"Terima kasih, Tuan Rafael. Hari ini kami sudah merepotkan," ucap Zeline saat mereka hendak berpisah dan dua sahabat itu akan kembali ke kamar mereka.
"Jangan panggil saya seperti itu, Nona. Panggil saja nama saya atau asisten Rafael, karena kita sama-sama pekerja tuan Alvaro.
"Kalau begitu jangan panggil saya nona juga, panggil kami berdua dengan nama saja. Atau saya panggil Bang Rafael saja?" tanya Zeline.
"Terserah Anda, sebenarnya berat untuk memanggil nama saja. Tapi jika itu yang membuat Anda berdua nyaman tidak masalah," sahut Rafael akhirnya.
"Ya sudah kalau begitu kami permisi ke kamar dulu, terima kasih Bang Rafael." Zeline pun berpamitan, lalu hendak berbalik.
"Oh ya, jadwal makan malam pukul delapan malam. Anda berdua langsung ke ruang makan saja nanti," pesan Rafael sebelum mereka berpisah.
"Oke sip," jawab Zeline singkat.
Mereka pun langsung berpisah dan menuju kamarnya, sementara Rafael kembali ke ruang kerja tuannya untuk memberikan kabar jika dua orang itu sudah berada di kamar mereka masing-masing. Sementara dua Sahabat itu berjalan dengan riang menuju kamar mereka.
"Aku senang banget bisa dapet kamar sendiri, apalagi sampai ada peralatan komputer lengkap. Tapi ngomong-ngomong kenapa tuan Alvaro tidak menyambut kita lagi," ucap Lexis heran.
"Duh, sudah syukur kita di antar dan di layani Ama asistennya. Jangan berharap terlalu tinggi untuk selalu di sambut oleh tuan Alvaro, dia itu orang penting dan kita ini hanya pekerjanya. Jadi jangan merasa akan diistimewakan," sahut Zeline mengingatkan sahabatnya itu.
"Iya deh iya, aku pikir setidaknya akan di sambut kembali. Jika tidak juga tidak masalah, yang penting kita sudah ada pekerjaan tetap dan dengan gaji besar. Aku sangat senang kali ini," ujar Lexis.
"Sudah jangan bicara terus, masuk sana ke kamarmu aku mau mandi dulu. Setelah itu aku akan bermain komputer sebentar," ucap Zeline dan langsung berjalan menuju kamarnya.
"Selamat bersenang-senang, Sister." Lexis terkekeh lalu masuk ke dalam kamarnya, hatinya sangat senang hari ini.
Rafael mengetuk pintu ruang kerja Alvaro, terdengar sahutan dari dalam yang memintanya masuk. Rafael masuk dan melihat Alvaro sibuk dengan laptopnya, bahkan dia tidak menoleh saat asistennya itu masuk. Rafael pun mendekati untuk melaporkan apa yang sudah dikerjakannya.
"Tuan, mereka sudah berada di kamarnya masing-masing. Mereka nampak senang dengan fasilitas yang Anda persiapkan," ucap Rafael melapor. Alvaro pun menghentikan langkahnya, lalu menatap Rafael.
"Ya sudah, kalau mereka sudah di sini. Kamu istirahatlah sebentar sebelum kita makan malam, besok kita masih harus mengantarkan mereka untuk membelikan perlengkapan mereka. Saya berniat untuk mengajak mereka mempir di kantor sebentar sebelum mereka mulai bekerja lusa." Varro menyampaikan rencananya pada Rafael dan menyuruh Rafael istirahat lebih dulu.
"Baiklah, Tuan. Jika begitu saya akan ke kamar lebih dulu," Rafael pun pamit untuk ke kamarnya.
Setelah Rafael pergi, Alvaro beranjak dari duduknya. Dia menuju sebuah rak buku lalu menggerakkan salah satu buku, seketika rak itu bergeser. Tidak seperti bayangan, jika di sana akan ada sebuah ruangan. Karena ternyata itu Salah sebuah pintu sebuah lift, Alvaro pun masuk lalu memencet tombol. Pintu lift tertutup, rak pun kembali ke tempatnya semula. Lift yang di naiki Alvaro bukan menuju ke lantai atau tapi menuju ke bawah yang artinya menuju ruang bawah tanah karena ruang kerjanya berada di lantai satu rumah itu.
Alvaro akhirnya sampai di sebuah ruangan yang sangat luas, terlihat jelas di sana peralatan komputer kuantum yang sangat modern. Tempat itu benar-benar terlihat sebagai ruangan dengan tekhnologi mutakhir. Bahkan Alvaro hanya menggunakan suaranya untuk meminta data-data. Setelah memerintah komputernya, Alvaro duduk di sebuah kursi. Diruangan itu yang dindingnya tiba-tiba berubah seolah-olah Alvaro sedang berada di sebuah bukit dengan pemandangan indah.
Sebuah teknologi yang menciptakan Virtual reality, yang mampu membuat ruangan itu seolah-olah sebuah tempat yang diinginkan Alvaro. Bahkan suara cicit burung terdengar di sana, semua benar-benar terlihat nyata. Varro menggunakan sebuah alat untuk diletakan di kepalanya. Dia bekerja melalukan sesuatu tanpa harus melihat dan memegang peralatan canggih itu. Semua yang di pikirkannya akan bisa dideteksi alat tersebut dan bekerja sesuai apa yang Varro inginkan.
"Selesai," gumam Alvaro seraya membuka alat di kepalanya. Dia pun beranjak dari kursi yang ada di tengah ruangan, untuk kembali berjalan menuju lift.
"Kembali seperti semula," ucap Alvaro. Hanya dengan perkataan singkatnya, ruangan itu kembali menjadi tembok yang terlihat suram. Semua alat-alat yang tidak di perlukan mati dengan sendirinya. Hanya tinggal beberapa alat pusat yang tetap menyala.
Alvaro kembali menuju lift, kaku memencet salah satu tombol lagi. Kali ini Alvaro tidak kembali ke ruang kerjanya, melainkan langsung menuju ke kamarnya. Dia pun melangkah keluar lift lalu memencet sebuah tombol, yang membuat sebuah rak kembali menutupi pintu lift tersebut.
"Akhhh, rasanya sangat lelah. Aku harus berendam sejenak sebelum makan malam," ucap Alvaro sambil merenggangkan kedua lengannya.
Alvaro langsung masuk ke dalam kamar mandi, lalu menyalakan air bathtub. Sambil menunggu air di sana penuh, Alvaro keluar setelah mengganti pakaiannya dengan bathrobe. Dia masuk kembali ke kamarnya, lalu melihat ke arah pintu balkon. Terlihat langit sudah gelap. Alvaro langsung menutup tirai pintu balkonnya, lalu dia pun kembali ke kamar mandi.
Tepat pukul delapan kurang lima menit, Alvaro keluar dari kamarnya dengan menggunakan pintu biasa. Dia turun melalui tangga menuju lantai bawah rumahnya, Alvaro langsung menuju ruang makan. Ternyata sudah ada Rafael di sana, yang langsung menyambutnya dengan hormat.
"Mereka belum kemari? Apa kamu sudah bilang jam malam malam pukul berapa?" tanya Alvaro.
"Iya, Tuan. Saya sudah mengatakannya pada me ...."
"Maaf Tuan, kamu terlambat dua menit." Zeline dan Lexis datang sambil tergopoh-gopoh, memotong ucapan Rafael.
"Sudah tidak apa-apa, silahkan duduk dan nikmati makanan kalian." Alvaro meminta mereka duduk, kepala pelayan langsung meladeni tuannya. Sementara yang lain seperti tadi siang, karena mereka tidak suka makan di layani.
"Bagaimana, apakah kamar kalian nyaman?" tanya Alvaro berbasa-basi.
"Sangat nyaman, bahkan kami terlambat karena asik dengan komputernya. Ternyata di sana sudah banyak data yang tersimpan, untung saja saya mudah memahaminya. Jadi bisa mengoperasikannya meski tidak di beri petunjuk," jelas Zeline dengan senyum sumringahnya.
"Syukurlah kalau kalian suka dan mudah memahaminya, karena saya meminta agar semua sistem komputer kalian di takutkan dengan yang berada di kantor. Agar kalian tidak terlalu kesulitan," ucap Alvaro.
"Oh pantas saja," sahut Zeline tersenyum.
Mereka pun menikmati makan malam, sebelum kembali ke kamar mereka untuk beristirahat. Alvaro berpesan agar mereka langsung beristirahat, karena besok masih ada banyak hal yang harus mereka lakukan. Itu alasan Alvaro menjadwalkan makan malam di jam yang cukup malam, agar mereka bisa langsung beristirahat setelahnya.