Jane bisa saja berteriak saat Nakula menggandeng tangannya. Tapi tentu saja hal itu akan menjadi spekulasi buruk baginya. Dia tidak ingin menambah catatan panjang keburukan baginya.
Sudah cukup gosip mengenai dirinya tadi. Terlebih fakta bahwa Nakula sudah beristri sudah cukup baginya. Jane tidak mau disebut sebagai perebut suami orang.
"Maaf Pak bukankah kita akan ke kantin?" tanya Jane yang masih melebarkan kesabarannya.
"Tidak kok, kata siapa?" tanya Nakula heran.
"Ya kan Bapak sendiri yang tadi bilang ikut ke kantin," ucap Jane setengah kesal.
"Oh mengenai hal itu." Nakula tampak berpikir sejenak, "Kita skip dulu makan di kantin deh ya. Kita ke restoran lainnya saja. Ada yang minta makan siang bersama."
Ucapan Nakula membuat cemberut Jane. Nakula yang diundang apa juga urusan dengannya. Tidak kah Nakula bisa bersikap lebih professional lagi pada Jane.
"Ya terus apa hubungannya dengan saya Pak?" tanya Jane kesal.
"Sebagai karyawan, ya kau nurut saja sama perintah bos dong. Kenapa banyak protesnya sih."
Nakula sudah membukakan Jane pintu. Dengan amat terpaksa, perempuan itu masuk ke dalam mobil. Wajahnya benar-benar menunjukan sisi yang buruk.
"Nikmati saja deh. Kita kan mau makan siang. Sekaligus mau aku kenalkan sama teman, dia juga sekalian akan membantu pembangunan laboratorium kita."
Jane berpikir sejenak, "maksudnya Bu Asmara?" tanya Jane yang penasaran dengan itu.
"Iya, tapi ada satu orang lagi juga. Kita sekalian bahas ini sekalian."
Jane mendesah, dia masih tidak rela dengan ini semua. Bisa-bisanya dia yang ditunjuk oleh Nakula untuk menemaninya.
"Ya kan ada Pak Anta. Kenapa harus saya, coba?" keluh Jane lagi.
"Anta sedang ikut Pak Samuel. Karena saya tidak bisa ikut. Pak Sam juga yang minta, karena Anta lebih pengalaman di kota Jakarta."
Jane merasa tertarik dengan kalimat terakhir yang Nakula katakan. "Loh kan kau juga asli Jakarta. Kenapa tidak tahu perihal ini?"
"Ya kan aku lama di Rusia, Sayang."
Jawaban Nakula membuat desiran di hati Jane. Dia begitu merasa tersanjung dengan kata terakhir yang diucapkan Nakula.
"Em, lebih tidak enak didengar kata yang terakhirnya ya."
"Yang mana?" pancing Nakula ingin melihat rekasi Jane.
"Ya yang itu."
"Yang mana?"
Nakula semakin mengerjai Jane. Dia ingin melihat kata itu keluar dari bibir Jane.
"Ah semasa bodoh deh. Pokoknya yang itu."
Nakula tertawa di depan Jane. Dia begitu merasa lucu. Jane juga seperti salah tingkah begitu. Benar-benar menggemaskan.
"Ayo turun."
Tanpa terasa mereka sudah sampai di restoran janjian mereka. Sudah ada Asmara dan seorang pria yang melambai ke arah mereka.
"Hai Jane. Aku pikir Nakula datang sendiri. Kau belum aku pesankan. Sebentar ya."
Asmara terlihat berdiri, tapi Jane mencegahnya.
"Eh maaf Bu, biar saya pesan sendiri saja."
Asmara mengangguk. Dia menjadi tidak enak. Nakula tidak memberitahunya lebih dulu tadi.
"Maaf ya Jane. Nakula sih benar-benar tidak memberitahu." Asmara melotot galak pada Nakula. Menyebalkan sekali sepupunya itu.
"Ya mana aku tahu juga kau akan memesankan makanan untukku," sahut Nakula tidak acuh.
"Ck dasar."
Jane menyugar anak rambut ke belakang telinga. Hal itu tertangkap mata oleh Nakula.
"Em yang sebelah tidak ikut disugar Jane?" tanya Nakula dengan pandangan jahilnya.
"Hah?"
Jane mendadak lambat berpikir. Dia menatap ke arah Asmara dan satu orang temannya mencari jawaban.
Tidak lama, Nakula menyugar rambut bagian sebelahnya. Hal ini tentu saja menjadi ledekan bagi orang yang melihatnya.
"Ya Tuhan, lihatlah mereka mesra-mesraan," ucap Asmara yang terang-terangan meledek.
"Apa sih. Kalian juga bisa kali," ucap Nakula sambil melempar tisu bersih yang sudah digulung ke arah Asmara.
"Ih Nakula jorok," kata Asmara sambil menghindari serangan Nakula.
"Itu bersih, tahu gitu aku beri kotoran hidung," ucap Nakula yang menyesal.
"Eh sebentar. Bu, kok tidak marah Pak Nakula bersikap seperti itu pada saya?" tanya Jane yang heran dengan sikap Asmara tadi.
"Eh?" Asmara gelagapan mendengar protes dari Jane. Apa lagi sudah ada tatapan menusuk dari Nakula.
"Kau bilang apa pada Jane soal kita?" tanya Nakula.
"Jane, ini kenalkan Alfa. Pemilik Bhalendra Grup. Dia yang menjadi kunci di perjanjian kerja sama antara kita," ucap Asmara yang mengalihkan percakapan. "Mas Alfa ini Jane, di bagian finance yang mengatur dana yang keluar masuk di perusahaan Nakula. Jadi kalau ada keperluan tekait pembiayaan bisa lewat dia. Iyakan Jane?"
Jane mau tidak mau mengangguk. Dia tersenyum ramah pada Alfa. Sosok itu juga tersenyum ke arahnya. Mereka berkenalan dengan saling lempar senyum canggung.
"Ehem. Jadi mau menghindar rupanya."
Nakula tidak membiarkan itu terjadi. Dia melemparkan pandangan menyelidik ke arah Asmara. Bermaksud untuk Asmara memberikan keterangan lebih jelas terkait hubungan mereka.
"Begini ya Jane, jadi sebenarnya aku ini bukan istri Nakula. Kami ini sepupu dari pihak Ibu. Begitulah kira-kira."
Jane terperangah syok. Jadi selama ini dia salah paham. Pantas saja Nakula berani menggodanya di depan Asmara.
"Ya begitu kira-kira. Maaf ya."
Untungnya makanan yang mereka pesan telah tiba. Mereka makan dengan begitu lahapnya. Melupakan kesalahpahaman yang terjadi. Terlebih Jane bisa lebih santai dengan mereka. Dia juga lancar menjawab pertanyaan Alfa terkait keuangan mereka.
Bukan membongkar habis kondisi keuangan, tapi lebih kepada teknisnya. Seperti bagaimana mereka akan membayar jika mendekati waktu tempo.
"Kudengar kau rekomendasi Pak Samuel ya?" tanya Asmara lebih lanjut.
"Benarkah? Kau yang ditunjuk Pak Samuel secara langsung? Hebat sekali," timpal Alfa yang terang-terangan memuji Jane.
"Eh iya benar. Tapi aku tidak sehebat itu kok."
Jane merasa malu telah dipuji sedemikian rupa oleh mereka berdua. Dia menatap ke arah Nakula yang juga menatap kagum dirinya.
"Tapi kau memang hebat. Baru beberapa hari di Jakarta sudah menguasai medan sini," lanjut Asmara yang memuji Jane.
"Itu karena aku pernah kuliah di sini dulu. Meski hanya dua semester. Ibuku juga orang sini. Jadi secara tidak langsung paham dengan budaya orang Indonesia, khususnya Jakarta. Termasuk budaya kerja juga," jelas Jane panjang lebar.
Hal itu memanglah tidak dia dapatkan secara instan. Ada proses panjang di belakang itu.
"Ah begitu rupanya. Apa kau akan seperti ayahmu yang ingin memiliki pasangan orang Indonesia?" tanya Asmara santai. Ekor matanya melirik ke arah Nakula. Bersiap menggoda.
Tapi Jane justru menggeleng. Hal ini tentu saja mematik rasa penasaran di antara tiga orang yang sedang bersamanya.
"Aku tidak pernah berpikir jodohku orang mana. Lagi pula memiliki kekasih atau menikah nanti juga bukan prioritas bagiku," ungkap Jane yang tentu saja membuat sisi pertanyaan baru di antara ketiganya merebak.
***