Chereads / One Time (Time Traveler) / Chapter 30 - Got Away

Chapter 30 - Got Away

Semenjak seorang Ok Taekwon tidak berniat untuk meneruskan pengobatan di rumah sakit, dengan sangat terpaksa Lana mengizinkan suaminya untuk rawat jalan di apartemen.

Beralasan karena ingin menikmati hari-hari terakhir bersama Lana dan Yi Eon dalam suasana kekeluargaan lebih beradab untuk putranya, Taekwon bahkan menggertak keluarganya sendiri yang menginginkan anak laki-laki mereka mendapatkan perawatan secara intensif di rumah sakit.

Aku tidak terlalu sering ke rumah sakit. Semua dilaporkan secara baik dari Wooshik, Shin Hae atau Seoga hyeong. Betul, hubunganku sekarang dengan seorang Park Seoga sudah jauh lebih baik. Dia bahkan tidak segan menyuruhku untuk segera melakukan kencan. Jelas aku menolaknya, untuk apa? Mencari ibu pengganti untuk Na Mi? Aku sudah cukup dengan hidupku sekarang. Fokusku bisa pada Na Mi dan tetangga seberang.

Setelah cerita Taekwon, aku merasa berutang budi. Kepergiaan Hana berat bagiku tapi Lana dan Taekwon membantuku untuk mengobati semua luka-luka–yang meskipun belum tertutup sempurna–menjadi lebih baik. Mereka selalu turun tangan secara terbuka untuk mengurus Na Mi walau aku tidak pernah meminta. Taekwon menepati janjinya pada Hana dan untuk kali ini, aku akan membalas semua kebaikan pasangan itu untuk menjaga serta memberikan dukungan ketika waktu perpisahan itu tiba.

Aku tahu Lana sudah mulai kelelahan mengurus Yi Eon dan Taekwon secara bersamaan. Aku, Wooshik, dan Shin Hae bergantian membantu Lana untuk menjaga dua laki-laki yang sangat berarti di hidup Lana. Sudah tiga bulan Taekwon melakukan rawat jalan di apartemen. Lana berkali-kali kena omelan suaminya karena terlihat jauh lebih kurus begitu pun sebaliknya Lana mengoceh terus menerus karena Taekwon masih mengurus segala macam pekerjaan, meski itu hanya bisa dilakukan lebih banyak di tempat tidur.

Pernah suatu waktu ia memanggilku ke apartemen untuk menghindari amukan Lana. "Ya Lee Junwoo bisakah kau membawaku pergi dari sini?"

"Mwo? Aku tidak mau melihat istrimu mengomeliku tujuh hari tujuh malam, Hyeong. Kau tau kan Lana dan Hana begitu mirip ketika merepet…"

"Sebentar, ke taman Han. Aku ingin menghabiskan waktu dengan Yi Eon dan Na Mi. Jebal Junwoo-ya." Taekwon memotong ucapanku hanya untuk memohon. Aku menghela napas panjang. Kalau Hana dulu punya permintaan terakhir, akan kulakukan apa pun yang ia minta. Mungkin ini permintaan gila tapi aku akhirnya beranjak dari kamar ke dapur untuk meminta izin pada Lana. Ada penolakan, jelas, aku paham rasa khawatir Lana. Namun, setelah bujuk rayu kukerahkan disertai janji-janji membual, perempuan itu akhirnya mengizinkan. Lagipula ini bagus kan, Lana jadi bisa istirahat sejenak.

Hari itu Taekwon seperti seorang Ok Taekwon yang kukenal. Tidak ada rasa sakit seperti beberapa bulan terakhir. Aku berkali-kali mengingatkannya agar jangan beraktivitas secara berlebihan bersama dua anak kecil yang aktif berlari kemana-mana. Tentu saja peringatanku seperti angin lalu, ia tetap menuruti Yi Eon yang ingin lomba lari dengan ayahnya atau mengabulkan permintaan Na Mi bermain kuda-kudaan. Aku sempat mendelik marah pada Na Mi tapi putriku dengan santainya berkata, "samcheon lebih enak, sungguh-sungguh menjadi kuda dibandingkan Appa." Sial, aku jadi terlihat seperti tidak punya kekuatan untuk melawan anakku sendiri, saat Taekwon tertawa menyetujui perkataan Na Mi.

"Gomawo Junwoo-ya. Aku percaya kau bisa menjaga istri dan anakku setelah kepergianku nanti. Aku beruntung Hana mendapatkan jodohnya sepertimu."

Aku memutar bola mataku malas, pasti ada sesuatu dibalik ucapan manisnya. "Kau ingin bermesraan dengan Lana bukan hari ini?"

"Daebak! Kau bisa membaca pikiranku." Taekwon menepuk bahuku berkali-kali, "jadi Yi Eon malam ini menginap di apartemenmu?"

"Senang?"

"Eo, mungkin malam ini aku bisa menghasilkan bayi." Dia tergelak bahagia, aku pusing memikirkan malam ini harus memasak apa dan melakukan apa saja pada dua bocah.

Itu satu bulan yang lalu. Hari ini, sebelum memasuki malam minggu. Entah mengapa seorang Ok Taekwon ingin mengumpulkan semua orang termasuk keluarga Hana dan Haneul. Bagiku yang pernah melewati masa-masa sulit ditinggal orang kucintai, perasaan tidak enak sudah merasukiku sejak masuk ke dalam apartemen Taekwon-Lana.

Taekwon menjadi seorang Ok Taekwon yang bersenda gurau dengan semua orang. Kekonyolannya terlihat di dalam kamar utama ini. Lana? Perempuan itu tidak berhenti tertawa dan selalu berada tidak jauh dari suaminya.

"Ck kau persis Hana saat terkena asma kalau begini. Butuh inhaler?" Seoga hyeong berinisiatif tinggi mencarikan salah satu bantu alat napas Taekwon, setelah laki-laki itu kembali bersandar ke headboard karena napasnya kembali memberat.

"Hahaha.. aku lebih butuh bantuan pernapasan dari istriku." Sebuah pukulan pelan melayang ke bahu Taekwon disertai delikan mata membulat sempurna dari Lana.

"Aish, kau sesak bukan habis tenggelam di laut," sindir Dong Kook hyeong. "Perhatikan sekitar Taek, ada kami dan dua anak kecil yang belum pantas diberikan adegan tidak senonoh."

"Atau kau mau kami beri privasi bercumbu dengan Lana? Kami bergeser ke apartemen sebelah. Mungkin menemukan seorang perempuan yang disembunyikan Junwoo di balik lemarinya." Seoga hyeong mengeluarkan gurauan yang berbalik untuk menyindirku agar segera berkencan.

Aku hanya mendengus, tidak ada kencan.

"Aniya, aku benar-benar lebih butuh keributan kalian sekarang." Taekwon bernapas sangat berat meski sudah berusaha tertawa.

"Neo gwaenchana? Tidak mau berkumpul di ruang tengah? Kurasa kamar terlalu sempit untuk kita semua." Terima kasih kepada Joong Gi hyeong yang sudah menyuarakan isi kepalaku. Kamar luas ini mendadak sempit karena banyaknya orang.

Taekwon mengangguk, "ara, mari pindah ke depan." Seoga dan Dong Kook hyeong secara sigap langsung membantu memapah Taekwon. Aku dan Wooshik membantu memenuhi permintaan Yang Mulia Ok Taekwonn untuk membuka pintu balkon selebar-lebarnya agar dia bisa menghirup udara kota Seoul.

Untuk beberapa saat aku memilih untuk bermain bersama Na Mi dan Yi Eon. Perasaanku sedang tidak enak melihat Taekwon hari ini. Dia memang berusaha tertawa dan menghibur semua orang, namun aku seperti melihat kejanggalan.

Ketika sofa di sisi Taekwon kosong, aku duduk. Diam beberapa saat hingga mata Taekwon mengisyaratkanku untuk berbicara. "Hyeong, kau betul sudah menyiapkan wasiat?"

"Eo. Kupastikan mereka baik-baik saja." Taekwon seperti menangkap ke mana arah pembicaraanku. Ia tidak terlihat ingin bercanda menjawab pertanyaan yang seharusnya menjadi sebuah gurauan. Terbukti dari sepersekian detik kemudian dia menarik Lana agar lebih rapat padanya.

"Ya, aku tak peduli kehilangan semua harta dan warisanmu asal kau hidup! Bisa-bisanya kau bilang kami akan baik-baik saja sementara kau tidak ada!" Lana berontak. Ia terlihat tidak terima ucapan Taekwonn yang merasa bahwa harta peninggalannya akan membuat Lana dan Yi Eon berada dalam keadaan baik.

"Maja Hyeong, percuma kau memberikan harta kalau kau lebih memilih menyusul Hana. Memang tidak kasihan pada kami? Pada Na Mi? Dia akan kehilangan badut samcheon." Suaraku terdengar memelas, entah untuk siapa aku memohon agar Taekwon tetap hidup. Yang jelas kepergian Taekwon akan membuat suasana suram seperti beberapa tahun yang lalu muncul kembali. Aku tidak mau berada dalam situasi itu lagi.

Taekwon menatapku heran. "Memilih? Apa Hana memilih meninggalkanmu? Apa kau memilih membuat Hana meninggalkanmu?" Nadanya seolah tidak percaya akan ada pertanyaan konyol keluar dari mulutku.

"Ani, Hana tidak sempat memilih. Aku yang membuatnya pergi. Tapi terakhir melewati mesin waktu itu aku memilih Na Mi dibandingkan menghidupkan Hana. Jadi…" Aku menjeda kalimatku berikutnya agar tidak menyakiti perasaan Taekwon, "kalau tidak untuk Lana, kenapa tidak memilih hidup untuk Yi Eon?"

Taekwon menghela napas. "Kalau aku tak memilih Yi Eon, aku masih akan sendiri dan tidak menikahi Lana. Aku pernah bilang pada Hana kalau aku takut mendekati Lana karena aku sakit. Kau ingat, kan?"

"Ara, entah kapan pun waktunya sampaikan salamku pada Hana. Bilang padanya, tidak bisakah ia datang ke mimpiku? Atau pada Seoga hyeong agar tidak memaksaku berkencan?" Aku dan Taekwon tertawa pelan sejenak. Ia mengangguk seraya menepuk bahuku dan memaksaku untuk menepati janji agar menjaga Lana dan Yi Eon jika ia tidak ada. Baru kuingin merespon ucapannya. Taekwon terbatuk-batuk hebat, napasnya semakin lama semakin berat. Ia menarik Lana yang sedang menggendong Yi Eon. Kami semua mendadak mencari alat bantu pernapasan Taekwon, menghubungi ambulans agar segera datang. Kami semua panik mendengar deru napas Taekwon mulai tidak beraturan. Kepalanya tenggelam di ceruk leher Lana, dalam erangan kesakitannya ia seperti meminta pada Lana untuk mengikhlaskannya pergi.

Suasana ricuh itu sunyi seketika saat Taekwon berbicara sangat pelan dengan napas putus-putus di sandaran bahu Lana. "Na..nae…ga neo…mu sa…rang…ha…nda.(1)" Yi Eon beringsut bangun dari pangkuan Lana. Anak kecil itu seperti tahu ayahnya akan segera pergi, ia naik ke pangkuan Taekwon hanya untuk memeluk sosok panutannya itu seerat-eratnya tanpa tangisan dan suara.

Lana turun dari sofa lalu berlutut di hadapan Taekwon. Ia raih telapak tangan kiri Taekwon, menciumnya begitu dalam sampai ia meletakkan telapak tangan itu di pipi kanannya. Aku jelas melihat ada air mata meluncur bebas di pipi Lana tapi ia tersenyum, merasakan hangat menjalar di wajahnya. "Go, I'll see you in the afterlife," kata Lana sebelum ia mengangkat setengah tubuhnya untuk mencium kening Taekwon selama mungkin yang bisa rasakan untuk menyimpan kenangan ini, berpelukan bersama keluarga kecilnya hanya untuk melepas kepergiaan Taekwon secara damai.

Napas terakhir Taekwon sama persis seperti keinginannya. Berada di tempat ia biasa bercengkerama bersama istri dan anaknya. Kepergiannya sesuai dengan permintaan terakhir Taekwon, melihat Lana tersenyum tanpa ada isak tangis.

Hening, semua diam dalam duka. Semua meneteskan air mata tapi dalam kesunyian. Membiarkan Lana dan Yi Eon masih memeluk Taekwon. Untuk kali ini aku merasakan kehilangan di keadaan sepi. Aku tidak menyangka seorang Kelana mampu berdiri tegak melepas kepergian orang yang ia cintai. Ia juga dengan mudahnya membiarkan petugas medis membawa jasad Taekwon pergi menuju rumah sakit, selagi ia meraih ponsel untuk menghubungi keluarga Taekwon.

Aneh, sungguh ini peristiwa aneh yang tertangkap oleh indera pengelihatanku. Sudah begitu ikhlaskah Lana melepas Taekwon? Tidak ada raungan kesedihan? Kenapa wanita ini nampak tenang mengurus segala macam hal yang berhubungan dengan pemakaman? Ia justru berusaha menenangkan ibu Taekwon saat pemberkataan kematian. Kepalanya tertunduk berdoa tanpa suara meraung-raung tidak ingin ditinggalkan.

Ketika peti mati Taekwon turun ke tempat perisitirahatan terakhirnya, Lana masih tidak goyah. Ia melihat pendamping hidupnya terkubur sendiri di dalam dingin dan gelapnya tanah dengan wajah tenang. Kelana menerima banyak ucapan bela sungkawa. Aku dulu tidak setabah itu, aku melarikan diri ketika semua orang ingin mengucapkan rasa 'kasihan' padaku tapi tidak dengan Lana. Ia tersenyum, mengangguk, dan membalas semua ucapan dengan terima kasih. Sandiwara apik menurutku, Lana memainkan perannya sangat hebat.

Aku memilih mundur sejenak dan menitipkan Na Mi pada Joong Gi hyeong. Berjalan menyusuri areal pemakaman. Takdir macam apa yang mempertemukan seorang Park Hana dan Ok Taekwon lalu menyatukan mereka dalam heningnya kematian di satu tempat yang sama. Aku berhenti di depan pintu marmer bertuliskan nama istriku.

"Jagiya, hari ini cerah tapi kami diselimuti duka. Kau senang akhirnya ada teman?" Tanpa kusadari air mataku turun. Menangis. Siapa lagi setelah ini yang akan pergi? Aku tahu kematian adalah hal mutlak tapi bolehkah aku meminta pada Tuhan jangan dulu mengambil orang-orang penting dalam hidup Na Mi? Aku sadar betapa besarnya kehadiran Taekwon di kehidupan putriku. Ia murung, tidak ada lagi penampakan laki-laki yang biasanya mengajak ia berceloteh dan bermain. Sejak bayi ada seorang Taekwon untuk menyayangi putriku seperti anaknya sendiri.

"Maaf aku menangis. Kau sadar kan, orang yang pergi hari ini…"

"UDAH PUAS LU SEKARANG, HAN?!" Aku tersentak mundur mendengar jeritan amarah dari seorang Lana yang tiba-tiba berdiri di depan makam Hana.

"Lana-ya," Lana tidak menggubris panggilanku.

"Ternyata lu seneng ya liat gue kayak gini? Ke mana lu waktu gue butuh lu sekarang?! Ck, iya, gue lupa. Lu pasti lagi kegirangan nyambut laki gue, kan?!" Lana mengomel dalam bahasa ibunya. Tidak peduli padaku yang berdiri masih menatapnya tidak percaya. Untuk apa omelan tidak jelasnya di depan makam Hana? "Gue udah bilang, kalo lu suka sama Taek, BILANG HAN, BILANG! GUE MUNDUR! Kalo gitu kan nggak perlu gue ngerasain sakit ditinggal gini." Sebentar, apa maksud Lana? Hana menyukai Taekwon? Sejak kapan?

Aku meraih lengan Lana, "Lana maksudmu apa?" Bukan jawaban tapi tepisan tangan sukses membuatku tercengang melihat air mata mengucur deras disertai napas memburu dari Lana. Ia menatapku nyalang. "Kau tahu, istrimu perempuan paling sialan yang pernah kukenal. Dulu aku bilang padanya, kalau dia suka pada Taek aku akan mundur. Nyatanya tidak. Dia mengacaukan semuanya! DIA MENGACAUKAN MIMPIKU, LEE JUNWOO!!" Lana kembali berteriak sambil memukul pintu marmer di depannya. Aku jelas menatapnya penuh tanda tanya besar, sorot mataku meminta penjelasan. Permainan macam apa yang sudah dilakukan istriku dan suami Lana? Namun, nihil, Lana tidak berkata apa-apa lagi karena ia beranjak pergi meninggalkanku dengan macam-macam pertanyaan. Aku menggeleng untuk tidak percaya perkataan amarah Lana. Aku percaya Hana-ku masih seorang wanita yang pernah mencintaiku. Aku tahu mata almond Hana tidak pernah berbohong.

Sesampainya di apartemen, langkah kakiku tidak berbelok menuju unit apartemen. Keadaan sangat kondusif untuk membuat Lana berbicara. Na Mi dibawa pergi ke tempat Joong Gi hyeong, keluarga Taekwon mengajak Yi Eon menginap. Dipastikan kali ini Lana benar-benar sendiri di dalam apartemennya. Tanganku terangkat untuk mengetuk sampai aku mendengar suara pecahan membentur lantai berkali-kali. Aku berniat mundur tidak akan memaksa Lana untuk berbicara mungkin ia butuh waktu. Sampai aku mendengar jeritan menggema di dalam apartemen.

Aku langsung memencet kode pintu unit apartemen Lana yang sudah kuhapal di luar kepala. Sesegera mungkin masuk ke dalam untuk mengecek keadaan Lana. Aku terkesiap melihat pemandangan apartemen porak poranda seperti dihantam badai. Entah berapa banyak piring dan gelas pecah berserakan di lantai, tirai gorden putus dari penyangganya, berbagai macam ornamen pajangan serta vas sudah hancur tak berbentuk. Lana? Duduk bersimpuh memeluk kemeja Taekwon. Derai air matanya turun deras tanpa minta dihentikan.

Aku mendekat, berjongkok untuk menyejajarkan posisiku dengan Lana. "Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Kenapa harus terlihat kematian Taek tidak menjadi masalah bagimu?"

"Karena a..ka..n jadi mas..al..ah kal..au ter..lih...at tid..ak baik-baik sa..ja." Aku menepuk bahu Lana berkali-kali mencoba menenangkan. Suara tangisan dan napas memburunya saling berkejaran untuk mencari pasokan oksigen. Tanganku mengelus lengannya agar menghentikan tangisannya sementara waktu. "Taekwon berkali-kali bilang bahwa aku dan Yi Eon akan baik-baik saja. Dia berusaha membuat kami baik-baik saja." Setelah cukup tenang ia kembali melanjutkan perkataannya.

"Tapi kenyataannya kau tidak baik-baik saja. Ini kematian orang yang kau sayang Lana, tidak masalah kalau terlihat menyedihkan. Apa dengan marah pada Hana membuatmu puas, huh?" Jujur aku tidak terima dengan amarah Lana di depan makam Hana, mengapa menyalahkan kematian Taekwon pada Hana?

Lana menggeleng, "tidak. Tapi kalau kutanya padamu, bukankah lebih baik kalau aku dan Taekwon pergi bersama sementara Hana yang tinggal?" Aku memijat pelipisku, bukan pusing karena pertanyaan Lana tapi memang berandai-andai saat kehilangan orang yang sudah menjadi separuh hidup itu lebih baik di fase penolakan seperti saat ini. "Aku tak bisa terlihat menyedihkan. Tidak di depan semua orang, tidak di makam Taekwon. Aku akan tetap baik-baik saja di luar sana." Tidak ada suara penolakan dariku, memang setiap orang akan berbeda-beda menghadapi kematian orang-orang terkasih. Lana berusaha tegar, sedangkan aku dulu menghindar menunjukkan aku tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Aku menghela napas panjang, "pilihan itu juga terlintas di kepalaku saat Hana pergi. Tidak lebih baik aku yang pergi daripada Hana? Atau akan lebih baik Na Mi diurus kalian semua, sementara aku dan Hana pergi." Aku duduk bersila, mengulurkan tangan untuk mengelus pucuk kepala Lana. "Tapi tidak adil untuk anak kita, kan? Apa Yi Eon tidak merasa kekurangan kasih sayang kalau kalau kalian berdua pergi? Lana, bukankah kau sudah mempersiapkan segalanya?" Lana masih terisak tanpa mau menjawab pertanyaanku. Terpaksa kutarik kemeja Taekwonn yang masih didekapnya. Aku butuh perhatiannya sebentar, "jelaskan apa maksud perkataanmu di depan makam Hana? Ada apa Hana dan Taekwon?"

"Pikirkanlah, kalau Hana bilang sejal awal soal penyakit Taekwon, aku akan memaksanya berobat lebih sering. Aku akan mengatur hidupnya lebih baik. Aku akan bersiap lebih lama, tidak seperti ini." Lana menatapku lekat-lekat menyuarakan kekesalannya yang tertutup kabut kesedihan.

Aku tersenyum memahami maksud Lana. "Mereka hanya berjanji satu sama lain. Kau pikir aku tahu perihal penyakit Hana, kalau dia tidak hamil? Kau juga tahu cerita mereka. Taekwon takut kau tidak akan mencintainya seperti orang normal." Aku menggenggam kedua tangan Lana, "apa kau menyesal dipertemukan Taekwon?"

"Tidak. Aku menyesal terlambat menyadari bahwa dia sakit." Lana kembali menangisi penyesalannya. Aku meraih tubuhnya untuk kubawa dalam ke dalam pelukan, membiarkan perempuan ini mengeluarkan rasa sakit yang sudah ia tahan selama berbulan-bulan. Untuk malam ini, Lana harus melepaskan topeng yang selalu ia gunakan semenjak Ok Taekwon memutuskan menunjukkan kehidupan aslinya.

_______________________________________________________________

1. Aku sangat mencintaimu.