobil berhenti dan keluarlah Lexis dengan kondisi babak belur. Bahkan di pelipisnya ada bekas darah, sepertinya saat dia melindungi ibunya sang ayah sempet memukul kepalanya dan mengenai bagian pinggir kepalanya.
"Lexis kenapa kamu?" tanua Zeline dengan wajah cemas.
"Biasa, aku ribut dengan ayah. Kamu tau sendiri aku sering di hajatnya jika tidak memberikan uang." Lexis mengeluh dan meringis memegangi bahunya karena rasa sakit akibat pukulan ayahnya.
"Kok bisa, apa kamu tidak memberinya uang. Kenapa ayahmu tidak berubah juga?" tanya Zeline lalu menggandeng sahabatnya untuk masuk.
"Aku berniat memberinya, hanya saja aku terlanjur kesal. Karena ternyata ayah menjual perangkat komputer milikmu di ruang bawah tanah. Aku benar-benar kesal melihat kelakuan ayah, bisa-bisanya dia menjual sesuatu tanpa izin pemiliknya. Aku tidak enak denganmu, Zel. Apalagi kamu bilang masih ada berkas penting yang belum kaki salin," sesal Lexis menuturkan apa yang sudah terjadi.
"Ya ampun, jadi kamu berkelahi dengan ayahmu karena komputer-komputer itu. Harusnya kamu biarkan saja jika memang sudah di jual, kamu tidak perlu sampai seperti ini." Zeline mengomeli Lexis karena khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Mereka pun duduk di ruang tengah, Alvaro nampak bicara pada para anak buahnya.
"Tapi kan banyak data yang belum kamu salin, Zel. Ayahku benar-benar keterlaluan dan tidak tau malu," ucap Lexis kesal.
"Sudah, kamu kan tau aku bisa masuk akun penyimpananku. Nanti aku akan ambil dari komputer yang ada di sini. Harusnya kamu ingat itu dan tidak usah sampai berkelahi dengan ayahmu," sahit Eliza melihat kondisi wajah dan kepala Lexis.
Alvaro masuk setelah selesai bicara pada anak buahnya, di sempat tertegun saat melihat bagaimana Zeline sabgat perhatian pada sahabatnua itu. Alvaro pun ikut duduk di tempat itu setelah akhirnya dia bisa menguasai perasaannya.
"Kata anak buahku kami berkelahi dengan ayahmu, harusnya kamu bisa mengontrol diri. Keributan hanya akan memancing orang-orang di luar sana, seperti yang saya katakan kalian itu tidak aman di luar. Itu kenapa saya meminta anak buah saya terus menjagamu," jelas Alvaro begitu duduk.
"Pantas saja mereka langsung datang saat aku berlari keluar. Saya tidak berniat membuat keributan, Tuan. Tapi ayah saya memang begitu," sahit Lexis berkilah.
"Ya sudah, kalau begitu kalian istirahatlah dulu. Jika besok belum sanggup kerja kamu bisa libur dahulu, Zeline pasti bisa menghandle pekerjaanmu. Zeline obati dulu dia, ambil kotak p3k di sana." Alvaro menunjuk sebuah lemari yang terletak di ruangan itu.
"Saya tidak apa-apa, Tuan. Luka begini sudah biasa, malah kadang lebih parah. Zeline tau banget karena dia yang suka mengobatiku sejak dulu," sahut Lexis tersenyum menatap Zeline.
"Ye, tapi gak selamanya juga aku bisa begitu. Jadi mulai sekarang kamu harus bisa jaga diri, jangan terus-terusan terluka. Apa kamu mau setiap bertemu ayahmu babak belur," tukas Zeline kesal.
"Ya gak sih, tapi mau bagaimana lagi. Memangnya kenapa kamu gak mau perhatian dan merawatku lagi?" tanya Lexis dengan wajah sedih.
"Ya mana tau nanti aku punya pasangan dan pasanganku itu cemburuan kalau aku terus lebih memperhatikanmu. Makanya jangan selalu bergantung padaku," jawab Zeline sambil berdiri untuk mengambil kotak obat.
"Ya kalau begitu tidak usah punya pasangan, masa dia gak bisa ngerti kalau kita sahabat sejati. Jadi wajar dong kalah saling memperhatikan," protes Lexis tidak suka dengan jawaban Zeline.
"Ya mana tau, memang kita bisa memprediksi siapa pasangan kita nanti. Sudah ayo ke kamar aku obati dahulu. Tuan kami permisi dulu," pamit Zeline.
"Ya setidaknya cari yang bisa menerima persahabatan kita. Tuan saya permisi dulu," ucap Lexis ikut berpamitan.
Alvaro hanya bisa tersenyum, melihat tingkah kedua sahabat itu. Dia pun menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, otaknya berpikir keras bagaimana cara membuat Lexis dan ayahnya agar tidak selalu bertengkar. Karena khawatirnya, kelak ayahnya menyebutkan jika putranya bekerja dengannya. Bisa jadi itu akan membahayakan mereka nantinya.
"Aww! Pelan-pelan, Zel." Lexis meringis menahan sakit luka kepalanya, yang sedang diobati Zeline.
"Diam, giliran ribut gak ada sakit-sakitnya. Eh pas diobati malah teriak kesakitan," omel Zeline.
"Sudah, aku lagi sakit malah di omelin. Jan sedih jadinya," ujar Lexis.
Selesai mengobati Lexis Zeline pun keluar dari kamar Lexis. Dia pun kembali ke dalam kamarnya, ada senyum yang sulit di artikan di bibirnya. Dia sepertinya bahagia akan sesuatu, yang tidak jelas itu apa.