Tuan Jung dan Robert memperhatikan Junwoo lekat-lekat. Merasa risih karena diperhatikan terlalu berlebihan, Junwoo menutup berkas proposal yang diajukan Robert padanya. "Aku tidak akan mundur. Teori sial yang kalian terus katakan padaku, tidak akan mengubah keputusanku."
"Humm, kau tidak ingin mengatakan sesuatu pada putrimu?"
Junwoo menghela napas mendengar pertanyaan berulang dari Robert, "aku masih akan kembali ke Seoul. Selama kau membangun mesin waktu itu, aku akan menghabiskan banyak waktu bersama putriku."
Tuan Jung menepuk bahu Robert, ia menggeleng pelan. Junwoo akan tetap menjadi Junwoo, seberapa pun kerasnya dua ilmuwan itu menceritakan dan menggambarkan segala resiko yang harus dihadapi nanti. Ketika seseorang merasa memiliki hak untuk mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya, akan berubah menjadi manusia kepala batu.
"Waa aku tidak tahu kalau di Seattle ada roti panggang seenak ini." Tuan Jung menyeka jejak remah roti dari mulutnya. Setelah beradu argumen dengan Junwoo, akhirnya laki-laki gila di hadapannya menuruti Tuan Jung untuk ikut berjalan mengelilingi Seattle.
"Hana dulu sering membuatkanku roti panggang lengkap dengan campuran tidak masuk akal, tapi anehnya itu terasa enak."
Tuan Jung mengulum senyumnya, "ceritakan padaku tentang Hana-mu. Kau terlalu sering menyebutkan namanya tapi tidak pernah menceritakan kisahnya, Junwoo-ssi."
Hana? Banyak sekali hal yang bisa diceritakan Junwoo tentang Hana. Tidak cukup satu atau dua jam, membicarakan perempuan itu. Hal-hal kecil pun dapat diceritakan secara jelas oleh Junwoo.
Bukan tidak mau menceritakan Hana, tetapi itu seperti membuka lembaran luka. Rencana yang sudah tersusun rapi di benak Junwoo harus dilenyapkan ketika tubuh Hana remuk di tangannya sendiri.
Cukup sebatas mengatakan apa yang membuat Junwoo ingin Hana kembali padanya. "Matanya, aku melihat masa depanku melalui matanya."
"Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?"
Junwoo mengekeh mendengar pertanyaan Tuan Jung. "Bukankah kau sering mengatakan sesuatu? Silakan tapi jangan tentang keraguanku lagi, keputusanku sudah bulat."
Tuan Jung banyak berpikir sebelum menyampaikan apa yang ingin ia utarakan. Apakah laki-laki di depannya bisa mengerti dan memahami kalimat yang akan ia ucapkan?
"Dari semua ocehanku tentang teori, kau sudah paham dengan predestined?"
Dahi Junwoo bertaut, merasa pernah dengar dengan teori tersebut tetapi tetap merasa asing. "Ya!! Kau terlalu banyak menyebutkan teori, bagaimana aku bisa memahami semuanya satu persatu?"
Kekehan terdengar dari mulut Tuan Jung. Memang Junwoo pintar, tapi tak terlalu cerdas untuk memahami situasinya sendiri.
"Apa kau tahu ketika kau melakukan perjalanan waktu hanya demi menyelamatkan istrimu…"
"Aku sudah melanggar garis waktu…"
"Aniya…" Tuan Jung memijat pelipisnya setelah membalas kalimatnya yang terputus dari Junwoo. Merasa kesulitan menghadapi keras kepala seorang Lee Junwoo. "Kau bisa bertemu dengan Hana, kau bisa mengajaknya berbicara. Sangat memungkinkan untuk menyelamatkannya."
"Lalu masalahnya?"
"Masalahnya karena kau bermain dengan sebuah paradoks." Ilmuwan itu tidak peduli bila Junwoo tidak mengerti ucapannya. Memberikan peringatan seperti ini tampaknya bisa menampar kenyataan Junwoo. "Paradoks yang diucapkan Robert, adalah sebuah kejadian atau kondisi yang muncul karena premis."
Tuan Jung membetulkan letak kacamatanya, ia berbicara serius kali ini tanpa ingin dibantah. Mengembalikan keputusan pada Junwoo setelah ia mendengar penjelasannya. "Premis sendiri muncul dengan adanya landasan, pemikiran, atau pun asumsi yang dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan logika. Kau, Lee Junwoo, bermain pada takdir. Dua hal paradoks yang sedang ingin kau mainkan hanya untuk mengubah takdir istrimu. Predestined dan butterfly effect paradoks."
Junwoo tidak banyak bicara. Sejujurnya, setiap sel otaknya sedang mencerna semua ucapan ilmuwan gila di hadapannya. Sulit memprediksi perkataan macam apa yang ingin disampaikan pria ini pada dirinya.
"Aku akan memberitahu dua hal padamu. Sekuat apa pun kau menyelamatkan Hana, predestined paradoks membuat dirinya tidak akan lagi sama seperti Hana yang kau kenal. Dan kau mesti paham, di masa depan yang kau ciptakan untuk Hana dari masa lalu kematian akan tetap terjadi padanya. Pada intinya takdir istrimu tetap akan seperti itu. Apa kau siap menanggung resikonya?"
Mendengar kata 'kematian', bulu-bulu halus di tangan Junwoo meremang. Satu kata untuk memisahkan dirinya dengan Hana. Tangannya terlalu kencang mengepal karena tidak ingin kejadian nahas itu terjadi dua kali. Tidak pernah tega melihat istrinya terbujur kaku tanpa pernah bisa mengucapkan kata perpisahan.
"Lalu butterfly effect paradoks, tidak hanya mengubah kehidupan Hana dan dirimu, tapi juga Na Mi, putrimu. Kalau kau benar-benar sayang padanya, apa kau rela melihatnya menghilang di masa depanmu? Atau mungkin dia tetap ada, tapi menjadi anak perempuan yang tidak pernah kau kenali sepanjang hidupmu. Kau mau melihat sosok berbeda dari Na Mi?"
Pertanyaan dan penjelasan dari Tuan Jung membuat Junwoo tetap menandatangani surat kerjasama bersama Robert. Ia tetap ingin melihat wujud mesin itu meski hatinya mulai goyah mendengar rentetan kalimat dari Tuan Jung mengenai segala resiko yang akan dia hadapi.
Ekor matanya menangkap Na Mi tidak berhenti mengunyah camilan balita sambil menikmati tayangan di televisi mengenai binatang. Tangan Junwoo berhenti bermain pada layar tablet, sepenuhnya tertuju pada tontonan anaknya. Sejak kapan Na Mi bisa duduk tenang melihat segala macam rupa berita tentang binatang dari salah satu acara televisi?
Ok, dia juga bukan ayah yang baik karena merelakan dirinya terlalu tenggelam pada kesibukan dan pikirannya, sehingga membuat anak satu tahun ini lebih banyak main sendiri, atau membiarkan Na Mi duduk di bangku makannya untuk menikmati tayangan televisi. Namun, baru hari ini ia menyadari anak perempuannya ternyata bisa menyenangi suatu hal.
Junwoo meletakkan tablet di atas sofa lalu meraih putri kecilnya ke dalam gendongan. Sedikit meronta karena terusik kegiatannya, tetapi Na Mi tetap menerima ketika Junwoo mendekapnya. Seolah tahu kalau satu-satunya orang tua yang ia miliki membawa Na Mi ke arah balkon hanya untuk menumpahkan rasa kesedihan. Anak satu tahun itu menyandarkan kepalanya ke arah dada Junwoo lengkap dengan tepukan girang untuk menenangkan ayahnya. Junwoo tersenyum mendengar Na Mi bergumam senang, ia bawa setengah tubuh anaknya ke depan. Mengelus punggung Na Mi, "apa kau merindukan eomma seperti aku merindukannya?"
Tidak ada jawaban, tatapan mata Na Mi cukup menjelaskan bahwa anak itu tidak pernah mengerti rasanya punya ibu. Semua perempuan yang hadir untuk hidupnya selama satu tahun ini untuk menggantikan secara sementara.
"Na Mi-ya, Appa akan membawa eomma kembali. Resiko apa pun akan Appa tanggung." Junwoo menyisir rambut hitam kecoklatan Na Mi perlahan, "tolong bantu Appa untuk jangan menjadi seorang anak berbeda ketika Appa kembali. Kita jaga eomma sekali lagi, aratchi?"
Malam itu kegusaran Junwoo setelah kembali dari Seattle, ia tepiskan jauh-jauh. Tekadnya bulat untuk membawa Hana kembali dengan segala resiko. Dia akan menjaga agar tidak melewati batas dan berusaha untuk tidak mengubah apa pun. Na Mi akan tetap menjadi putrinya seperti yang ia kenal, dan Hana, ia yakin perempuan itu akan kembali menjadi Hana tanpa kekurangan satu pun.
Saat Na Mi bertumbuh dan berkembang menjadi anak perempuan berusia dua tahun. Kala seorang Junwoo baru berhasil mengatasi kesabaran di ambang batasnya menghadapi Na Mi, ia mendapatkan satu panggilan telepon yang membuat dirinya kembali menegang.
"Junwoo-ssi, can you fly to Seattle as soon as possible? Mesin waktumu sudah rampung. Siap bertemu dengan istrimu?"
_________________________________________