Jane membolak-balikkan tubuhnya. Dia tidak bisa tertidur malam ini. Bagaimana akan tidur kalau sofa di kamarnya terdapat Nakula yang sudah berbaring dengan gayanya yang cool.
"Kau gelisah sekali. Mau dipeluk?" tanya Nakula yang masih dengan posisi yang sama.
"Eh, enak saja. Jangan macam-macam kau. Sudah seharusnya kau tidur di luar saja. Untuk apa di sini segala sih," ucap Jane bersungut-sungut.
Nakula bangkit dari tidurnya. Dia berjalan mendekat ke arah ranjang Jane. Langsung masuk ke dalam selimut.
"Aku kedinginan tahu Jane. Kau tidak kasihan terhadapku?"
Nakula tanpa acuh memeluk Jane. Merasa ke hangatan lebih dari perempuan yang begitu dia rindukan. Terasa nyaman, dan membuat tubuh mengantuk.
"Nakula jangan seperti ini. Kau membuatku—"
Dengkuran halus dari bibir Nakula terdengar. Jane tidak tega untuk membangunkannya kembali. Yang bisa dia lakukan hanya membalas pelukan Nakula sepanjang malam.
***
Bau masakan begitu kuat terdengar. Nakula yang merasa badannya lebih fresh pagi ini, terbangun dan menyadari tidak ada Jane di sebelahnya.
Teringat betapa dia mencuri kesempatan untuk tidur bersama Jane. Untung saja Jane tidak menolaknya.
"Dia pasti sudah masak sepagi ini."
Nakula berjalan ke arah dapur. Terlihat Jane sedang menuangkan masakannya ke dalam mangkok.
"Pagi Jane," ucap Nakula sambil memeluknya dari arah belakang.
"Pagi Nakula. Hujan sepanjang malam dilanjut pagi. Aku buat sup ayam saja ya. Sekaligus menghangatkan badan."
Nakula mengangguk saja. Dia tidak protes atas apa yang dimasak Jane untuknya. Bisa menikmati masakannya saja, dia begitu bersyukur.
"Makanlah, aku mandi dulu."
Nakula mencekal pergelangan tangan Jane. "Makan saja dulu. Sekalian menemani aku. Baru kita mandi," ucap Nakula.
"Ck. Kau jangan banyak modus Nakula. Aku ingin mandi dulu, badanku begitu lengket."
Nakula menggeleng. Dia bukan seseorang yang mau saja dibantah.
Dengan begitu terpaksa Jane duduk di samping Nakula. Dia memakan masakannya sendiri. Perutnya Menghangat, terlebih Nakula menyantap supnya begitu lahap. Betul-betul seperti orang yang tengah kelaparan.
"Di panci masih ada. Apa kau mau lagi?" tanya Jane.
"Boleh, berikan padaku."
Jane tersenyum senang. Dia suka sekali jika masakannya menjadi primadona. Kalau di rumah, hanya kakaknya saja yang suka. Ayahnya jarang mau menyentuh masakannya. Melirik saja dia terkadang enggan.
"Terima kasih."
Jane tersenyum lagi. Sepagi ini mendapat apresiasi tentu membuat harinya lebih berwarna. Apa lagi yang melakukan itu Nakula. Orang yang sempat dia tuduh sebagai belahan jiwanya.
"Aku kekenyangan. Kau mandi saja dulu ya. Aku menyusul."
Nakula berkata seperti suami Jane saja. Tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Padahal sudah memiliki istri. Begitu kata Jane dalam hati.
"Halo. Apa kau sudah di bandara?" ucap Nakula dari sambungan telepon.
"Ah baiklah, aku akan ke sana segera."
Nakula menatap Jane yang sudah rapi. Dia tersenyum begitu manis.
"Aku harus segera ke bandara. Kau berangkat ke kantor sendiri dulu ya."
Jane tidak menyahut. Bahkan Nakula mendekat dan mengecup keningnya.
"Tunggu di kantor. Kita akan pulang bersama."
Jane hanya terpaku melihat Nakula. Tidak ada kata yang bisa dia ucapan. Dalam hati bertanya-tanya cukup dalam. Siapa yang akan Nakula jemput. Dari sikapnya, Nakula begitu senang.
"Apa yang bernama Nadine itu?"
Jane menggeleng keras. Dia lantas mengambil tas miliknya dan bersiap pergi ke kantor.
"Biarkan saja. Bukan urusanku juga."
***
Sesampainya di kantor, Jane dibuat tercengang dengan pandangan semua orang yang mengarah kepadanya. Mereka terdengar saling berbisik.
"Jane," panggil Julio.
"Ke ruangan aku segera."
Jane menurut saja. Dia tidak enak ditatap seperti itu. Saat ini Julio terlihat serius. Sepertinya memang ada hal penting yang akan dia katakan.
"Ada apa Julio? Kenapa pandangan semua orang begitu kepadaku."
Julio mendesah. Dia bingung memulai dari mana.
"Kau semalam pergi ke supermarket dengan Pak Nakula?" tanya Julio.
Jane ragu untuk menjawabnya. Dari mana dia tahu tentang hal itu.
"Kau juga memarahi seorang SPG yang ada di bagian elektronik."
Pikiran Jane menjadi tidak enak. Baru beberapa hari di sini dia telah membuat skandal.
"Ada apa Julio? Apa yang salah dengan itu?" tanya Jane yang sudah begitu sakit dadanya.
"Tidak ada yang salah. Tapi yang jadi masalah mereka menudingmu yang tidak-tidak. Kau di sini kan baru. Meski di pusat sudah begitu lama. Tapi mereka seperti tidak rela kalau kau jalan dengan Pak Nakula."
Jane tidak bisa berkata-kata. Sepertinya budaya di sini begitu keras. Kompetisi bukan hanya pada pekerjaan, tapi lebih kepada personal.
"Mereka yang mempermasalahkan hal itu, apa untungnya? Kalau mereka mau jalan dengan Nakula. Em, maksudku Pak Nakula, ya minta langsung pada orangnya. Kenapa harus merundung aku secara personal?"
Pertanyaan dari Jane tidak bisa Julio jawab. Dia sendiri juga tidak memiliki jawaban pasti. Hanya saja memang tidak adil bagi Jane.
"Jadi kau merasa baik-baik saja?" tanya Julio.
Jane mengangguk. "Ya aku merasa tidak bersalah. Jadi kau tenang saja. Hal ini tidak berpengaruh apa-apa untukku. Terima kasih perhatiannya ya."
Jane menepuk pundak Julio. Dia lantas keluar dari ruangan itu dengan tersenyum. Tapi dalam hatinya dia ingin sekali menangis.
Jane bisa berkata dia baik-baik saja, dan tidak salah. Tapi hal itu tentu saja menyalahi aturan hidupnya. Nakula seorang pria beristri. Untuk apa dia sampai terlibat skandal dengan laki-laki itu.
"Bu Jane."
Siska yang melihat Jane masuk ke ruangan, merasa iba. Gosip itu terlalu jahat untuk menyakiti perempuan sebaik Jane.
"Bu, jangan didengarkan. Terserah Ibu dan Bapak juga mau jalan bersama atau tidak kok. Selagi tidak ada yang dirugikan bukan?" ucap Siska memberikan penghiburan bagi Jane.
"Kau tenang saja Siska. Aku baik-baik saja kok. Mereka saja yang kurang kerjaan bergosip sepagi ini. Tapi memang fakta kok. Semalam kami jalan bersama."
Siska merasa lega melihat Jane tersenyum. Baginya Jane orang baik. Meski baru beberapa hari kenal. Tapi dia bisa merasa kalau perempuan ini, begitu tepat memimpin bagian keuangan.
"Syukurlah kalau ibu tidak berpengaruh. Selamat bekerja ya Bu."
Jane mengangguk. Dia meneruskan jalannya ke ruangan manajer di sebelah pojok. Ada satu ruangan yang disekat khusus untuknya.
Sampai di ruangan, Jane mendesah di atas kursinya. Dia tidak habis pikir di hari-hari ini begitu sulit baginya. Apa lagi sejak tahu Nakula yang menjadi atasannya.
"Dia mempersulit semuanya."
Asyik bekerja beberapa waktu, pintunya diketuk. Kepala Siska menyembul di balik pintunya.
"Bu, dipanggil Pak Nakula. Sekalian minta laporan harian," ucap Siksa.
Jane mengangguk. Sudah pukul sepuluh, pantas saja bosnya itu memanggil.
Tanpa beban Jane mengetuk pintu ruangan Nakula. Setelah diijinkan barulah dia membuka pintunya.
"Ah maaf."
Jane refleks menutup pintu. Dia tidak tahu kalau Nakula sedang berdua dengan seorang perempuan. Terlebih tubuh mereka berpangkuan dan saling peluk.
***