Selepas makan malam. Nakula memang meminta Jane untuk segera tidur. Mantan kekasihnya itu begitu protektif kepada Jane untuk saat ini. Tidak heran, sakit seperti ini saja, Nakula begitu menjaga Jane.
"Kau pulang saja sana Nakula. Aku baik-baik saja," ucap Jane pada Nakula yang saat ini justru berada di sanpingnya. Mereka duduk bersandar di ranjang yang sama.
"Ck. Kau benar-benar terus mengusirku. Biar apa?" ucap Nakula dengan ekpresi cemberut. "Biar kau bisa memasukan laki-laki lain ke sini hah?"
Dituduh seperti itu, Jane segera melotot. Dia tentu saja tidak terima dituduh seperti itu.
"Yang benar saja kau kalau menuduh. Mana pernah aku memasukkan laki-laki lain. Kau saja masuk sendiri ke sini. Padahal sudah aku usir."
Jane sudah membalikkan badan menghadap Nakula. Dia sudah siap menoyor kepala pemuda tersebut. Malas sekali untuk beradu hal yang tidak dia lakukan. Untung saja kesehatannya sudah lebih membaik.
"Oh ya? Jadi suara tadi di telepon itu siapa? Tidak mungkin kau menyamar menjadi laki-laki bukan?" tanya Nakula kesal. Kalau ingat percakapan tadi, dia kesal sendiri.
"Oh Julio maksudmu?" ucap Jane yang baru mengingat Julio mendatanginya saat sedang berbincang dengan Nakula. Karena itu juga, Nakula mematikan panggilan tiba-tiba.
"Iya. Kenapa si brengsek itu bisa ada di sini?"
Jane merotasi bola matanya. Dia tidak suka Nakula mengata-ngatai temannya sedemikian rupa.
"Enak saja kau memanggilnya brengsek. Julio laki-laki baik. Dia juga tidak pernah macam-macam terhadapku seperti yang kau lakukan."
Nakula mendadak murung. Dia tidak suka ketika Jane membela pria itu. Sama saja dengan mengatainya yang tidak baik.
"Kau kenapa membela dia. Ada hubungan apa kalian? Tadi pagi dia membelikan kau kopi. Sekarang dia datang ke apartemen kau. Tahu dari mana dia alamat ini?"
Nakula menunjukan sisi protektif yang begitu menggerahkan. Bahkan Jane sendiri saja sampai bingung mau menjawab yang mana dulu. Tapi, apa untungnya juga buat dia menjawab perkataan Nakula.
"Kok diam saja. Tidak menjawab?" tanya Nakula yang mana setelah sekian menit menunggu, tidak juga mendapat jawaban.
"Ya harus sekali memang aku menjawab. Tanyamu saja tidak wajar begitu."
"Apa yang tidak wajar coba. Aku tanya ini karena selain kau mantan kesayangan, kau juga bawahan di kantor. Kalau si Julio brengsek itu macam-macam padamu, kantor milikku yang akan jadi sasaran juga."
"Ya tidak perlu bilang mantan kesayangan juga. Harus sekali itu disebut apa."
Jane merasa tidak perlu saja menjawabnya. Lagi pula, tidak ada hubungannya juga dengan pekerjaan di kantor. Niat Julio juga hanya meminta tolong sebagai teman. Tidak lebih dari itu.
"Ya harus. Biar kau juga tahu. Kalau ...."
Nakula tidak melanjutkan kata-katanya. Membiarkan meluap begitu saja.
"Terserah saja deh Nakula. Yang jelas, kalau soal kenapa Julio ke sini. Tadinya dia mau minta tolong untuk menemaninya ke acara sahabatnya. Berhubung aku tidak bisa, dia datang sendiri," sahut Jane dengan jujur.
"Minta ditemani? Maksudnya kau jadi pasangan dia begitu?"
Jane sontak mengangguk. Membenarkan apa yang dipikirkan Nakula.
"Astaga. Mana bisa kau terima begitu saja. Lain kali tidak perlu kau tanggapi."
Jane melayangkan tatapan tajam ke arah Nakula. Pemuda itu begitu serius mengatakan. Yang menjadi keheranan, mana bisa Jane diatur begitu saja oleh Nakula.
"Ya tidak bisa begitu dong Nakula. Julio itu temanku selama di Singapura dulu. Lanjut ke sini juga, dia yang pertama kali aku kenal. Bahkan apartemen ini juga dia yang carikan. Mana mungkin kalau dia meminta tolong—"
"Apa?"
Belum selesai perkataannya. Sudah lebih dulu dipotong Nakula. Pemuda itu bahkan memajukan tubuhnya ke arah Jane.
"Apartemen ini dia yang carikan?"
Jane langsung mengangguk. "Iya benar. Kenapa memang?"
Nakula menggeleng kuat. "Tidak bisa. Kalau dia yang carikan, dia akan bebas ke sini. Besok kita pindah. Biar aku saja yang carikan. Kau tidak perlu khawatir biaya dan lainnya."
"Astaga Nakula. Kau ini tersumbat setan dari mana. Bicaramu mengelantur ke sembarang arah," sahut Jane yang mulai sebal dengan ucapan Nakula. "Aku tidak ingin pindah ke mana pun. Apartemen ini sudah terlalu nyaman aku tinggali."
Jane seperti melupakan sosok Nakula yang pemaksa. Dia tidak benar-benar menyimak dengan baik. Kalau Nakula sudah berkata pindah. Itu artinya tidak ada kesempatan baginya untuk lari.
***
Pagi-pagi sekali, kantor sudah begitu ramai. Jane yang memutuskan pergi ke kantor dibuat heran dengan hal ini.
"Bu Jane!" panggil Siska. Gadis itu berjalan cepat ke arah Jane yang terlihat bingung di lobi kantor.
"Bu, apa sudah sehat? Saya khawatir sekali," sahut Siska yang menunjukkan perhatian tulus. Terlihat sekali dia merasa khawatir pada atasan barunya.
"Sudah. Terima kasih bantuannya."
Jane tersenyum ramah. Dia tidak ingin menunjukkan gelagat sakit lagi. Meski kondisinya belum benar-benar pulih. Tapi teringat pekerjaan yang menggunung, membuatnya enggan untuk santai-santai di rumah.
"Sama-sama Bu. Tapi yang paling membantu kan kemarin Pak Nakula."
Jane kembali tersenyum. "Iya. Saya sudah bilang terima kasih kok ke beliau."
"Oh ya. Ini ramai-ramai ada apa?" tanya Jane yang sudah fokus ke hal di sekitar mereka.
"Oh ini, Bu. Pak Nakula traktir sarapan pagi di kantor. Soalnya kedatangan sanak keluarga yang dari Rusia."
"Hah, sanak keluarga dari Rusia?" tanya Jane heran. Dia baru tahu kalau Nakula memiliki saudara dari Rusia.
"Iya Bu. Datang sama anak-anak juga kok. Sudah ada di ruangan Pak Nakula."
Jane mengangguk saja. Dia tidak tahu perihal ini. Selama ini Nakula hanya cerita tentang ayahnya yang pekerja tambang begitu sibuk. Jarang pulang ke rumah. Sementara ibu dan saudara kembarnya sudah meninggal. Mengenai sepupunya saja, dia baru tahu tempo lalu.
"Oh begitu. Ya sudah, saya ke ruangan dulu ya," ucap Jane yang sudah bergegas.
"Loh Bu, gak sarapan dulu?" tanya Siska yang melihat Jane pergi begitu saja.
"Saya sudah sarapan. Duluan ya."
Jane tetap berjalan ke ruangannya. Dia tidak tahu mengapa sisi hatinya merasa tidak nyaman. Entah mengapa, mengetahui Nakula memiliki saudara yang sampai-sampai dijamu seperti ini. Membuatnya merasa asing. Jane tidak benar-benar mengetahui Nakula.
Baru saja masuk ke ruangan. Kembali pintu diketuk dari luar. Jane memutuskan membuka sendiri untuk melihat siapa yang datang.
"Pagi Bu Jane."
Ternyata ada Anta yang sudah berdiri di depan pintu. Di bawahnya tampak anak kecil yang tangannya digandeng Anta.
"Wow beautiful. Pantas Paman tidak bisa move on," sahut anak kecil yang tepana ke arah Jane. Dia sampai mendoangak untuk bisa melihat gadis di depannya.
"Eh. Kau namanya siapa? Tampan sekali," ucap Jane. Dia sampai mensejajarkan diri dengan anak tersebut.
"Tampan mana sama Paman Nakula?"
Jane melirik ke arah Anta yang sedang menahan tawa. Sementara Jane sendiri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Harus menjawab apa di depan anak sekecil ini.
***