"Dia siapa Nakula?" tanya Asmara yang merasa aneh dengan sikap pria di hadapannya itu.
"Dia Jane, bagian keuangan," ucap Nakula gelisah.
"Oh astaga! Dia Jane yang meninggalkanmu di Polandia itu."
Asmara tidak tahan untuk menertawakan nasib Nakula. Dia sendiri tidak tahu yang namanya Jane yang mana. Karena Nakula hanya bercerita soal nama, tanpa mau menunjukan paras gadis tersebut.
"Sudah ketawanya. Aku akan panggil dia dulu," ucap Nakula yang sudah bersikap biasa.
Sementara Asmara menurut untuk menutup mulut. Dia tidak kuasa untuk menertawakan kebodohan sepupunya tersebut. Bisa-bisanya dia kepergok mantan sedang pangku-pangkuan dengan seorang perempuan.
Nakula keluar ruangan dan mendapati Jane sedang berbincang dengan Anta— asistennya. Seketika Nakula merasa lega. Dia pikir Jane akan berlari sambil menangis tersedu-sedu. Tapi sekaligus kecewa, adegan yang ada dalam benaknya tidak terjadi.
"Jane, untuk apa di sini? Ayo masuk dan berikan laporan yang saya minta," ucap Nakula dengan tegas.
Jane dan Anta yang sedang membahas sesuatu seketika menoleh. Mereka melihat Nakula dan langsung menghentikan pembicaraannya.
"Baik Pak. Mari Pak Anta."
Anta mengangguk sopan. Dia melihat interaksi antar keduanya seperti begitu lekat. Seperti terjadi sesuatu pada mereka berdua. Terlebih panggilan Nakula pada Jane yang tanpa embel-embel Bu lagi. Semakin menambah kuat gossip di antara mereka.
"Kenapa tadi langsung keluar sih? Bukannya masuk saja," protes Nakula pada sikap Jane tadi.
"Maaf ya, takut ganggu soalnya."
Nakula mengangguk saja. Tidak lama mereka sampai di ruangan Nakula.
"Mara, ini kenalkan Jane. Dia yang akan membantu menghitung anggarannya."
Nakula menjelaskan pada Nakula siapa Jane dan manfaatnya pada projek ini.
"Kalian kenalan dulu saja. Aku mau ke toilet."
Dengan ramah Asmara mengulurkan tangan pada Jane. Tentu saja uluran tangan itu disambut baik oleh Jane.
"Salam kenal Jane, saya Asmara."
"Salam kenal Bu Asmara, saya Jane."
"Saya istri Nakula."
Tautan jemari Jane pada Asmara seketika terlepas. Dia merasa canggung telah bertemu perempuan yang sudah menjadi bagian dari diri Nakula ini. Pantas saja mereka tadi begitu akrab. Ternyata memang suami istri.
"Eh, iya Bu."
Jane merasa canggung dengan hal ini. Untung saja Nakula cepat datang dan menyugar keanehan di antara mereka.
"Kok diam-diam. Ayo mulai saja. Mana Jane laporan yang aku minta."
Jane merasa gugup. Dia lantas membuka file yang dimaksudkan Nakula.
"Ini Pak," ucap Jane. Nada suaranya terdengar bergetar. Seperti menahan tangis.
"Kau kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Nakula khawatir.
"Eh tidak. Maaf Pak."
"Ck. Sudah kubilang panggil saja Nakula. Untuk apa pakai Pak segala."
Nakula tidak mau mendengarkan pembelaan dari Jane. Pria itu lantas melihat laporan yang Jane berikan kepadanya.
"Bagaimana Mara? Kulihat keuangan kita masih oke lah untuk membangun gedung baru. Kau bilang juga pada Alfa untuk memilihkan lokasi yang strategis."
Nakula tersenyum begitu manis ke arah Asmara. Sementara yang mendapat senyum tersebut hanya membalas masam.
"Kalau begitu kau undang saja Alfa. Untuk apa memintaku jauh-jauh dari Irlandia untuk proyek tidak pentingmu ini."
Asmara terlihat menggerutu. Dia tidak suka jika setiap akan deal dengan klien selalu dikaitkan dengan Alfa. Padahal Asmara juga tidak kalah bagus dengannya.
"Jangan marah-marah Bu. Nanti cepat tua loh," gurau Nakula.
"Biarin. Biar cepat dapat harta warisan kau."
Nakula tidak menjawab. Yang mana kesalahpahaman ini membuat Jane merasa nyata. Mereka sedekat ini. Tidak mungkin juga perempuan ini akan berbohong padanya. Apa untungnya juga.
"Menurut kau bagaimana Jane. Untuk sisa uang ini dan membangun laboratorium jaringan di tengah kota apakah bisa?"
Asmara mengalihkan pandangannya ke arah Jane. Ditatap sedemikian rupa, membuat Jane mau tidak mau memberikan pendapatnya.
"Menurut saya kurang ya Bu. Dana ini hanya untuk pembebasan lahan saja. Memgingat tengah kota, biaya lahannya begitu mahal."
"Exactly!" seru Asmara. "Kau benar sekali Jane. Nakula harus membayar mahal atas otak yang kau miliki. Bos kau sendiri saja begitu bodoh dalam menilai dana yang tercetak."
Asmara begitu senang dengan kehadiran Jane. Paling tidak, debat kusir dengan Nakula akan ada titik terangnya.
"Ya sudah. Aku mau cari sponsor dulu saja," ucap Nakula akhirnya.
"Yah sponsor. Uang di kantong tidak mau dikeluarkan. Pelit sekali," cibir Asmara.
"Berisik kau. Jika ada yang sulit, mengapa harus jalur mudah."
Balik Asmara yang memajukan bibir. Saudara sepupunya itu memang terkenal hemat. Entah hemat atau pelit julukan yang tepat pada diri Nakula itu.
"Jane, menurut kau, kalau seandainya bos memiliki projek besar yang harus segera dijalankan, dan dia kekurangan modal, sebaiknya pakai uang pribadi dahulu atau cari sponsor yang membutuhkan waktu lama?"
Asmara mengedipkan sebelah matanya ke arah Jane. Di kode seperti itu, Jane tentu saja paham.
"Kalau menurut saya pribadi lebih baik pakai dana pribadi dulu, sambil jalan cari sponsor. Karena kalau projek ditunda sehari saja pengerjaannya, tentu akan sangat berpengaruh dalam kinerja. Terlebih profesionalisme yang harus dipertaruhkan."
Asmara memanggut-manggutkan kepala. Dia begitu terpukau dengan penjelasan Jane yang begitu masuk akal.
"Ya sudah Jane, mana giro atas namaku. Biar aku saja yang mendanai projek ini. Catat keluar dari kas pribadiku."
Jane mengangguk paham, tidak lama dia mengeluarkan giro dan menuliskan sesuai yang Nakula katakan. Dua milyar merupakan nominal yang cukup besar. Jane sampai menarik napas menuliskannya.
"Buat surat pengalihan Jane. Keenakan perempuan ini kalau bawa uang sebanyak itu tanpa serah terima."
Asmara tertawa begitu keras. Sungguh kehadiran Jane benar-benar sumber hoki untuknya. Nakula yang pelit, di depan mantan dia berhasil menyombongkan diri. Tidak sia-sia pancingannya.
"Baik Pak," ucap Jane.
Nakula langsung menyerahkan komputer miliknya untuk Jane kenakan. Tapi yang terjadi, pria itu tidak bergeser dari tempatnya, yang mana membuat Jane kesulitan untuk mengetik.
"Duduk Jane," ucap Asmara yang tidak tega melihat Jane berdiri dengan tidak nyaman.
"Eh iya Bu."
Tanpa Jane duga, tangan Nakula sudah merambah ke pinggangnya. Hingga Jane terduduk di paha Nakula.
"Ah Pak!" Jane tentu saja histeris. Apa lagi ada Asmara yang dia tahu merupakan istri dari Nakula.
"Pak lepaskan, ada Bu Asmara," ucap Jane yang tidak nyaman.
"Memangnya kenapa dengan dia?" tanya Nakula heran.
"Ya … ya … aku akan keluar. Kalian mesra-mesra saja berdua ya."
Tanpa Jane duga, Asmara justru bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar. Tentu saja Jane merasa istri dari bosnya itu marah atau cemburu melihat kedekatan mereka.
"Pak, Bu Asmara pergi. Dia pasti marah," ucap Jane yang wajahnya benar-benar pucat.
Dia akan berpikir Nakula pria paling brengsek yang pernah dia kenal. Bisa-bisanya menggoda perempuan lain di depan istrinya sendiri.
"Ya memangnya kenapa kalau dia marah?" ucap Nakula heran.
"Ya jelas salah dong Nakula. Itu istrimu ada di depan mata, kau malah goda perempuan lain."
Jane langsung menunjukkan wajah sangarnya.
***