Teng!
"Tidak!" Zeline berteriak, lalu bangun dari tidurnya. Saat jam berdentang tepat pukul satu malam, Zeline bermimpi buruk yang membuatnya terbangun.
"Ada apa ini, kenapa mimpiku sangat menyeramkan. Apa benar aku akan mati?" tanya Zeline seraya menyeka keringat yang membasahi dahinya.
Kamar yang ber-AC, tiba-tiba terasa sangat panas saat Zeline bermimpi dirinya tewas. Entah mengapa, tiba-tiba dia memimpikan hal buruk seperti itu. Apa benar dia akan tewas, seperti apa yang dimimpikannya.
Zeline ingat, dahulu saat kedua orang tuanya tewas. Dia juga bermimpi hal yang sama, kemudian semua itu menjadi kenyataan. Itu kenapa Zeline seperti Dejavu dengan hal yang sama, itu yang membuatnya ketakutan dan merasa tertekan saat ini.
"Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk. Lagipula siapa yang mau melenyapkanku, aku ini bukan siapa-siapa kecuali seorang gadis yang bisa menggunakan komputer. Tapi di luar sana banyak yang lebih hebat dariku, jadi apa gunanya aku sampai dibunuh. Tidak-tidak, aku tidak boleh berpikir seperti itu." Zeline pun beranjak dari tempat tidurnya, dia pun langsung menenggak minumannya.
Zeline masuk ke kamar mandi, untuk mencuci mukanya. Dia tidak ingin larut dalam mimpi buruk yang belum tentu akan jadi kenyataan. Meskipun tidak mudah baginya melupakan mimpi itu, karena dia pernah mengalami hal yang sama persis.
Zeline kembali ke tempat tidurnya, dia mencoba untuk tidur kembali. Meskipun rasanya sulit, karena bayangan mimpi buruk itu seolah menari-nari di pelupuk matanya setiap dia memejamkan mata. Sampai akhirnya, setelah hampir dua jam dia terus mencoba barulah Zeline bisa memejamkan matanya.
***
"Kenapa kamu terlihat kuyu bangat, Zel?" tanya Lexis saat mereka sama-sama keluar dari kamar untuk ke ruang makan.
"Aku gak bisa tidur semalam, aku bermimpi buruk." Zeline menyahuti sambil terus melangkah menuju ruang makan.
"Memangnya kamu mimpi apa, sampai bikin kamu yang selalu cuek jadi gak bisa tidur. Apa mimpi buruk?" tanya Lexis.
"Iya, aku mimpi aku tewas di bunuh orang. Yang bikin aku tidak bisa tidur bukan masalah mimpinya, tapi mimpi itu sama persis seperti saat aku memimpikan kedua orang tuaku. Yang ternyata menjadi kenyataan, aku seperti merasa jika itu bukan mimpi tapi firasat. Apa aku benar-benar akan tewas, Lex?" tanya Zeline mengutarakan apa yang di rasakannya.
"Kamu hanya terlalu memikirkannya, sudah jangan terlalu memikirkan hal buruk. Jika kamu terlalu memikirkannya, maka bisa saja itu .alah terjadi. Jadi jangan dibawa ke dalam pikiranmu, nanti malah bikin kamu tidak berkonsentrasi bekerja." Lexis memberi nasihat pada Zeline, agar sahabatnya itu tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi.
Lexis tau jika Zeline terus memikirkannya itu bisa menggangu aktifitas kerjanya nanti, apalagi pekerjaan mereka membutuhkan konsentrasi tinggi lengah sedikit penyusup bisa masuk jaringan keamanan. Itu kenapa Lexis berusaha membuat sahabatnya tenang, meski dia sendiri akhirnya jadi ikut kepikiran.
"Iya kamu benar, ya sudah kita hampir sampai. Jangan cerita apapun pada tuan Alvaro, dia bisa-bisa semakin mengawal ketat kita. Sudah untung sekarang kita bisa sedikit bebas," ucap Zeline mengingatkan Lexis.
Ya saat ini sudah hampir setengah tahun mereka bekerja di perusahaan, akhir-akhir ini Alvaro tidak terlalu menjaga mereka dengan ketat. Mereka berdua bahkan boleh keluar jika ingin membeli kebutuhan mereka, semua bukan tanpa alasan. Tapi karena sekarang Zeline dan Alvaro sudah cukup dekat, meskipun Alvaro belum memberikan kepastian tentang kedekatan mereka. Tapi jika orang-orang memperhatikan pasti akan mengetahui jika Alvaro dan Zeline semakin dekat.
"Pagi, Tuan Alvaro. Pagi, Bang Rafael." Zeline dan Lexis menyapa sang bos dan asistennya yang sedang duduk sarapan.
"Kamu kenapa, Zel. Wajahmu nampak pucat dan lesu, apa kamu sakit? Jika sakit sebaiknya kamu tidak usah ke kantor, istirahat saja dulu di rumah." Alvaro yang melihat wajah Zeline, langsung menebak jika Zeline sedang sakit. Dia pun memintanya untuk tidak pergi bekerja, Alvaro mencemaskan kondisi Zeline.
"Saya baik-baik saja, Tuan. Saya masih bisa kok pergi bekerja," sahut Zeline menolak saran Alvaro.
"Benar temanmu baik-baik saja, Lex? Dia pasti lebih terbuka denganmu," ucap Alvaro beralih pada Lexis.
"Eh, iya Tuan. Dia bilang hanya kurang tidur karena banyak pikiran," jawab Lexis sedikit berbohong. Tanpa ada yang tau di bawah meja Zeline menyenggol kaki Lexis, karena takut sahabatnya itu keceplosan.
"Ya sudah, kalau begitu kalian sarapanlah. Besok akhir pekan kalian jangan kemana-mana, beristirahatlah di rumah." Alvaro mewanti-wanti kedua sahabat itu untuk beristirahat di rumah, karena biasanya mereka akan selalu memiliki alasan agar bisa keluar.
"Tapi, Tuan. Saya sudah janji akan pergi bersama keluarga bibi saya makan di luar, mereka pasti akan Kecewa jika sampai saya membatalkannya." Zeline memberikan alasan pada Alvaro, karena memang itu kenyataannya.
"Saya tau, tapi kamu bisa sakit jika memaksakan diri. Kamu bisa undur acaranya Minggu depan, kamu bisa berikan uang untuk mereka pergi. Saya yakin bibimu tidak akan kecewa," tegas Alvaro seolah tidak ingin di bantah.
Zeline hanya diam, dia tidak berani membantah jika Alvaro sudah bicara seperti itu. Dia tidak mau memancing kekesalan Alvaro, meski sebenarnya dia merasa kesal. Dia sudah berjanji pada sang bibi jauh-jauh hari, agar semua keluarganya bisa menyempatkan diri. Tapi karena perintah Alvaro, dia terpaksa harus dilakukan mundurkan niatnya.
Selesai makan, mereka bersiap menuju kantor. Mereka keluar bersamaan, tapi sesampainya di teras dan Alvaro sudah menaiki mobilnya. Tiba-tiba terdengar suara Lexis yang mengejutkan.
"Ya ampun! Flashdisk data yang aku susun semalam lupa dibawa. Aku ambil dulu ya, Tuan. Soalnya itu penting, harus saya gunakan hari ini. Maaf Tuan Alvaro," ucap Lexis dan langsung berlari masuk ke dalam rumah.
Zeline hanya menggelengkan kepalanya, lalu naik ke mobil menyusul Alvaro. Rafael menutup pintu mobil, dia sendiri masih berdiri di luar menunggu kedatangan Lexis.
"Kamu benar-benar baik-baik saja?" tanya Alvaro langsung memegang kening Zeline. Alvaro ingin memastikan kondisi Zeline, apa benar dia tidak sedang sakit. Zeline langsung meraih tangan Alvaro di keningnya, lalu menggenggamnya sejenak.
"Aku baik-baik saja, beneran aku cuma kurang tidur. Semalam kami mengerjakan proyek baru, jadi agak larut tidurnya." Zeline mencoba meyakinkan Alvaro, dia pun tersenyum agar Alvaro percaya.
"Pokoknya kalau kamu merasa tidak enak badan, kamu harus bilang padaku. Aku tidak mau kamu kenapa-napa," tegas Alvaro lalu menarik tangan Zeline dan mengecupnya.
"Iya-iya, terima kasih karena sudah memperhatikanku." Zeline tersenyum bahagia, karena Alvaro sangat memperhatikannya sekarang.
Tak lama terdengar suara langkah cepat, ternyata Lexis sudah kembali. Zeline segera menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman Alvaro. Dia tidak ingin Lexis berpikir macam-macam, karena dia belum memberitahu Lexis tentang kedekatan mereka.