Chereads / My Ex Billionaire / Chapter 17 - Berbau Jane

Chapter 17 - Berbau Jane

Setelah makan malam bersama usai, Nakula izin pulang ke rumah. Ayahnya telah pulang hingga dia enggan untuk membuat sang ayah menunggu lama.

Hal yang menjadi bahan pertimbangan Jane justru kata sebelum Nakula pergi.

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu. Tapi ayahku bilang ada hal yang ingin dibicarkan mengenai laboratorium kami. Sehingga takut kalau kau bosan mendengarkannya nanti. Percayalah Ayahku selalu menunggu waktu untuk dapat melihatmu."

Ucapan Nakula tersebut sontak membuat Jane kesulitan memejamkan mata. Belum lagi rasa bingungnya untuk menjawab pernyataan cinta Nakula, dia harus berpikir serta mengenai ayah Nakula yang begitu misterius.

Nakula mendapat penolakan dari ayahnya, apa dia juga akan sama mendapat kata tolak dari ayah Nakula. Secara, keluarga Jane begitu hancur. Belum lagi sang ibu yang lebih memilih kekasih lamanya dan juga anak pertama dari pria tersebut.

Tentu saja hal itu semakin membuat Jane dalam penilaian buruk.

"Lupakan Jane. Nakula hanya masa lalu. Dia tidak pantas bersamamu. Apa lagi ayahmu tidak akan merestuinya bukan. Jangan buang-buang waktu mengenai itu. Bersabarlah saja. Kalau tidak ada yang mau denganmu, hiduplah dengan raga suci yang lain."

Jane mulai memjamkan matanya. Dia merasa enggan untuk tidur. Tapi ini tentu saja lebih baik dari pada harus terjaga sepanjang malam untuk hasil yang tidak menentu.

***

"Pagi Sayang. Apa kau sudah membuat sarapan?"

Seakan apartemen milik sendiri, Nakula seenaknya saja keluar dan masuk ke dalam apartemen Jane. Membuat Jane harus berpikir untuk mengganti kode aksesnya segera.

"Mau apa kau ke sini?" ucap Jane ketus.

"Sarapan dan tentu saja menjemput kekasih."

Nakula memainkan alisnya naik dan turun. Sepagi ini melihat wajah polos Jane membuatnya merasa nyaman. Ingin rasanya setiap pagi melihat pemandangan seperti ini saja.

"Siapa yang mau membagi sarapan denganmu, dan siapa juga yang mau menjadi kekasihmu?" tanya Jane dengan nada suara yang tidak ramah sama sekali.

"Jadi kau menolak kata cinta dariku semalam," ucap Nakula dengan begitu lesu.

"Ya tentu saja. Siapa yang bisa menjamin kau tidak membohongiku lagi?" ucap Jane sambil menunjuk dada Nakula dengan spatula yang belum sempat dia turunkan.

"Oh oke. Tidak masalah. Aku bisa mencobanya lagi nanti siang. Saat ini aku sudah sangat lapar. Ayahku subuh tadi sudah berangkat bekerja. Aku harus mengantar, lalu langsung ke sini," sahut Nakula yang menjelaskan pagi-pagi sudah ada di apartemen Jane.

"Siapa suruh ke sini. Kau bisa pergi ke restoran pagi untuk sarapan dahulu."

Jane masih tidak terima ada Nakula di sini yang dengan santainya meminta jatah sarapan.

"Aku kan ingin bersama kau. Anggap saja sedang melakukan pendekatan dengan calon istri,"

Nakula dengan santai mencomot roti bakar yang sudah terhidang di depan mata. Dia tampak tidak acuh terhadap Jane yang masih menatap galak ke arahnya.

"Kau tidak sarapan Jane?" tanya Nakula tidak acuh.

"Aku mau mandi dulu. Jangan kau habiskan semua. Aku juga lapar."

Belum sempat beranjak pergi. Tangan Jane sudah dicengkeram erat Nakula.

"Duduklah dulu di sini. Sarapan dahulu bersama."

Jane hendak protes. Tapi lagi-lagi Nakula tidak ingin dibantah. Mereka duduk lagi satu meja saling hadap. Dengan sangat terpaksa, Jane mengambil satu bagiannya. Hal yang sebenarnya Nakula tahu kalau Jane tidak pernah makan pagi sebelum mandi.

"Kau selalu cantik meski tidak mandi tujuh hari," ucap Nakula yang lagi-lagi mengerti arah pikiran Jane.

"Oh ya. Dari mana kau tahu aku tetap cantik?" tanya Jane yang sudah bersiap dengan segala gombalan yang Nakula akan katakana.

"Tentunya. Saat masa kau melahirkan anak kita misalnya? Pasti kau akan cantik sekali."

Nah kan. Lagi-lagi Nakula berkata hal yang amat begitu mustahil untuk didengarkan.

"Dari mana kau tahu kalau setelah melahirkan tidak mandi selama tujuh hari?" tanya Jane kembali.

"Eh." Nakula menjadi salah tingkah. Jika asal ucap saja, ini akan menjadi momok menakutkan baginya. Terlebih Jane saat ini sedang menatapnya penuh selidik.

"Jadi benar kan kalau kau sudah punya istri dan beranak. Ck, tega sekali kau pada mereka."

Jane terus terang mencebik Nakula. Tidak terima dengan segala tingkah laku Nakula yang tidak mengakui anak dan istrinya. Jane membayangkan bagaimana perasaan mereka jika tidak diakui anak. Apa laki-laki selalu seperti ini?

Bukannnya langsung menjawab, Nakula justru mengeluarkan dompet dan mengambil kartu pengenal miliknya. Diarahkannya kepada Jane dengan tenang.

"Kau lihat sendiri saja ini. Statusku belum menikah," ucap Nakula dengan pandangan seperti, memberikan bukti bukan hanya sekedar ucapan.

"Ck, ini karena kau belum menggantinya."

Jane mendorong lagi kartu pengenal milik Nakula. Sama sekali tidak percaya begitu saja.

"Loh, kau bisa cek sendiri di catatan kawin milik negara kalau kau masih tidak percaya."

Nakula masih saja ingin meyakinkan Jane. Padahal tadinya dia menikmati momen ini. Tapi jika dibiarkan justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

"Ya kau kan bisa menikah di bawah tangan. Atau kau menikah di Rusia atau Yunani yang tidak perlu menikah ulang di KBRI. Bisa jadi kan? Itu sah juga kok."

Jane asyik menggigit roti panggang buatannya. Dia tadinya malas memasak. Maka hanya buat yang simple saja. Karena roti oles sudah terlalu biasa, Jane memutuskan memanggangnya.

"Astaga Jane. Kalau kau masih saja bersikeras dengan argument dan kecurigaan kau itu, aku siap kau bawa menikah hari ini. Setidaknya catatan kita akan jelas."

Jane membuang wajah ke samping. Malas sekali jika berdebat dengan Nakula begini. Selalu ada saja hal yang dibuat-buat olehnya. Membuat jengkel perasaannya saja.

"Sudahlah aku mandi dulu. Kau habiskan saja sisanya."

"Aku tidak kau buatkan susu juga?" tanya Nakula yang melihat Jane meminum susu di hadapannya.

"Nih." Bukannya membuat Jane justru memberikan sisa susunya yang tinggal separuh gelas. "Kau habiskan saja, itu pun kalau kau tidak jijik."

Tanpa melihat apa Nakula meminum atau tidak sisanya. Jane sudah lebih dulu berjalan ke arah kamar.

Nakula yang tentu saja suka segala sesuatu yang berbau Jane. Tidak membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Dia mengambil gelas dan menenggak habis minuman tersebut. Bisa Nakula rasakan bibir Jane yang sudah lebih dulu menempel. Terasa manis dan buat candu.

"Sial kau Jane. Pandai sekali menggodaku," ucap Nakula yang merasa digoda kembali.

Pandangan matanya menatap ke arah kamar. Ingin sekali ikut serta aktivitas Jane yang amat berharga.

"Aku ingin ikut jadinya."

Nakula memilih menyusul Jane. Terkait apa yang akan gadis itu lempar kepadanya, bisa dia pikirkan nanti saja. Syukur-syukur kalau Jane tidak menolak apa yang menjadi keinginannya.

"Hah Jane!"

Seakan tahu apa yang menjadi pikiran Nakula. Jane sudah lebih dulu mengantisipasi dengan mengunci pintu kamar.

"Sudah terbaca ya? Gadis pintar."

***