Selama makan siang, Nakula tidak banyak bicara. Dia seperti benar-benar kelaparan. Bibirnya penuh dengan saos pasta. Sampai Jane gelisah sendiri.
Setelah menimbang-nimbang, Jane mengambil tisu dan mengelap mulut Nakula. Pemuda itu terdiam. Dia memangsa Jane yang dengan telaten membersihkan pinggir bibirnya.
"Maaf jadi kurang nyaman. Wajahmu kotor sekali," ucap Jane.
Nakula hanya tersenyum kecil, lantas menyantap lagi makanan di depannya. Melihat perhatian Jane tersebut, terbesit ide iseng dalam otaknya.
Nakula makan dengan begitu cepat. Sama seperti tadi, saos pasta berhasil membuat mulutnya berantakan kembali.
Jane yang melihat, dengan refleks mengelap bibir Nakula.
"Sudah deh Nakula, jangan sengaja begitu. Kalau masih terus, aku tinggal benar nih," protes Jane yang diakhiri ancaman.
"Yah ketahuan," ucap Nakula dengan senyum manisnya.
"Ck. Kau ini ya dasar. Jangan aneh-aneh deh."
Nakula selesai makan lebih dulu. Dia tinggal menyesap minuman yang sudah tersaji sejak tadi. Sambil menunggu Jane, dia membuka ponsel yang sejak tadi bergetar.
Nakula : "Halo Nadine."
Nadine : "Hai Nakula. Aku mengganggumu?"
Perempuan di seberang line mengenakan pakaian tidur bergambar hello Kitty. Terlihat imut, berbanding terbalik dengan wajah tegasnya.
Nakula : "Tidak, aku baru saja selesai makan siang. Di sana masih malam?"
Nadine terlihat menggelengkan kepala. Dia berjalan ke arah tirai dan membukanya.
Nadine : "Sudah pukul sembilan pagi. Masih sedikit gelap di luar. Ini aku baru bangun. Eugene bahkan masih minta diselimuti."
Nakula tertawa. Dia melihat wajah lucu Eugene. Seluruh tubuhnya terbalut selimut tebal. Terlihat sekali jika udara begitu rendah.
Nakula : "Ah lucu sekali. Kangen aku. Salam untuknya ya."
Tawa renyah terdengar dari bibir Nadine. Dia tersenyum untuk menyampaikan salam dari Nakula.
Nadine : "Denganku kau tidak rindu juga?"
Nadine mengedipkan sebelah matanya. Begitu sengaja menggoda pemuda yang ada di seberang sana.
Nakula : "Ah aku juga merindukanmu."
Setelah mengatakan hal itu, Nakula memandang Jane yang terlihat menunduk. Bahkan makanan yang masih tersisa banyak tidak semangat dia santap lagi.
Nadine : "Wah aku harus cuti untuk mengunjungi kau kalau begitu. Billionaire baru tentu tidak memiliki banyak waktu."
Nadine begitu ceria mendengar Nakula merindukannya. Siapa yang tidak senang, telah diberikan rindu yang dalam oleh pemuda bertalenta dan kaya sepertinya.
Nakula : "Aku tunggu ya."
Nadine : " Oke Nakula. Aku mau buat sarapan dulu. Eugene pasti lapar jika bangun nanti. Bye ... bye."
Nakula mematikan ponsel. Dia menyimpan ke dalam saku. Senyum masih terbit di bibirnya. Terlihat sekali dia senang diberikan kabar oleh perempuan tadi.
"Ehem. Aku sudah selesai makan. Ayo kembali," ucap Jane akhirnya.
"Oh ya? Kau baru menghabiskan setengah pasta Jane. Kau mau mati kelaparan setelah ini?" protes Nakula yang tidak terima dengan gaya makan Jane.
"Loh kok mengatur. Aku yang sudah kenyang kok."
Nakula mendesah. Terlihat suasana hati Jane tidak sedang baik. Perempuan itu bahkan sudah berdiri. Bersiap meninggalkan area restoran.
"Oke Jane tunggu sebentar. Aku bayar dulu."
Nakula buru-buru meminta bill kepada pelayan. Melihat sejumlah nominal, dia mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan. Pelayan mengucap banyak terima kasih dan pergi kembali.
"Jane. Ada apa?"
Nakula susah payah menyusul Jane. Perempuan itu tinggal satu langkah lagi menuju ke mobil mereka.
"Tidak apa-apa. Aku hanya mau segera kembali. Pekerjaanku masih begitu banyak Nakula. Aku baru tiga hari di sini. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Belum lagi kau menuntut setiap hari diberikan laporan keuangan. Itu tidak mudah, bukan?"
Jane seperti mengeluarkan keluh kesahnya. Tapi meski telah keluar, dia berpikir masih ada yang kurang dengan hal itu. Ada yang belum sepenuhnya di sampaikan kepada Nakula.
"Baiklah. Ayo kembali, tidak perlu marah-marah. Nanti wajahmu terlihat tua. Kalau kau tua masuk penjara."
"Kenapa masuk penjara?" tanya Jane yang heran dengan ucapan Nakula.
"Iya, kalau sudah tua mana bisa lari lagi dari hatiku."
Jane membuang pandangan ke arah jendela. Sudah serius ditunggu jawaban Nakula masih sama-sama menyebalkan. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nakula.
"Sudah tidak perlu main-main, cepat jalan."
Jane tanpa sengaja meminta Nakula menjalankan mobil. Sudah seperti sopirnya saja.
"Siap Nyonya. Mulai besok pergi dan pulang kerja denganku ya," ucap Nakula.
Sama seperti bos kebanyakan. Perkataan Nakula juga tidak mau dibantah. Dia ingin Jane mau mengikuti keinginannya.
"Loh apa urusannya denganmu. Kenapa pula aku harus menurut?" Jane tentu saja tidak terima dengan permintaan Nakula barusan. Mana mungkin dia bisa sesantai itu pulang dan pergi dengan Nakula yang belum jelas statusnya.
"Ya ini perintah. Aku harap kau tidak membantah. Lagi pula, bisa lebih hemat kan kalau aku antar. Kau tidak perlu juga merasakan godaan dari sopir taksi."
"Iya, tapi kau yang menggodaku."
Nakula terkekeh dengan jawaban Jane seakan sudah paham dengan apa yang ingin Nakula lakukan terhadapnya.
"Ya kalau aku kan wajar. Namanya juga sedang usaha."
Nakula mengangkat alisnya tinggi. Terkesan menggoda Jane yang wajahnya mulai memerah.
"Kau bukannya sudah punya anak dan istri. Untuk apa menggodaku?" ucap Jane yang menunjukkan raut begitu kesal.
Dia langsung mengutuk dirinya sendiri. Untuk apa sampai membahas hal tersebut. Pasti Nakula akan berpikir macam-macam terhadapnya.
"Kata siapa aku sudah punya anak dan istri. Menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah."
Nakula menjawab Jane dengan begitu santai. Meski mengatakan dengan begitu, dia tetap tidak menjelaskan apa yang dirasa Jane itu hanya sebuah kekhawatiran semata.
"Ck, siapa yang menuduh. Aku kan hanya bertanya. Kau kira siapa kau sampai harus aku fitnah. Ada untungnya juga tidak untukku."
Nakula menghentikan mesin mobil. Jane melihat ke sekeliling dan begitu sepi. Dia benar-benar tidak mengenali jalanan ini juga. Seketika rasa cemas membalut ke seluruh tubuhnya.
Tangan Nakula sudah mengambil pergelaran tangannya. Menyatukan dalam setiap jari-jemari milik Jane.
"Tidak ada untung dan rugi. Kali-kali saja kau memang ingin memfitnahku, ya kan?" ucap Nakula lembut.
"Apa sih Nakula. Lepaskan tangannya. Lalu untuk apa juga kau berhenti. Ayo cepat jalan, kita bisa terlambat ke kantor."
Nakula tidak mempedulikan ucapan Jane. Matanya mulai berkabut memandang wajah Jane yang panik. Tanpa sadar dia memajukan wajahnya.
"Em Nakula. Mundurkan wajahmu. Aku tidak mau kau seperti ini terus. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
Jane menahan dada Nakula dengan kedua tangannya. Dia panik saat sebelah tangan Nakula menyelipkan anak rambut ke telinga Jane.
"Memangnya aku mau kalau kita tidak memiliki hubungan lagi?" tanya Nakula dengan begitu pelan.
Seluruh sendi Jane terasa begitu ngilu. Dia seperti tidak mengenali Nakula lagi. Pemuda ini terasa lain di matanya. Raut wajahnya kosong. Jane tidak mau hal buruk terjadi pada mereka.
"Nakula, please jangan seperti ini. Ayo kembali."
***