"Bi, aku pergi dulu!" teriak Zeline.
"Kamu tuh ya, kalau tidak teriak kerongkongmu sakit? Hah!" omel bibi Zeline yang bergegas keluar dari dapur lalu memukul lengan Zeline.
"Hehehe, kan bibi di dapur. Takutnya bibi gak dengar," kilah Zeline beralasan.
"Alasan saja kamu tuh, kamu kira ini rumah sebesar lapangan bola sampe kamu manggil gak dengar. Ingat di tempat orang jangan seperti itu, kamu tuh anak perawan. Mana ada laki-laki yang mau mendekatimu kalau kamu begitu," gerutu bibi Zeline.
"Ya ampun, kejauhan Bi ngomelnya. Lagian siapa juga yang mau nikah, bila perlu dicoret tuh dari daftar kebutuhan hidup." Zeline terus menjawab saat bibinya mengomelinya.
"Udah! Makin pusing bibi denganmu, sudah sana pergi."
"Iya Bi, jaga kesehatan, duit jangan boros-boros bulan depan baru gajian." Zeline mengingatkan sang bibi sambil menyengir.
"Udah sana pergi, tidsk usah ngajarin orang tua." Bibi mendelikan matanya, Zelin pun langsung keluar dari rumah.
Dengan sebuah tas ransel yang bertengger di bahunya, Zelin melangkah menuju rumah Lexis. Dengan bibir yang mendendangkan lagu yang tidak jelas baik nada maupun liriknya. Zeline pun akhirnya sampai di depan rumah Lexis, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Lexis.
"Kamu udah siap? Aku di depan rumahmu nih," ucap Zeline saat Lexis mengangkat panggilannya.
"Tunggu sebentar aku pamit sama ibu dulu, memangnya sudah datang jemputannya?" tanya Lexis.
"Sepertinya belum, udah keluar saja aku sendirian kayak orang bodoh." Zeline menggegas Lexis lalu langsung mematikan panggilannya.
"Heran banget, suka nanya terus. Keluar aja kek langsung. Nih lagi katanya pukul segini mau dijemput, bayangannya saja gak kelihatan." Zeline menggerutu seraya matanya melihat kesana-kemari, tidak ada satu mobil pun yang lewat atau terparkir di sana.
Zeline Mondar-mandir dengan kesalnya, Lexis belum juga keluar. Mobil yang menjemput mereka pun belum menampakkan batang hidungnya. Zeline menggerutu kesal, karena sahabatnya yang suka lamban melebihi perempuan itu.
"Dar!" suara nyaring Lexis mengagetkan Zeline.
"An ... Kamu tuh ya, mau aku hajar beneran? Sudah lamban datang-datang bikin orang jantungan.
"Hehehe, maaf. Gitu aja ...."
Citt!
Terdengar suara mobil yang mengerem mendadak di depan keduanya, membuat Lexis menghentikan ucapannya. Zeline sedikit heran, bagaimana mobil itu tiba-tiba datang dan berhenti di sana dalam waktu singkat. Sedangkan sejak tadi dia tidak melihat mobil seperti itu yang terparkir di dekat sana.
"Silahkan masuk Nona Zeline," ucap Rafael. Zeline pun langsung naik ke mobil, tapi Lexis hanya diam saja terpaku.
"Ayo naik Lexis!" ajak Zeline.
"Orang kamu aja yang di suruh masuk, aku gak di persilahkan. Memang begini kalau gak dianggap ya," tertutup Lexis merajuk karena Rafael hanya menyebut Zeline.
"Maaf, silahkan masuk tuan Lexis." Rafael menunduk hormat seraya menggerakkan tangannya mempersilahkan Lexis masuk ke mobil.
"Nah gitu dong," ucap Lexis seraya tersenyum puas.
Plak!
"Aw! Kenapa kamu memukulku?" tanya Lexis menatap Zeline.
"Gayamu itu loh, pake gak mau naik segala sebelum di persilahkan. Biasanya juga kamu suka nyelonong masuk," omel Zeline.
"Hehehe, kan itu berbeda konteksnya. Kalau sekarang gak di persilahkan rasanya seperti tak dianggap," kilah Lexis beralasan.
"Duh gayamu," ucap Zeline dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Mobil pun melaju meninggalkan tempat di mana Zeline dan Lexis menunggu, dua sahabat itu kini pergi menuju kehidupan yang lebih baik. Ya lebih baik, karena mereka akan memiliki pekerjaan tetap. Mereka tidak akan lagi melakukan pekerjaan yang melanggar hukum, dengan mengambil uang milik penguasa.
Sesampainya di rumah Alvaro, mereka berdua langsung diantar menuju kamar mereka masing-masing. Melihat kamarnya, kedua sahabat itu sampai melongo heran. Bukan hanya karena kamar itu berukuran luas, tapi juga peralatan komputer modern yang sudah disediakan di sana.
"Ini benar kamar, Saya? Cepat banget disiapin peralatan komputernya, aku pikir butuh beberapa waktu." Zeline benar-benar mengagumi Alvaro, yang tidak setengah-setengah dalam memfasilitasi kebutuhan pegawainya.
"Karena kami punya tim sendiri, jadi semuanya bisa dikerjakan secara cepat. Tapi untuk keperluan pribadi kalian kami belum bisa sediakan, kalian akan mempersiapkannya sendiri. Jadi besok kalian akan kami ajak untuk membeli sendiri, setelah itu kita bisa mampir ke kantor untuk melihat-lihat sebelum kalian mulai bekerja." Rafael menjelaskan pada Zeline, tentang apa yang akan mereka lakukan.
"Baiklah, tapi alat mandi gak menunggu sampai besok kan? Apa sudah ada di kamar mandi?" tanya Zeline.
"Tidak, semua sudah ada di gudang. Ayo saya akan ajak kalian ke sana, untuk memilih sendiri produk apa yang biasa kalian pakai!" ajak Rafael.
"Oh oke, aku taruh tas dulu." Zeline pun melempar tasnya dan hendak keluar dari kamarnya.
Zeline pun langsung keluar mengikuti Rafael, mereka pun langsung menjemput Lexis yang ada di kamar sebelah kamar Zeline. Agar bisa sama-sama menuju gudang, di mana tersedia semu stok barang keperluan sehari-hari.
"Wah, aku gak nyangka bisa punya komputer canggihku sendiri di kamar, Zel. Rasanya dunia jadi milikku," ucap Lexis sumringah.
Plak!
"Aw! Apaan sih kamu seneng banget mukulin aku sekarang," gerutu Lexis karena Zeline memukul bahunya lagi.
"Habis pede banget kamu bilang itu komputer
sendiri, itu semua milik tuan Alvaro jadi jaga dengan baik." Zeline memberikan alasan kenapa memukul Lexis.
"Ya itu maksudnya, tapi kan karena ada di dalam kamarku bolehlah aku menganggapnya seperti milik sendiri. Kamu gak bisa lihat temen happy," gerutu Lexis.
"Tapi tetap saja itu milik orang, jadi pergunakan dengan baik. Jangan coba-coba menghack apapun dari sana, kamu mau di lacak? Dan kalau sampai ketahuan maka nama tuan Alvaro yang akan rusak," sahut Zeline mengingatkan sahabatnya.
Bukan tanpa alasan Zelin berkata begitu, mengingat bagaimana Lexis suka melakukan hal-hal sembarang tanpa berpikir akibatnya. Zeline tidak mau jika sampai nama Alvaro rusak jika mereka salah langkah.
"Yailah, kamu kira aku gila. Mana mungkin aku berani begitu, aku juga tau kok." Lexis masih kesal dengan sikap Zeline padanya.
"Bagus deh kalau nyadar," sahut Zeline santai.
Mereka pun masuk ke dalam gudang penyimpanan, Rafael mempersilahkan mereka memilih sendiri. Tempat itu hampir mirip mini market, semua kebutuhan rumah tangga ada di sana. Mungkin supaya para pekerjanya tidak perlu sering keluar berbelanja.
"Waw, benar-benar luar biasa. Aku pikir tadi ini mini market, semua mereka ada di sini. Mana yang kualitas bagus semua lagi," celetuk Lexis dan langsung masuk memilih apa yang di butuhkannya.
Rafael hanya tersenyum kecil saat mendengar apa yang keluar dari mulut lexis. Alvaro menunggu di ambang pintu, sampai kedua orang itu selesai memiliki. Mulai dari sabun, shampo, pasta gigi, sampai parfum tersedia di sana. Mereka pun langsung memilih dan kembali keluar dari tempat itu.