Chereads / My Ex Billionaire / Chapter 19 - Kita Hanya Teman

Chapter 19 - Kita Hanya Teman

"Jadi menurut kau, kita harus banyak memberikan promo untuk mereka? Kau tahu tidak sih, sebuah jaringan itu mahal biaya perawatannya?" ucap Nakula yang merasa tidak setuju terhadap Julio.

Kepala Divisi Pemasaran itu, terlibat perdebatan yang cukup pelik dengan atasan barunya. Entah mengapa Nakula juga memulai rapat ini dengan aura yang emosi. Bahkan Jane sampai bertaruh kalau Nakula seperti terlihat kesal dengan Julio.

"Iya benar Pak. Kita bebankan di biaya perawatannya. Jadi mereka pasang saja dulu. Sisanya mau tidak mau, akan membayar."

"Lalu bagaimana kalau mereka justru menunggak dan membiarkan begitu saja?" ucap Nakula yang masih ragu dengan program yang Julio susun.

"Kita akan rugi dua kali. Pasang rugi, mereka memakai rugi, dan terakhir pencabutan," tambah Nakula.

Nakula merasa emosinya meluap. Entah mengapa melihat wajah Julio, dia begitu kesal sekali. Bayangan tadi pagi dia bersama Jane seperti nyata di pelupuk mata.

"Iya memang benar Pak. Tapi saya yakin, orang yang terlambat dan tidak, lebih banyak yang patuh. Paling tidak kita sudah berusaha memangsa mereka lebih dulu," ucap Julio yang mengeluarkan pendapatnya.

Apa yang Julio katakan, didukung oleh data yang sudah dia kumpulan. Dari seratus orang pemakai perusahaan merk A, hanya lima persen yang memiliki masalah. Ini memang cukup banyak, tapi mereka sudah untung dari sembilan puluh lima lainnya yang taat.

"Bagaimana dari sisi keuangan Jane?" tanya Nakula. Pandangan beralih pada Jane yang ada di sampingnya.

"Kalau dari sisi keuangan, apa yang diajukan Bapak Julio, masih dalam tahap wajar Pak. Kalau saya perhatikan arus kas masih aman. Bapak Julio juga memotong yang mana bukan menggratiskan. Diskon pajak akan berlaku terkait hal ini," ucap Jane.

Tapi namanya saja Nakula sedang dilanda cemburu. Dia justru memandang analisis Jane sebagai bentuk pembelaan terhadap Julio. Yang mana, justru semakin membuat Nakula kesal.

"Anda sedang tidak membela Bapak Julio kan, saudara Jane?" tanya Nakula yang mana seketika menjadi buah bibir di kalangan anak buahnya sendiri.

"Tidak membela siapa-siapa Pak. Saya hanya menyampaikan hasil analisis dari tim kami saja."

Jane masih sempat-sempatanya tersenyum ramah. Dia tidak mau dipermalukan lagi oleh Nakula. Hingga sebisa mungkin bersikap layaknya profesional.

"Baiklah saya setujui. Dengan catatan, harus ada evaluasi setiap dua minggu sekali. Jika tidak sesuai target, terpaksa berhenti saja."

Nakula mengeluarkan keputusan. Hal ini tidak bisa digoyahkan lagi.

Para wajah yang ada di ruangan sudah menarik diri dari ketegangan. Setidaknya mereka tidak benar-benar ditolak.

"Baiklah, cukup sampai di sini saja rapatnya. Silakan kembali ke ruangan masing-masing untuk bekerja. Khusus ibu Jane, silakan ke ruangan saya untuk memberikan laporan harian seperti biasa."

Rapat ditutup oleh Anta selaku sekretaris Nakula. Yang mana, kata-kata tersebut juga sesuai dengan perintah atasannya.

Tapi kali ini, Jane yakin dia sedang berada dalam bahaya.

"Em Nakula, aku tidak bawa laporannya. Tunggu sebentar ya, biar aku ambil dulu."

Perkataan Jane tentu saja tidak mau didengarkan Nakula. Pria itu, bahkan sudah menyeret tangan Jane untuk menuju ke ruangannya.

"Jangan pikir, kau bisa mengelabuhiku Jane. Aku tidak percaya, kau tidak akan kabur dengan alasan yang macam-macam," ujar Nakula sesaat mereka sudah sampai di ruangan CEO.

"Ya kau tahu lah Nakula, aku memang belum sempat buat. Pekerjaanku sedang banyak sekali. Lalu kau memintaku untuk ikut rapat. Yang mana hal tersebut tidak perlu ada aku bukan?" ucap Jane dengan sedikit mengeluh pada Nakula.

"Kau mau aku tambah personil di divisimu?" tanya Nakula.

"Ya boleh. Aku mau asisten atau sekretaris juga boleh," sahut Jane yang langsung duduk di kursi depan Nakula.

"Kau tampak pucat Jane. Apa kau sakit?"

Nakula yang semula ingin duduk, melangkahkan kakinya ke arah Jane. Dia menempelkan punggung tangannya ke dahi Jane. Benar saja, gadis itu terasa hangat di kulitnya.

"Kau sedikit demam. Bukalah bajumu. Aku akan mendinginkan suhu di tubuhmu," ucap Nakula yang mana sudah bersiap membuka jasnya.

"Enak saja kalau kau bicara. Sudahlah aku kembali saja ke ruanganku. Nanti setelah makan siang saja aku berikan laporan ya. Tidak apa-apa kan?" ucap Jane yang memberikan keringanan pada Nakula.

Nakula yang merasa ditolak, seketika memajukan bibirnya. Tapi sikap gigihnya tentu saja tidak pudar. Tetap mendekati Jane dan merentangkan tangannya.

"Sini peluk dulu."

Jane mendesah malas. Keinginan pria ini, jika belum dituruti akan terus dia minta. Tentu saja lebih baik Jane menuruti permintaan Nakula.

"Sebentar saja dan jangan banyak modus ya. Ini area kantor. Takut ada yang tiba-tiba datang."

"Aku pecat langsung yang tidak sopan terhadap kita."

Jane hanya tertawa. Dia juga sebenarnya menikmati pelukan ini. Sentuhan Nakula begitu memberikan kedamaian di hatinya. Kadang kala dia juga merasa candu dengan hal ini.

"Sudah Nakula lepaskan."

Jane sedikit mendorong dada bidang itu. Meski sulit, tapi Nakula melepaskannya juga.

"Jangan berbicara dengan Julio lagi. Selain pekerjaan tentunya."

"Mengapa? Kita berteman dan saling membutuhkan satu sama lain," ujar Jane yang tentu saja tidak terima dilarang-larang seperti ini.

"Ya kalau begitu, bergantung saja padaku Jane. Apa yang kau mau akan aku kabulkan," ucap Nakula.

Jane justru menggeleng. Dia tidak mau hal seperti itu terjadi. Sudah cukup hubungan antara dia dan juga Nakula. Mereka berteman dan sudah seharusnya selayaknya teman.

"Kita hanya berteman Nakula. Termasuk aku dan Julio. Bukan permasalahan bergantung dan tidak."

Kata-kata Jane tentu saja membuat Nakula sedih. Ini artinya gadis itu memang kembali menolaknya. Tidak bisa dipungkiri ada hal yang sakit di dadanya.

"Kita hanya teman, Jane?" tanya Nakula yang masih saja tidak percaya dengan perkataan Jane barusan.

"Ya kita teman kan di luar. Kalau di kantor sebagai bos dan karyawannya."

Jane tersenyum ramah. Dia bahkan mengelus rahang tegas Nakula. Meyakini kalau pria itu tidak akan terima begitu saja.

"Tapi bukankah teman tidak tahu rasanya bibir masing-masing?" goda Nakula yang menaik-turunkan alisnya.

"Itu karena kau mesum. Cobalah bersikap biasa saja saat dekat denganku."

Jane menepuk bahu kokoh Nakula. Yang mana hal tersebut justru membuat Nakula merasa ingin membawa Jane pergi dari sini.

"Ya sudah. Aku gagal lagi hari ini. Aku akan coba besok."

Jane justru tertawa. Dia juga menggelengkan kepala hingga rambut yang diikat ke atas itu bergoyang.

"Terserah kau saja deh Nakula. Aku permisi dulu saja ya. Masih banyak pekerjaan."

"Eh tunggu."

Nakula kembali menggapai tangan Jane. "Kau sakit, istirahat saja dulu di kamarku sana. Paling tidak, hingga keadaan kau membaik."

Jane menggeleng lagi. Tidak mau melakukan hal tersebut.

"Tidak. Aku sepertinya tahu isi otakmu. Sudah jangan menghalangiku. Bye."

Nakula hanya bisa pasrah. Modus yang dibalut perhatian, ternyata tidak mempan juga untuk Jane. Dia harus coba taktik lain.

***