Nakula merasa familiar dengan suara yang ada di dalam apartemen Jane. Maka bisa dipastikan, dia segera mengendarai mobil untuk segera sampai ke sana.
Jalanan cukup padat. Jam pulang kantor mewarnai semarak sore ini. Nakula yang sedang terburu-buru mendadak kesal dengan ini semua. Sekelebat bayangan buruk menguasai pikirannya. Apa yang dilakukan Jane di sana, begitu mengganggu pikirannya.
"Sial! Ini malah macet sekali. Bagaimana kalau pria itu ada niat jahat dengan Jane," umpat Nakula kesal.
***
Sementara itu Jane yang sedang tidak enak badan, ditambah hatinya gundah gulana dengan kepergian Nakula hanya bisa memandang jalanan ramai di balik jendela kamarnya.
Nakula meninggalkannya yang mulai terlelap karena pengaruh obat. Jane bangun dan tidak ada pria tersebut. Hatinya sedikit sakit menjalankannya.
"Astaga. Apa yang aku lakukan. Nakula sedang ada keperluan penting. Tidak mungkin juga aku akan mengganggunya. Bahkan merengek memintanya ada di sini."
Jane menggeleng kuat-kuat. Ditunkannya kaki yang menempel ke arah jendela. Dia akan membuat makan malam saja.
Baru saja keluar dari kamar, bel apartemen berbunyi. Dengan susah payah, Jane menghampiri siapa yang datang. Benaknya berharap ini Nakula. Tapi semesta tentu saja menolaknya.
"Julio. Untuk apa kau ke sini?"
Jane merasa aneh dengan kedatangan Julio. Dia tidak berpikir kalau pria itu sampai harus datang ke sini. Lagi pula, untuk apa juga?
"Kau belum siap-siap Jane?" tanya Julio yang sepertinya kecewa dengan pemandangan di depannya.
"Astaga!"
Jane menepuk keningnya. Dia benar-benar lupa terkait janji dengan Julio hari ini.
"Maafkan aku Julio. Tapi saat ini aku sedang tidak enak badan. Tadi aku pingsan di kantor," ucap Jane merasa tidak enak. Tapi kalau memaksa pergi, Jane yakin tidak akan kuat.
Suara dering ponsel yang ada di saku celana Jane berbunyi. Nama Nakula memenuhi layar panggilan.
"Aku angkat telepon dahulu ya," ucap Jane yang sedikit menjauh dari arah Julio.
"Iya Nakula, ada apa?" tanya Jane saat sambungan telepon terhubung.
"Jane, kata Paman—"
Baru saja mendengar Nakula mengatakan hal itu, Julio sudah lebih dulu mendekat ke arah Jane. "Kau benar sakit dan tidak bisa ikut?" tanya Julio akhirnya.
"Kau mengejutkan aku Julio," ucap Jane yang tanpa sadar mematikan panggilan telepon.
"Maaf. Aku hanya memastikan. Kalau kau benar tidak bisa, tidak apa-apa. Istirahatlah saja sampai keadaan kau membaik."
Jane menangkap raut kecewa dan khawatir dalam raut wajah Julio. Dia tidak ingin mengecewakan temannya itu. Tapi kalau dirinya memaksa, itu juga bukan hal yang mudah baginya.
"Maafkan aku ya, Julio. Aku tidak tahu akan seperti ini. Kau bisa minta tolong yang lainnya. Aku takut kalau memaksa untuk menemani kau, justru nanti akan merepotkan."
Julio mengangguk paham. Dia menempelkan tangan ke dahi Jane. Terasa sekali kalau dahi gadis itu menghangat. Memang tidak tepat jika memaksanya.
"Baiklah aku akan pergi sendiri saja. Kau istirahatlah. Hubungi aku kalau kau butuh sesuatu."
Jane mengangguk. Untunglah Julio paham dengan keadaannya saat ini. Dia tidak memaksakan kehendak pada Jane.
"Sekali lagi maafkan aku. Semoga hari ini menyenangkan."
Julio pamit dari apartemen Jane. Gadis itu turut menemani sampai di ambang pintu. Bersusah payah menjaga keseimbangan tubuh yang benar-benar sedang tidak baik-baik saja.
"Ah masih saja lapar. Aku harus memasak makanan dan minum obat setelahnya. Semoga saja besok membaik."
Jane melangkah ke dapur. Memilih bahan masakan apa saja yang bisa dia masak cepat. Karena jujur, berlama-lama berdiri hanya menambah rasa pusingnya saja.
"Jane kau di mana heh!"
Suara pintu tertutup kencang. Jane sampai melonjak terkejut karenanya.
"Pasti si Bos mesum dan gila itu," ucap Jane sembari menahan sakit di kepala.
"Jane, kau sedang apa di sini?" tanya Nakula yang melihat Jane memegang kepalanya. Di tangan kirinya memegang pisau. Nakula khawatir gadis itu akan jauh lebih nekad.
"Jane kau memang sedang sakit. Tapi tidak perlu putus asa. Aku akan di sini menemani dan menjagamu, oke."
Nakula mengambil pisau dari tangan Jane. Meletakan dengan hati-hati di meja.
"Apa sih Nakula. Kau pikir aku hendak bunuh diri begitu?" ucap Jane yang mendengkus sebal.
Dengan polosnya Nakula mengangguk. "Lalu apa yang sedang kau lakukan dengan pisau ini?" tanyanya yang tahu kalau apa yang dia pikirkan salah besar.
"Aku hendak memotong sosis. Ingin makan dengan itu saja. Aku lapar sekali."
Nakula sontak tertawa. Dia tidak memperhatikan ada dua buah sosis besar di atas tempat potong.
"Kalau kau ingin sosis aku bisa memberikan padamu Jane. Ayo buka saja ini. Gratis untukmu," ucap Nakula yang menunjuk bagian bawah tubuhnya.
"Astaga. Akan kupotong segera," ucap Jane dengan datar.
Nakula justru tertawa. Enak juga mengerjai Jane begini.
"Ah baiklah. Kalau begitu, kau duduk saja. Biarkan aku yang bekerja untukmu."
Jane hanya bisa menurut. Dia tidak sanggup juga untuk melawan Nakula. Apa lagi berdebat seperti biasa. Dengan terpaksa Nakula yang mengambil alih pekerjaannya.
"Aku buat nasi goreng sosis saja ya. Kau tunggu sebentar."
Jane hanya bisa mengangguk. Untuk menopang bagian mana yang sakit, dia senderkan kepala di meja bar. Lebih baik untuk seperti ini.
"Mau aku antar ke kamar saja? Kondisimu lemah sekali."
Jane hanya menggumam. Dua belah matanya terpejam sempurna. Tapi dia tidak benar-benar tidur.
Tidak ada perkataan lagi dari Nakula. Tapi tubuh Jane justru seperti diangkat tinggi-tinggi. Ternyata Nakula menggendong tubuhnya untuk sampai ke kamar.
"Nakula apa yang kau lakukan hei!" Jane tidak terima. Meski keluar protes dari bibirnya. Namun, tubuhnya sama sekali tidak menolak. Mungkin lantaran dia terlampau lemas untuk bisa melawan Nakula.
"Nah kau istirahat saja di sini ya. Aku akan selesaikan masakan secepatnya."
Nakula mengecup kening Jane lebih dulu setelah meninggalkannya.
Setelah sampai di sini, tidak ada tanda-tanda keberadaan pria yang dia dengar suaranya di telepon. Mungkin memang benar tidak ada, atau sudah lebih dulu pergi.
"Astaga. Jangan pikirkan hal ini dulu. Sebaiknya aku siapkan saja makanan yang enak untuk Jane."
Nakula cekatan memotong bawang-bawang untuk dia gunakan membuat nasi goreng. Kali ini dia akan memasak spesial untuk Jane.
Tanpa terasa, beberapa menit berkutat dengan masakan. Nakula berhasil menyajikan dua piring nasi goreng sosis buatannya.
Baunya tercium begitu wangi. Perut Nakula langsung merasa keroncongan mendadak.
"Jane pasti sangat suka."
Nakula membuka pintu kamar. Tampak Jane yang begitu pucat sedang menonton televisi sambil tiduran. Dia langsung menoleh dan tersenyum dengan canggung.
"Maaf ya Pak. Jadi merepotkan Anda," ucap Jane dengan sungkan.
"Ck. Sudah rela masak begini, malah dipanggil Pak. Aku dua kali loh hari ini memasakkan untuk kau. Tadi siang dan malam ini."
Jane membenarkan posisi duduknya. Dia mendapat meja kecil di pangkuan. Nakula meletakkan piring yang penuh dengan nasi goreng.
"Anda bisa memotong gajiku di kantor, Pak. Tidak perlu sungkan."
Nakula tidak menjawab. Dia menyodorkan sendok yang penuh dengan nasi goreng.
"Makan saja. Tidak perlu banyak aba-aba."
Jane tidak langsung menerima. Dia justru memandang Nakula lekat.
"Aku memang tampan dan mempesona Jane. Tidak perlu heran begitu. Ini semua juga untuk kau," ucap Nakula begitu percaya diri.
"Ck. Bukan begitu Nakula. Aku bisa makan sendiri. Kau makan saja bagianmu," sahut Jane.
Dia sudah hampir meraih sendok yang ada di jemari Nakula. Namun, pria itu begitu lincah menyodorkan pada mulutnya.
"Kita makan sama-sama saja. Ayo cepat. Ada hal penting setelah ini yang mau aku tanyakan."
Nakula berubah menjadi serius. Jane tidak bisa membantah lagi. Dia menerima suapan. Sambil otaknya berkelana, perihal apa yang akan Nakula katakan.
"Habiskan dulu makanannya Jane. Kita masih memiliki banyak waktu membicarakan ini semua."
***