Peralihan musim semi ke musim gugur mengingatkan Junwoo pada sebuah taman tempat biasanya ia dulu selalu bersantai bersama Hana. Memperhatikan dan membicarakan pasangan lain, orang tua yang mengajak anaknya bermain, dan mengomentari cuaca saat menaungi mereka.
"Jadi menurutmu, kalau anak-anak itu bermain di taman akan lebih baik dibandingkan di rumah?"
Junwoo memindahkan pandangannya ke arah Hana, pertanyaan perempuan itu membuatnya bingung. "Anak-anak apa? Maksudmu?"
Hana menunjuk setiap sudut taman yang dipenuhi anak-anak berlari dan tertawa, "mereka. Apa anak kecil bisa sebahagia itu?"
"Jamkkan," Junwoo menarik Hana mendekati salah satu bangku taman, mengajaknya duduk dan mengutarakan pertanyaan tertahan dari bulan-bulan sebelumnya, "kau suka dengan anak kecil? Kenapa pembahasanmu tidak pernah jauh dari keluarga dan anak?"
Hana menumpukan kedua tangannya pada bangku, membiarkan embusan angin menerpa wajah dan mengibarkan helaian rambut panjangnya. Memainkan kakinya maju mundur sembari terus menatap orang-orang di taman. "Aku tidak tahu apakah Tuhan memberikanku kesempatan menjadi seorang ibu. Entahlah, dekat dengan anak kecil membuatku bahagia." Satu tolehan disertai senyum mengembang hingga mata almond Hana menyipit, membuat Junwoo diam untuk merekam rangkaian kejadian tadi dalam otak kecilnya.
"Kau ingin punya anak berapa?"
Perempuan cantik bagi Junwoo membuka kedua tangannya selebar mungkin, "manhi." Lalu ia tertawa tanpa henti.
Junwoo menghentikan langkahnya menekan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di permukaan. Memori tentang Hana menjadi semakin sulit ia hilangkan. Kembali pada tahun sebelum dirinya mengenal Hana ternyata tidak semudah pikirannya. Dia masih tetap tidak bisa menerima rasa kehilangan. Waktu semakin cepat berjalan tetapi Junwoo tetap diam di tempat.
"Aw…" Junwoo mengembalikan kesadarannya ketika seseorang menubruk dirinya dari arah belakang. Cepat, ia berbalik untuk memastikan perempuan yang menabraknya baik-baik saja. Terlihat perempuan itu mengusap dahinya sementara tas beserta isinya jatuh berserakan di jalan aspal taman.
Merasa tidak asing pada reka kejadian di depannya, Junwoo menurunkan tubuhnya untuk membantu memunguti barang-barang milik perempuan yang…sial, bukan seperti ini kejadian yang diharapkan Junwoo.
"Gwaenchana?" Suara Junwoo terlalu pelan seperti berbisik.
Perempuan itu mengangkat wajahnya melihat Junwoo dengan tatapan memelas. Berbeda dengan reaksi Junwoo. Ia membeku, tidak siap berhadapan langsung pada Hana. Egonya mulai memberontak tidak karuan. Mendengarkan pesan Robert atau isi hatinya?
Seperti dirasuki sesuatu, tangan Junwoo bergerak mengambil barang-barang Hana tanpa memedulikan tatapan heran dari Hana. Junwoo langsung menyerahkan isi tas milik Hana lalu tergesa-gesa ia berdiri dan berjalan sangat cepat.
Tidak, untuk menyelamatkan istrinya ia harus menyiapkan segalanya dengan matang. Ia paham pergerakannya di garis waktu ini tidak bisa dimainkan seenaknya. Ada seorang perempuan kecil di masa depan yang menjadi tanggung jawab Junwoo. Namun, bukankah ia sudah membayar sangat mahal untuk bertemu kembali dengan Hana?
"Ah, persetan dengan resiko," umpatan batin Junwoo mengalahkan akal sehatnya. Ia berbalik ke tempat Hana yang masih misuh-misuh sendiri, meratapi tabletnya yang retak.
"Di dekat sini ada tempat untuk membetulkan tabletmu." Tawaran Junwoo bagai tak terdengar di pendengaran Hana. Ia masih mengoceh sendiri lengkap menggunakan kalimat-kalimat umpatan dalam bahasa Indonesia. Junwoo tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Ciri khas Hana saat sedang terburu-buru tetapi mendapatkan kesialan di luar rencana. "Tabletmu baik-baik saja, hanya perlu mengganti layar depannya."
Hana mendengus, "kau tahu apa? Bukankah tadi kau berjalan sangat cepat meninggalkanku, kenapa kembali?"
"Tidak malu dilihat orang?"
"Siapa?" Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman, "tidak ada satu pun manusia yang peduli padaku. Aish, kenapa jadi berbicara pada makhluk asing." Hana segera berdiri, menepuk-nepuk sisa kotoran pada blazer dan celananya. "Di mana tempat yang kau bilang tadi? Aku sedang buru-buru."
Junho memberikan jalan pada Hana, mempersilakan tuan putri untuk berjalan lebih dulu. Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk berbicara pada Hana. Maka, ia menolak untuk memberitahu Hana dan menawarkan diri untuk mengantarkan sampai tujuan. Meskipun merasa aneh akan perlakukan laki-laki asing itu, Hana menurut untuk mengikuti Junho dengan ancaman jangan sampai menipu dan berbuat macam-macam. Junho mengiyakan karena seorang Hana yang sedang meradang tidak dapat dilawan oleh siapa pun.
Persis seperti ucapan Junwoo, tablet Hana hanya perlu perbaikan pada layarnya saja tanpa harus mengganti apalagi melenyapkan segala macam data di dalam tablet tersebut.
"Ditunggu 30 menit."
"Hah? Apa tidak bisa lima menit? Saya sedang buru-buru." Penolakan jelas terlihat dari perkataan dan gestur tubuh Hana.
Junwoo menepuk bahu Hana, "bahkan untuk memasak ramyeon kau harus menunggu. Tidak ada jin yang bisa membantumu secepat kilat saat ini."
"Ya!!!" Teriakan Hana memancing orang-orang di dalam tempat service. Merasa risih pada perempuan tidak tahu aturan. "Aku tidak peduli pada jin atau setan sekalipun. Semua data untuk pertemuanku kali ini berada di dalam tablet itu, sengaja aku meninggalkan laptop karena tidak ingin repot."
Junwoo mengerti, ia tidak membalas cercaan Hana padanya. Ia memanggil kembali salah satu karyawan, meminta tablet Hana sebelum diperbaiki dan meminjam dua buah kabel.
"Apa yang kau lakukan?"
Junwoo menadahkan tangannya meminta ponsel milik Hana, "percaya padaku kalau tidak ingin terlambat ke pertemuanmu." Hana mau tidak mau menyerahkan ponselnya pada Junwoo. Entah apa yang ingin diperbuat laki-laki asing di depannya tetapi Hana bisa melihat sangat jelas, tangan lelaki itu sangat lihai memindahkan segala macam data miliknya hanya menggunakan satu ponsel.
Hana sejujurnya merasa aneh pada ponsel milik Junwoo. Ia tidak pernah melihat ponsel itu pada merek manapun. Ponselnya sudah paling canggih yang ia punya saat ini tapi tidak memiliki kapasitas untuk melakukan seperti yang Junwoo lakukan. Bagaimana ponsel setipis itu bisa memindahkan dan menjaga semua data pentingnya dari serangan virus malware?
"Memorimu boleh kulepas dulu?" Hana mengangguk cepat, saat ini yang paling penting adalah ia bisa segera berangkat ke tempat rapat sebelum Seoga mengamuk. Bukan hanya Hana yang merasa aneh pada tindakan Junwoo, dua orang karyawan pun nampak terpukau.
"Kau pernah bekerja di tempat service atau bagaimana?" Hana tidak tahan untuk bertanya.
Junwoo menggeleng, jari-jarinya masih berkutat pada ponselnya dan ponsel Hana. "Igeon.." Junwoo memasangkan kembali kartu memori milik Hana sesuai tempatnya lalu menyerahkan pada perempuan yang masih menunggu jawabannya, "kau bawa proyektor mini?"
Hana merogoh ke dalam isi tasnya, "igeo?"
"Maja, nanti tinggal sambungkan pada ponselmu. Semua datamu sudah ku back up." Hana menerima ponselnya seperti barang berharga yang akan dijaga baik-baik tanpa boleh lecet sedikit pun.
Hana membungkuk berkali-kali, mengucapkan banyak terima kasih karena sudah merasa tertolong di dalam keadaan genting.
"Ya, ya gwaenchana. Palli gayo, bukankah kau takut bos besar akan mengamuk kalau kau terlambat datang?"
"Heh?"
Junwoo memutar tubuh Hana dan mendorong perempuan itu agar segera pergi. "Jamkkan, jamkkan bagaimana kau tahu kalau…"
"Palli Park Hana!"
"Ya!!!!"
"Remember, I already copied your data. Aku menunggu tabletmu sampai selesai, kabari saja kau rapat di mana nanti kuantar."
"Geureom…"
"Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu." Junwoo tidak menerima lagi segala macam ucapan Hana yang merasa terancam sekarang akan kehadiran dirinya. Sempat tertahan tidak ingin pergi sampai satu kalimat meluncur dari mulut Junwoo membuat Hana bergegas tanpa pikir panjang. "Park Seoga sudah menghentakkan jari-jarinya di atas meja."
_______________________________________