Chereads / One Time (Time Traveler) / Chapter 36 - Time Travel

Chapter 36 - Time Travel

Junwwo tidak bisa berhenti berkedip melihat mesin waktu yang dibuat Robert. Begitu besar dan pantaskah ia menyebut ini mewah? Peralatan yang tertempel di rakitan besi ini sangat canggih. Langkahnya memutari mesin waktu berbentuk lingkaran besar dengan kilatan cahaya menjorok kedalam.

Tidak hentinya mulut Junwoo berdecak kagum pada hasil karya Robert dan anak buahnya. Penantian satu tahun lebih membuat Junwoo semakin bersemangat untuk segera mencoba mesin waktu ini.

"Thank you, because you're funded, I can make my dream come true," ujar Robert seraya menepuk pundak Junwoo.

Junwoo tersenyum senang, bukan karena ucapan Robert padanya. Kepalanya sudah berisi banyak bayangan tentang Hana. Perasaannya berdesir hebat, tidak sabar bertemu kembali dengan istrinya, Hana-nya.

"Kapan aku bisa mencoba mesin ini?"

Gelengan kepala digerakkan oleh Robert. Memang betul apa yang diucapkan oleh Tuan Jung, bahwa laki-laki di sisinya sudah tidak punya akal sehat. Padahal untuk merasakan perjalanan waktu ke masa lalu akan menguras tenaganya. Robert sepertinya tidak perlu mengatakan kalau perbuataan Junwoo akan menimbulkan efek luar biasa pada tubuhnya. Ini tidak lagi membicarakan kecepatan sebuah mobil berlalu kencang ataupun seekor hyena saat berlari. Perjalanan menebus lontaran waktu ke tahun 2022 akan membuat laki-laki ini seperti tercabik-cabik melawan kecepatan cahaya.

"Take a rest, Junho-ssi. Persiapkan mentalmu, kau tidak perlu diberitahu kalau ini akan sangat menyakitkan, bukan?"

Junwoo mengangguk paham, untuk hari ini dia tidak ingin membantah. Perjalanan 20 jam dari Seoul ke Seattle sudah menguras tenaganya. Bertemu Hana, ia harus menyiapkan fisik sebaik mungkin. Maka, Junwoo meminta waktu pada Robert agar dapat beristirahat sejenak sebelum benar-benar mengalami fenomena dunia yang banyak diragukan oleh orang.

Di dalam kamar hotelnya, Junwoo melakukan panggilan video. Ia sempat melirik jam tangan miliknya, perbedaan waktu empat jam lebih cepat di Seoul tidak menyurutkan niat Junwoo untuk melihat anaknya sebelum risiko perjalanan waktu ini akan mengubah segalanya.

Chan Young berdecak kesal saat menerima panggilan video Junwoo. "Kau tidak melihat jam? Ini sudah pukul setengah sepuluh malam, Lee Junho."

"Ara, aku hanya ingin melihat Na Mi."

"Memang tidak bisa besok? Na Mi sudah tidur bersama Woojin di kamar sebelah. Aku tidak ingin membangunkan anakmu."

"Tidak perlu dibangunkan, dekatkan saja ponselnya pada Na Mi."

Chan Young beranjak dari kasurnya, bergerak menuju kamar anak tepat di sebelah kamarnya. "Palli, besok pagi aku masih harus mengurus tiga manusia." Junwoo mengiyakan ucapan kakaknya. Di ranjang sebelah Woojin, nampak putri kecilnya tertidur penuh kedamaian. Sunggingan senyuman tercetak lebar pada seluruh bibir Junwoo. Ia tidak pernah menyesali wajah Na Mi sangat mirip dengan Hana. Pipi tembamnya semakin menggemaskan lengkap dengan mulut menganga saking pulasnya ia tertidur. Benar-benar Hana, andai Junwoo berada di dekat Na Mi, sudah habis anak itu dijahili oleh ayahnya sendiri.

"Na Mi-ya, mianhae untuk dua minggu ke depan Appa tidak bisa menemanimu tidur, bermain, menceritakan tentang eomma," entah mengapa suara Junwoo tercekat sendiri. "Appa sedang mengurus banyak hal di sini. Mewujudkan mimpi Appa. Kalau…" Junwoo menghentikan ucapannya sejenak. Ia menatap kota Seattle dari balik jendela kamar hotel. Apakah saat ia kembali membawa Hana, suasana masa ini masih akan terlihat sama?

"Jadi anak yang baik bersama imo dan Woojin oppa. Kalau ada sesuatu di luar kendali Appa, ingat ini Na Mi-ya. Kau akan selalu menjadi putriku, anak perempuan baik milik Appa dan eomma. Semoga kau masih menjadi Lee Na Mi yang ku kenal."

Chan Young mengernyitkan dahi mendengar pesan tidak wajar adiknya. Bukankah ia ke Seattle hanya untuk urusan bisnis, kenapa suaranya terlalu menyedihkan disertai pesan, seolah-olah Junwoo akan pergi jauh meninggalkan anaknya? "Ya Lee Junwoo, tidak perlu berkata macam-macam. Biasanya kau kembali tanpa ada masalah, bisnis apa yang kau kerjakan sebenarnya?" Chan Young memutar mode ponselnya menghadap depan. Hati-hati ia keluar dari kamar anak.

"Mimpiku Nuna, akan kuberitahu kalau waktunya tepat. Saat ini, aku hanya bisa meminta bantuanmu untuk menjaga Na Mi. Bisa kau lakukan itu untukku?"

"Aku sudah menganggap Na Mi seperti anakku sendiri, jadi cepatlah kembali dari urusan mimpimu dan berhentilah membuat orang lain khawatir Junwoo-ya. Semenjak Hana pergi, eomma selalu takut pada kondisimu."

Wajar bila ibunya mengkhawatirkan dirinya, ia sendiri merasa tidak seperti Junwoo yang dulu. Selalu penuh alasan untuk menghindari keramaian. Banyak melewatkan waktu berkumpul bersama keluarga kalau tidak memiliki kepentingan. Namun, ia yakin setelah ini saat Hana kembali, semua akan kembali sama seperti dulu.

Setelah memilih menenangkan diri selama tiga hari, Junwoo kembali ke laboratorium milik Robert. Penuh keyakinan ia menandatangani surat perjanjian dan kesehatan pada Robert. Junwoo mewajarkan apabila Robert tidak mau bertanggung jawab atas segala risiko yang terjadi pada saat ia melakukan perjalanan waktu. Ini pilihannya menjadi kelinci percobaan. Setidaknya ia sudah menyiapkan hal-hal penting untuk diberikan pada Na Mi, berjaga kalau proyek ini akan melenyapkan dirinya. Tidak kembali pada Na Mi secara utuh.

"Ready?" Robert bertanya sekali lagi sebelum Junwoo memasuki lorong waktu buataannya.

"If you ask one more time, I will burn this machine." Lama kelamaan Junwoo mulai jengah akan rasa khawatir dua ilmuwan sinting yang sudah banyak membantunya. Meski Tuan Jung kali ini tak dapat menemani, dia sudah mewanti-wanti Junwoo dari jarak jauh.

Robert memberikan suatu alat dengan dua tombol, "alat ini akan membawamu kembali ke Seoul atau ke sini. Biru untuk Seoul dan merah untuk Seattle. Jangan bertanya tentang mesin waktu di Seoul. Kau tentu tahu bagaimana Jung mempersiapkan segalanya di sana, kan?"

"Eo, bagaimanapun hanya kalian manusia-manusia gila yang berani mewujudkan mimpi sintingku. Jadi aku mempercayakan segalanya pada kalian."

"Baiklah, bersiap di depan pintu besi. Kuberikan aba-aba kalau mesin ini sudah siap membawamu pergi." Robert memberikan tepukan halus pada kedua bahu Junwoo. "Ah, sebelum aku melupakannya," Ilmuwan itu membalikan lagi tubuhnya, "selama di sana, redakan egomu untuk tidak berbicara atau terlibat terlalu jauh dengan Hana."

Junwoo menelengkan kepalanya bingung, "lalu caraku menyelamatkan Hana bagaimana, kalau tidak boleh mengajaknya berbicara?"

"Sekedar menyapa dan menatapnya dari kejauhan tidak akan menjadi masalah. Dan, ayolah aku tahu kau cerdas Tuan Lee. Pergunakan otakmu untuk menyelamatkan istrimu tanpa perlu kau berinteraksi langsung dengan dirinya." Robert kali ini benar-benar berlalu tanpa perlu tahu apa isi kepala Junwoo saat ini.

Menerima peringatan pertama untuk segera bersiap mendekat pada mesin waktu yang sudah siap beroperasi, Junwoo menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan secara perlahan. Tangan kanannya meraih tuas pembuka pintu besi. "Can't wait to see you, Hana-ya." Ia tarik tuas itu ke atas, membuka ruangan gelap kosong tanpa siapa pun menemaninya.

"Remember what I said Lee Junwoo. May God always bless your way." Suara Robert menggema di dalam ruangan itu. Junwoo tak mampu melihat apa pun ketika pintu tertutup rapat. Ia berdiri untuk merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Satu menit berlalu, dua menit sedang berjalan pada waktunya hingga tanpa Junwoo sadari, suhu dalam ruangan itu perlahan menghangat dan secepat kilat berganti menjadi sangat dingin untuk membawa tubuhnya pelan-pelan melayang.

"Robert what did you…" ucapan Junwoo tidak pernah selesai karena tanpa peringatan, tubuhnya ditarik ke atas sangat cepat. Ia bisa merasakan paru-parunya tertekan dan pasokan oksigen semakin tipis. Kulitnya terasa terbakar, setiap tulang dalam tubuhnya ingin patah, dan tak kalah menyakitkan ketika pandangannya mengabur faktor tekanan cahaya kuning dan jingga yang mendominasi penglihatannya.

Junwoo memasrahkan dirinya, organ di dalam tubuhnya seperti berontak ingin keluar dari tubuhnya. Kecepatan cahaya, 280.000.000 kilometer per detik, mematikan kesadarannya untuk berpikir. Hatinya hanya bisa mengumpat, memaki dua ilmuwan yang tidak memberitahu hal menyakitkan yang dimaksud akan seperti ini rasanya.

"ARGHHHHHHH SIALAN!!!! DARIPADA MEMBERITAHUKU TENTANG HAL INI, KALIAN LEBIH SERING MENGOCEH TENTANG TEORI-TEORI GILA YANG SEDIKIT PUN TAK KUPAHAMI!!!! SAEKKIYA!!!!!"

BRUG!!!!Dentuman cukup kencang di depan kafe langganannya, membuat perempuan bermata almond sampai melongo melihat keadaan di luar kafe. "Waa apa dia membawa beban 100 kilo? Kenapa terjatuh saja seperti habis menabrak meteor?"

"Tidak perlu dihiraukan, kembali pada masalahmu Park Hana. Bagaimana kau bisa teledor tidak mengecek lokasi di Gangnam, huh? Kau mau perusahaan merugi?" Seoga menjentikkan jarinya berkali-kali agar adiknya kembali fokus pada masalah kantor.

Hana menjauhkan wajahnya dari jendela kafe, ia lebih tertarik pada laki-laki aneh di luar daripada mendengar ocehan kakaknya. "Aku sudah mengeceknya, Oppa. Bukan salahku kalau anak buahmu tidak bisa menghitung harga per meter di sana dengan benar."

Junwoo menghirup udara banyak-banyak, mencari pasokan oksigen untuk memenuhi paru-parunya. Orang-orang disekitarnya menatap tidak percaya, mencari tahu penyebab Junwoo terjatuh. Tangannya bergerak menghalau setiap orang agar tidak mengerubunginya, ia butuh memulihkan diri dari perjalanan laknat barusan.

Saat ia mencoba untuk berdiri, meskipun kepalanya berdenyut tidak karuan. Mata sipitnya tidak bisa berhenti menatap pemandangan di hadapannya. Perempuan manja sedang bersedekap menatap laki-laki yang duduk di depannya dengan tatapan penuh kekesalan. Gerakan mulut dibuat-buat seolah menyindir, membuat Junwoo menahan tawa.

"Dari dulu pun kau tetap menyebalkan Park Hana." Menepuk dirinya sendiri dari kotoran apa pun yang menempel pada sweaternya, Junwoo mencoba berjalan sedikit lebih dekat. "Aku kembali, Jagiya."

__________________________________________