"Junwoo-ya, berjanji padaku kalau hidup ini terlalu singkat untukku, kau harus segera bangkit dan bercintalah sebanyak-banyak dengan perempuan lain di luar sana." Hana memainkan jari tangan Na Mi. Setelah proses yang nyaris menghilangkan nyawa, Hana seperti sudah bisa memprediksi hidupnya akan sebentar di dunia ini.
Junwoo menjitak kepala Hana pelan, "ya berhentilah berbicara yang tidak-tidak. Kau di sini bersamaku dan Na Mi. Aku tidak butuh perempuan-perempuan lain. Aku sudah punya dua perempuan di dekatku." Junwoo duduk di samping tempat tidur kamar mereka. Mengelus rambut panjang Hana dan mencium pucuk kepala istrinya.
"Kalau aku kemarin pergi, apa kau tetap masih akan mencintaiku seperti ini, huh?" Hana memutar kepalanya mengarah ke Junwoo. Mencari manik hitam milik suaminya.
Junwoo pura-pura berpikir. "Cinta? Kau pergi, aku ditinggal sendiri. Mungkin aku akan mengikuti saranmu tadi. Bercinta dengan banyak perempuan." Gelak tawa terjadi disertai suara mengaduh karena hasil cubitan Hana di pinggang Junwoo. "Aniya, tidak akan ada yang pernah menggantikanmu, Park Hana. Tugasmu sekarang adalah tetap di sampingku mengurus Na Mi hingga dia dewasa."
"Saranghanda, na nampyeon (1)."
"Neomu saranghaeyo, Hana-ya (2)."
Junwoo baru membuka matanya saat mendengar suara pintu dibuka sangat kencang oleh seseorang. Belum sempat otaknya berproses, suara seorang perempuan berteriak kencang kepadanya.
"Waa, akhirnya bangun juga makhluk satu ini! Apa sih yang ada di kepalamu saat menerobos lampu merah?!" Lana mengamuk begitu masuk ke kamar rawat Junwoo.
"Lana, shush! Ini rumah sakit." Taekwon menarik lengan Lana.
Lana menepis tangan suaminya dan maju lebih dekat ke arah Junwoo. "Kau sungguh akan menyesalinya! Kau pikir Hana..."
"Kelana!" Taekwon menarik lengan Lana dan menyeretnya keluar. "Istirahatlah dulu. Kau tau kan, dia kadang memang suka kehilangan akal sehatnya." Taekwon menyeringai pada Junwoo dan segera berjalan ke arah pintu.
Tunggu, bekas jejak apa itu di mata Lana? "Jamkkan." Junwoo menahan kepergiaan Lana dan Taekwon. Meski seluruh tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama untuk merasa baik-baik saja. Keadaan satu orang yang tetap berada di kepalanya, tetap menjadi prioritas. "Hana…ia di mana? Bayi kami baik-baik saja?" Bagus, dia tidak amnesia.
"Masih bisa kau bertanya soal Hana?! Jadi belum ada yang bilang padamu bahwa Hana..."
"KELANA, NAGA!!(3)" Taekwon menatap Lana tajam dan menggemeretakkan giginya. "Dan kau, istirahatlah. Jangan banyak bicara!" Dan, mereka benar-benar hilang dari pandangan Junwoo.
Lana berjalan sangat cepat sampai tangan Taekwon menahannya. "Ya, neo michyeosso?! (4)" Taekwon mencengkram erat kedua lengan Lana saat berhasil menariknya ke depan ruang perinatologi.
"Siapa yang tidak gila?! Kau pikir melalui semuanya akan mudah?! Anak itu, siapa yang akan mengurusnya?" Lana menunjuk salah satu bayi di dalam inkubator.
Taekwon menghela napas kasar. Ia tahu Lana sedang tak berpikir jernih. "Tapi kau tak bisa begitu saja masuk ke kamarnya saat dia baru saja bangun dan dengan gamblang menyalahkannya atas kematian istrinya. Dia pasti.."
"Museun mariya? (5) Mati? Hana di mana?" Junwoo memaksa tubuhnya untuk bangun dari ranjang rawat rumah sakit. Ingin bertanya tentang istrinya. Ingin tahu kenapa mata sahabat istrinya itu terlihat menyedihkan. Ia memaksa dirinya untuk sedikit berlari mengejar Lana dan Taekwon. Tapi, apa yang baru saja ia dengar dari ucapan Taekwon membuat Junwoo melanturkan kata-kata yang tidak bisa diproses oleh otaknya. "Hana di mana? Kamarnya yang mana?"
Lana menutup mulutnya dan memukul lengan Taekwon sekencang yang ia bisa. "Babo! Lihat karmamu di depan mata. Memarahiku tapi kau sendiri yang membocorkannya. Dasar mulut ember."
Taekwon menyipitkan matanya ke arah Lana dan menyuruhnya diam, lalu berbalik menatap Junwoo. "Junwoo-ya.. Hana sudah tidak ada."
Junwoo diam setelah mendengar jawaban dari Taekwon. Dua detik kemudian dia tertawa pelan, "aku tau kau suka bercanda, Hyeong. Kau hanya ingin menakutiku, bukan?"
Lana bergerak mendekati Junwoo dan berjinjit memukul kepala Taekwon saat melewatinya. Ia memeluk Junwoo erat. "Junwoo-ya, mianhae." Lana menghela napas berat dan menepuk-nepuk punggung Junwoo. "Semuanya akan berlalu dan baik-baik saja."
'Apa maksud dua orang ini?' batin Junwoo berusaha mencerna semua perkataan Lana dan Taekwon. Mereka pasti bercanda. Pelukan Lana tidak dibalas oleh Junwoo. Ia masih merasa ini semua hanya akal-akalan sepasang suami-istri yang senang menggoda orang lain.
"Beruntung kau tidak membunuh anakmu juga, Lee Junwoo," ucapan sarkastik itu sangat dikenal oleh Junwoo. Ia menoleh melihat tiga orang laki-laki serta satu perempuan berjalan mendekatinya. Kenapa wajah mereka sama seperti Lana? Jejak mata memerah menjadi terlihat seragam di penglihatan Junwoo.
"Hana…"
"Di kamar jenazah, sedang proses pemulasaraan. Mereka butuh tanda tanganmu untuk memulangkan Hana." Suara Joong Gi yang biasanya terdengar sangat ramah, sekarang terdengar seperti ingin mematikan Junwoo secepat mungkin. Tenang tanpa penekanan tetapi ada nada marah terselip di penuturan katanya.
"Tanda tangan?" tanya Junwoo bingung.
"Seharusnya menyenangkan, bukan? Mendengar Hana dipulangkan sambil menggendong anaknya. Tapi, kali ini simpan rapat-rapat rasa sedihmu. Segera tanda tangan, aku akan mengurus pemakaman adikku." Seoga muak melihat laki-laki di depannya. Tubuh penuh luka yang tergambarkan melalui bekas luka, perban, dan gips di tubuh Junwoo tidak menyurutkan rasa amarahnya setelah tahu kalau adik iparnya adalah satu-satunya tersangka dalam kematian Hana.
"Hana di mana? Pemakaman apa?" Junwoo benar-benar tidak mencerna semua ucapan yang disampaikan oleh ketiga kayak Hana.
Taekwon sebagai orang yang masih waras saat ini segera mengajak Junwoo menjauh dari tatapan membunuh ketiga kakak Hana. Taekwon menghela napas panjang sebelum membuka mulutnya.
"Ini keadaan yang harus kau terima. Hana sudah ditemukan tidak bernyawa saat dibawa ke rumah sakit. Aku tidak mengerti kondisi medis apa yang dialami istrimu. Aku dan Lana segera ke rumah sakit saat Dong Kook hyeong mengabari Lana tentang kecelakaanmu."
"Hana?" Suara Junwoo tercekat. Pandangannya mulai kabur, antara nyeri di kepalanya dan air mata yang mulai menggenang menutupi matanya. Detik itu juga semburan aliran darah pada katup trikuspid di jantung Junwoo seperti berhenti memasok alirannya. Dadanya mulai sesak, detakan jantungnya semakin cepat. Tubuhnya seperti mulai menerima berita ini dalam keadaan sadar.
Junwoo mundur, menabrakkan tubuhnya sendiri ke dinding. Bodoh, demi menjawab satu pertanyaan yang belum tentu terjadi, ia berani melawan aturan yang sudah diciptakan manusia agar hal seperti ini tidak terjadi. Ia sendiri padahal sudah mendengar peringatan dari Hana, ia sendiri juga melihat lampu merah itu. Tapi, rasa egois mengatasnamakan keselamatan Hana berujung mengantarkan istrinya sendiri pada kematian.
Butuh berapa lama seseorang untuk bangkit dari kesedihan? Apa yang harus dilakukan seseorang ketika harus tetap berusaha berdiri tegar menghadapi gelombang ucapan berduka, ketika dirinya sendiri belum menerima kematian orang yang ia sayangi? Berapa banyak waktu yang dibutuhkan agar rasa sakit kehilangan segera pulih? Seminggu? Sebulan? Satu tahun?
"Seoga hyeong mencari tau tentang kematian Hana saat kalian masih dioperasi. Ia menghubungi semua kenalannya di kepolisian untuk mengecek CCTV jalan. Ia murka karena jelas-jelas kau menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi. Hana mengalami pembengkakan dan pendarahan otak. Hantaman dari sisi kanan mobilmu dan menabrak pembatas jalan di sisi Hana berdampak fatal pada tubuh Hana." Penjelasan Haneul sebelum proses kebaktian di gereja di mulai, menjadi satu-satunya petunjuk kenapa ketiga kakak Hana menyalahkan Junwoo. "Keluargamu meminta agar pihak kepolisian dan keluarga Hana tidak menuntutmu. Mereka bernegosiasi atas kesalahanmu dan keluarga Hana membiarkanmu bebas untuk…" Haneul tidak melanjutkan perkataannya.
Untuk apa? Hidup dalam penyesalan? Memang ia yang salah, tidak ada pembelaan apa pun dari mulut Junwoo ketika berhadapan dengan ketiga kakak Hana. Ia sudah berjanji akan menjaga Hana, namun ia sendiri yang menyebabkan Hana kehilangan nyawanya.
Selama proses kebaktian dan kremasi Junwoo sengaja menjaga jarak dari keluarga dan sahabat Hana. Ia memilih berdiri di samping keluarganya sendiri. Menatap peti kayu berisikan tubuh istrinya. Melihat senyuman cantik Hana melalui foto cetak di pigura.
Junwoo menghindari kerumunan orang-orang yang bersiap untuk mengucapkan bela sungkawa padanya. Tidak, ia tidak setegar itu untuk menghadapi ini semua. Ia masih berharap ini mimpi buruk walaupun tidak ada tanda-tanda ia segera bangun dari tidur panjangnya, karena ini nyata. Ketika sebuah guci bertuliskan nama 'Park Hana' disertai tanggal lahir dan tanggal kematiannya diterima oleh Junwoo, semakin jelaslah bahwa ini memang takdir yang harus ia terima.
Junwoo membuka pengait pada laci bertingkat berbahan marmer yang dikhususkan untuk menaruh guci abu jenazah. Ia meletakkan guci Hana di sini, bukan dibawanya pulang ke apartemen. Cukup kemarin ia bertingkah seperti seperti anak remaja yang penuh dengan tindakan impulsif dan egois. Pemakaman umum ini biar menjadi tempat terakhir Hana, agar semua orang yang menyayangi Hana mudah untuk mengunjungi.
Junwoo menutup rapat pintu laci itu. Menyadarkan dahinya pada laci marmer, membiarkan dingin masuk ke dalam setiap sel sarafnya.
"Aku gagal menjagamu." Satu tetes air mata berhasil keluar dari pelupuk mata Junwoo.
"Tugasmu sekarang menjagaku dan Na Mi dari atas sana. Tugasmu sekarang adalah menungguku." Dua, tiga, empat tetes air mata menerobos pertahanan Junwoo.
"Tidak akan ada yang menggantikanmu. Nega oneul bam-e jal jagil balaneunde (6)." Isakan tangis yang ditahan sejak hari kematian Hana, sekarang dikeluarkan kencang-kencang oleh Junwoo.
___________________________________________________________________
1. Aku mencintaimu, suamiku.
2. Aku sangat mencintaimu, Hana.
3. Kelana, keluar!
4. Apa kau sudah gila?
5. Maksudmu apa?
6. Aku harap kau tidur nyenyak.