Melepas lelah, Jane memutuskan ikut dengan Siska makan siang di kantin. Baru setengah jalan, Jane merasakan kepalanya seperti ada bintang berjalan.
Dia pun memilih berhenti yang mana disadari oleh Siska.
"Bu Jane kenapa?" tanya Siska khawatir. Tangannya refleks memegang lengan Jane. Perempuan itu juga ikut terhuyung.
"Lengan anda panas, Bu. Apa aku antar ke klinik di bawah saja?" ucap Siska. Jujur saja, ini kali pertama Siska melihat seseorang pucat pasi saat berjalan dengannya.
"Em tidak usah. Aku kembali saja ke ruangan ya."
Jane sudah berputar badan. Matanya bahkan menangkap pria yang dia sukai ada di depannya. Tidak lama, tubuhnya kembali terhuyung.
"Jane!" teriak Nakula.
"Bu Jane!"
Siska sama paniknya. Dia bantu Nakula memegangi kaki Jane.
"Siska tolong ambilkan kunci mobil saya di ruangan. Aku tunggu di bawah. Cepat ya!"
Siska mengangguk. Dia segera berlari ke atas. Lift sedang penih dan butuh waktu lama. Dia memutuskan memakai tangga darurat. Jika dilihat, Jane benar-benar butuh pertolongan sekarang.
Sementara itu, Nakula segera membawa Jane ke mobilnya. Dia harus membawa Jane segera ke rumah sakit. Tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Jane.
"Kau harus baik-baik saja, Jane. Aku akan memastikan itu."
Nakula dibuat panik. Terlebih Siska belum juga kembali. Kebodohannya juga yang tidak membawa kunci mobil.
"Pak. Biar saya yang menyetir."
Anta datang bersama Siska. Nakula mengangguk saja. Dia memindahkan Jane ke belakang.
"Kita ke rumah sakit atau ke klinik saja Pak?" tanya Anta.
"Apa ada klinik yang bagus?" tanya Nakula.
"Ada klinik dokter Resa di depan Pak. Kita bisa ke sana dulu untuk memastikan kondisi Bu Jane."
Nakula mengangguk saja. Dia sudah amat khawatir mengenai Jane yang tidak kunjung sadar juga.
"Jane bangun dong. Apa yang sebenarnya kau rasakan?" tanya Nakula yang begitu khawatir.
"Tenang dulu ya Pak. Saya yakin Bu Jane baik-baik saja," ucap Anta memberikan kalimat positif untuk Nakula.
Nakula hanya mendengar kalimat dari Anta saja. Sisanya dia tetap khawatir pada Jane. Seingatnya Jane tidak memiliki penyakit selama ini. Meski sering kali cemas terhadap sesuatu. Atau mungkin itu penyebabnya.
Sesampainya di klinik. Nakula menggendong langsung Jane. Dia membaringkan ke atas bangsal yang ditunjuk perawat kepada mereka. Ada dokter yang segera mendekati. Dokter laki-laki itu sigap memeriksa Jane.
"Tekanan darahnya rendah Dok," ucap perawat yang memeriksa tekanan darah Jane
Tidak lama Jane sadar dari pingsannya. Dia menatap ke arah dokter tampan yang masih menekan dadanya dengan stoteskop.
"Halo Nona. Apa yang kau rasakan?" tanya dokter Reza.
"Em, pusing Dok," sahut Jane. Dia menengok ke arah kanan yang tampak Nakula sedang memandangnya khawatir.
"Ya, anda mengalami darah rendah. Loh—"
"Reza."
Jane seketika bangun dari telentangnya. Dia terkejut dengan pertemuan dengan Reza. Begitu juga dengan dokter yang merupakan Reza, kenalan Jane di masa lalu.
"Hai, kau jadi dokter di sini?" tanya Jane antusias.
"Berbaringlah kembali jika masih pusing."
Reza tersenyum dengan hangat. Dia senang Jane tidak pernah melupakannya.
"Eh iya. Sudah lebih baik. Terima kasih atas bantuannya."
Reza mengangguk. Dia lantas berpindah ke kursi kerjanya. Terlihat Nakula membantu Jane berdiri. Namun, segera ditepis perempuan tersebut.
Sudah payah Jane sampai di hadapan dokter Reza.
"Aku tdiak tahu kau di sini, Jane?" tanya dokter Reza. Tangannya sibuk menulis sebuah kertas resep.
"Ya aku baru pindah beberapa Minggu."
Reza mengangguk. "Ini resep untukmu. Kau jangan lupa istirahat yang cukup. Jangan stres dan jaga pola makan. Kau suka jajan sembarangan bukan?"
Jane terkekeh sambil menerima kertas yang diulurkan padanya. Membaca sekilas tulisan yang tidak bisa dia pahami.
"Tidak juga. Pola makanku jauh lebih baik saat ini. Aku juga butuh badan yang ideal, dokter Reza."
Dokter tampan itu melepaskan kacamata. Merasa malu telah dipanggil sebegitu lembutnya oleh Jane.
"Kau sudah ideal Jane. Kurang apa lagi tubuhmu itu?" ucap Dokter Reza memuji. "Oh ya panggil saja Reza. Kita teman lama, bukan?"
Jane mengangguk setuju. Lebih enak juga panggil nama. Toh tidak ada siapa-siapa juga di sini, selain Nakula tentunya.
"Kalau sudah, kami pamit pulang dokter," ucap Nakula yang terkesan buru-buru.
"Eh."
Dokter Reza menatap Nakula tidak mengerti. Mengenai kekhawatiran Nakula tadi, bisa dia lihat bentuk kedekatan mereka. Meski tidak ada yang mengakui hubungan ini.
"Iya silakan," ucap dokter Reza singkat.
"Nakula aku masih mau bicara dengan Reza," ujar Jane.
"Tidak. Kau harus istirahat di rumah. Ayo!"
Nakula menggenggam tangan Jane dengan erat. Dia benar-benar posesif pada Jane. Tidak membiarkan Jane menyalami dokter Reza yang sudah membantunya.
"Nakula apa sih? Aku tidak enak dengan Reza," keluh Jane saat mereka sudah ada di dalam mobil.
Kertas resep sudah diberikan pada Anta. Dia yang akan menebus obat di apotek.
"Tidak enak berikan pada kucing," ucap Nakula santai.
Tangannya sudah menggenggam ponsel. Mengecek pesan masuk.
"Astaga Nakula, kau ini kenapa? Aku sedang berbicara pada Reza. Kami ini teman lama yang baru saja bertemu—"
Sebelum Jane berbicara terlalu jauh. Bibirnya sudah lebih dulu dibungkam oleh Nakula. Pria yang sedang kesal dan cemburu itu, menyisap dengan kuat bibir Jane. Tidak ada lagi bunyi berisik yang sejak tadi menyulut emosinya.
"Eh maaf Pak!"
Anta yang baru saja membuka mobil depan, terpaksa menutup kembali mobilnya. Dia terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ternyata gosip yang selama ini beredar bukan isapan jempol belaka.
Mereka berdua memang ada hubungan khusus.
"Keluar. Pindah ke depan," ucap Nakula dingin. Karena kepergok Anta, dia jadi harus melepaskan bibir Jane. Untung saja Jane menurut. Tidak ada lagi suara dari bibirnya.
"Kau pulanglah naik taksi. Aku akan mengantar Jane pulang. Satu lagi, jangan bocor dengan apa yang kau lihat," ucap Nakula pada asistennya dengan sedikit ancaman.
"Baik Pak. Saya akan jaga rahasia."
"Satu lagi. Kau bilang tadi dokter Resa. Kenapa dia laki-laki?" tanya Nakula kesal. Kalau tahu dokternya pria, dia tidak akan mau ke sini.
"Itu adiknya Pak. Tadi saya dapat kabar dari perawat yang jaga. Dokter Reza menggantikan kakaknya sementara."
Nakula mengangguk paham. Berarti hari ini adalah kesialannya. Dia lantas membuka pintu mobil di depan kemudi. Memilih menjalankan sendiri mobilnya ke apartemen Jane.
"Kau masih pusing?" tanya Nakula yang melihat wajah Jane memucat. Bibirnya bahkan sedang ia gigit.
"Tidak pusing karena darah rendah. Tapi pusing karena stres memiliki atasan semesum kau!" ucap Jane dengan galak pada Nakula.
Jane tidak memungkiri adanya skandal di dalam kantor. Beberapa temannya sempat terlibat cinta dengan atasan. Tapi dia tidak menghendaki dirinya, masuk dalam bagian tersebut. Terlebih kelakuan Nakula yang ajaib, terlihat langsung oleh Anta.
"Anta bisa jaga rahasia kok. Kau tenang saja," sahut Nakula santai, seperti tidak ada pengaruh apa-apa walau kepergok asistennya sekali pun.
"Enak sekali kau bicara. Hentikan bualan kau Nakula. Pusing aku kau buat!"
Jane menjambak beberapa rambutnya. Kesal sekali harus menghadapi bos gila macam Nakula.
"Ya lebih baik memang kau resign. Jadi istriku. Tidak perlu ketakutan kepergok kan. Juga tidak perlu menjawab godaan dari pria lain."
Jane memutar bola matanya malas. "Kau cemburu dengan Reza?"
"Panggil dia dokter Jane."
"Terserah kau saja Nakula."
***