Sepulang jam kantor, Lexis terlihat senyum-senyum bahagia. Bagaimana tidak, dia akhirnya mendapat ijin pulang setelah sebulan lamanya. Padahal meski selama ini dia kesal pada ayahnya, dia tetap berada di rumah setiap saat. Setidaknya ada ibu dan adik-adiknya yang membuatnya bersemangat. Berbeda dengan sang ayah yang hanya selalu bertengkar dengannya. Yang bahkan sering membuatnya bertengkar hebat, sampai memukulinya.
"Seneng banget yang mau pulang ke rumah," ucap Zeline saat mereka menunggu lift terbuka.
"Iya dong, aku juga sekalian mau cek komputer kita. Takutnya nanti malah rusak gak pernah di nyalakan, kamu gak mau nitip uang buat bibimu?" tanya Lexis.
"Hahaha, kamu hidup di jaman apa pake titip segala. Kan sudah ada internet banking, jadi tinggal kirim aja uangnya. Iya kamu cek gih, sayang komputer itu bukti perjuangan kita. Ada beberapa data yang belum aku pindah juga ke flashdisk. Karena kita pergi juga dadakan aku lupa," jelas Zeline.
"Ya sudah, nanti aku bantuin periksa deh. Iya aku tau ada, aku pikir bibi kamu gak punya rekening. Kalau ada mah bagus," sahut Lexis sedikit kesal karena merasa diremehkan.
"Idih langsung manyun aja, ada kok bibi sudah aku buatin sejak lama. Karena aku memang lebih sering kirim uang kalau lagi punya uang dan gak pulang," ucap Zeline. Pintu lift pun terbuka. mereka langsung masuk, Zeline menekan tombol langsung ke basemen. Karena memang mereka biasanya saling menunggu dengan Alvaro di basemen.
Sesampainya mereka di basemen, belum ada bayangan Varro. Mereka pun tidak melihat keberadaan Varro di dalam mobil yang di parkir di dekat pintu lift. Tapi anak buah Alvaro sudah berjejer, menunggu sang bos yang biasanya turun di pukul segitu.
"Tuan Varro belum turun ya, bang?" tanya Zeline pada salah satu anak buah Alvaro.
"Iya belum, Non. Sepertinya sebentar lagi," sahut anak buah Varro sambil melirik floor indicator.
"Eh, iya sepertinya sudah mau turun." Zeline pun bersandar pada mobil, diikuti oleh Lexis.
Tak lama Alvaro dan Lexis benar-benar keluar dari dalam lift, semua anak buahnya menunduk hormat. Sebelum pergi Alvaro meminta anak buahnya mengantarkan Lexis untuk pulang. Lexis pun berpamitan, Alvaro kembali berpesan padanya.
"Ingat jangan kemana-mana, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu jika tidak berada dalam jangkauanku. Jadi sebaiknya kamu waspada," pesan Alvaro.
"Baik, Tuan. Saya tidak akan kemana-mana, saya akan langsung pulang dan di rumah saja. Besok saya akan langsung ke kantor, kalau begitu saya pergi dulu." Lexis berpamitan, lalu melakukan tos dengan Lexis sebelum mereka naik mobil yang berbeda.
Mereka pun langsung meninggalkan basemen, sebelum akhirnya mereka langsung menuju ke tempat tujuan masing-masing. Sepanjang perjalanan, Lexis terlihat sangat senang. Karena akhirnya bisa kembali ke rumah, sebelum sampai di tujuan. Lexis meminta orang-orang Alvaro mengantarnya ke mesin ATM, agar dia bisa membawa uang cash untuk ibunya. Lexis bahkan langsung memisahkan uang untuk ayahnya juga untuk ibunya.
Akhirnya setelah satu jam perjalanan mereka sampai di tujuan, Lexis langsung berpamitan dan turun. Saat Lexis masuk, ternyata anak buah Alvaro mendapatkan pesan dari Alvaro langsung. Lexis berlari menuju rumahnya, di mengetuk pintu dan tak lama keluar seorang wanita paruh baya.
"Ibu, apa kabarnya." Lexis langsung memeluk ibunya dan menanyakan kabar.
"Ibu baik, Nak. Kami sendiri apa kabar, bagaimana pekerjaannya apakah lancar?" tanya ibu.
"Iya, Bu. Ibu masak apa Lexis rindu masakan ibu. Oh ya ayah kemana, Bu?" tanya Lexis.
"Ibu cuma masak, makanan sederhana. Ibu gak tau kamu akan pulang kalau tau pasti ibu akan masakin kamu makanan enak. Ayahmu belum pulang mungkin jam makan malam di akan pulang. ya sudah kamu istirahat saja dulu, biar ibu masakan makanan kesukaanmu." Ibu Lexis meminta putranya untuk ke kamarnya saat dia akan memasak untuknya.
"Tunggu Bu, ini untuk ibu gaji pertama Lexis. Tapi simpan yang baik biat tidak di minta ayah, Lexis sudah sisihkan uang untuk ayah nanti. Supaya beliau senang dan tidak marah-marah terus," ucap Lexis menyodorkan setumpuk uang sebelum ibunya pergi.
"Loh banyak sekali ini, Nak. Ibu memang lakukan itu saat kamu beri uang kemarin, ibu hemat-hematin supaya cukup. Ibu takutnya kamu belum bisa pulang, tapi nak karena tidak ibu beri uang ayahmu jadi menjual barang milikmu." Sang ibu takut-takut saat menjelaskan apa yang terjadi, ada rasa bersalah karena tidak bisa merawat barang anaknya.
"Lexis pasti pulang, Bu. Andai pun tidak bisa pulang Lexis akan kirim uang ke rekening ibu, memangnya barang apa yang ayah jual, Bu?" tanya Lexis.
"Anu, Nak. Barangmu dan Zeline yang ada di ruang bawah tanah," jawab sang ibu.
"Apa, Bu? Apa ayah menjual komputer kami? Itu bukan milik Lexis Bu, itu milik Zeline. Bagaimana caranya Lexis bicara pada Zeline, apalagi Zeline bilang ada data penting yang belum sempat di salin. Ayah benar-benar gila," ucap Lexis kesal dan langsung berlari menuju ruang bawah tanah.
"Maafkan ibu, Nak." Terdengar suara ibunya sayup-sayup, saat Lexis berlari ke ruang bawah tanah.
Saat sampai di sana, Lexis benar-benar tertegun. Tidak ada yang di tinggalkan sang ayah, Lexis hanya bisa meraba meja kosong. Meja di mana penuh kenangan, tempat dia dan Zeline selalu bersama. Kini semua kenangan itu sudah di jual sang ayah.
"Akhhhhh! Brengsek, dasar pria tidak tau malu. Bisa-bisanya dia menjual milik orang lain, sudah tidak berguna sebagai ayah. Sekarang malah berani mencuri barang orang lain!" teriak Lexis histeris karena kesal akan perbuatan ayahnya.
Setelah puas meluapkan kekesalannya, Lexis pun beranjak meninggalkan tempat itu dengan langkah Gibran. Lexis kembali ke dalam rumah, lalu mencari ibunya di dapur.
"Kapan pria itu menjual barang-barangku, Bu?" tanya Lexis lemah.
"Sudah dua Minggu yang lalu, maafkan ibu ya Nak. Ibu harusnya bisa mencegah ayahmu," sahut sang ibu dengan wajah menyesal.
"Tidak Bu, ini bukan salah Ibu Lexis tau apa yang akan terjadi kalau ibu melarangnya, dia pasti akan menyiksa Ibu. Bajingan itu memang brengsek dan tidak berguna, sudah tidak mencari nafkah malah menjual barang orang." Lexis benar-benar kesal, tapi percuma untuk kesal saat ini. Ayahnya tidak ada di sana, Lexis akan bicara pada ayahnya nanti.
Lexis berniat menebus kembali komputer itu, tapi entah apakah masih ada barang itu di tempat ayahnya menjualnya. Lexis berpikir akan bertanya nanti saja, jika ayahnya sudah pulang. Karena sudah jelas ibunya tidak akan tau apa-apa.
Lexis berjalan menuju kamarnya, wajahnya benar-benar seperti seseorang yang kehilangan semangat. Niat pulang untuk senang, malah harus kecewa dengan kenyataan.