Apa yang harus aku katakan mengenai sosok Hana selain sifat aneh, gila, manja, dan penggila fashion? Baik? Aku merasa baik atau jahat hanya sebuah penilaian tak berdasar. Sebuah akal-akalan tidak masuk akal untuk mengenal seseorang hanya dari perilaku manusia yang bisa saja berubah karena keadaan. Cantik? Hana sangat-sangat berwajah Indonesia, berbeda dengan Park Seoga, kakak kandung hasil campuran darah ayah dan ibunya.
Kalau Seoga hyeong memiliki mata kecil cenderung sipit, Hana mampu mendelik dengan sempurna. Mata almond dengan bola mata coklat itu adalah bagian favoritku. Bulu matanya sedikit lentik. Alis tidak terlalu tebal ataupun tipis. Hidung bangir, pipi tembam meski berat badannya selalu stabil di angka 51. Tubuhnya bagiku cukup.. ah membicarakan tubuh, aku benar-benar terpesona saat pertama kali melihat tubuh polos Hana tanpa sehelai benang pun.
Tentu saja semua terjadi di kamar kamasutra kebanggaannya. Awal mula aku menemukan kamar itu karena tidak sengaja. Malam itu tanpa ada jejak keberadaan Lana dan Shin Hae, Hana menyuruhku mengambil foto album polaroid miliknya di kamar. Hana mempunyai kebiasaan membawa kamera polaroid lalu memotret apa pun yang menurutnya penting. Dan, perlu kutegaskan bahwa hari itu adalah pertama kalinya aku berkunjung ke apartemen Hana, sehingga aku tidak tahu letak setiap sudut apartemen. Percobaan pertama pun aku membuka kamar Shin Hae.
Saat pintu kedua kubuka, aku diam tak mampu menggerakkan sekujur tubuh saat melihat kamar yang di dominasi oleh warna merah menyala. Teriakan Hana menyadarkanku untuk bergerak masuk ke dalam kamar, mengamati sofa bulat besar yang aku tahu dapat berputar 360 derajat. Satu tempat tidur berukuran king size lengkap menggunakan sprei berbahan satin berwarna merah dan selimut tebal bercorak abstrak campuran hitam, pink, dan putih. Aku menyentuh sesuatu menggantung di atas tempat tidur, tersenyum puas menemukan perempuan yang ternyata…
"Kau…"
Aku menoleh melihat wajah Hana pucat seperti ketahuan mencuri berlian.
"Sebaiknya kau pulang." Hana membentuk gerakan untuk mengusirku. Aku tertawa kencang, menepuk sisi kasur yang sedang kududuki. Ia patuh mendekat lalu duduk bersisian bersamaku. "Kau pasti malu, mungkin setelah ini kau tidak mau lagi berhubungan denganku."
"Ani, nan joa(1)."
Hana mendelik melihatku. Ada keterkejutan dari sinar mata beningnya tapi beberapa detik kemudian sorot mata itu menjadi berbinar. Seperti menemukan potongan puzzle terakhir, Hana melonjak lalu tertawa sendiri. "Ini," Hana menunjuk gantungan aneh di atas tempat tidur yang tadi kusentuh. "Kau tau ini apa?"
Aku menyeringai, mengangguk cepat. Tanpa perlu aba-aba aku berceloteh tentang swing bed lengkap dengan perinciannya. Salah satu alat untuk memenuhi fantasi gairah pasangan sepertiku dan…Hana, mungkin?
Perempuan di depanku melongo, aku mengetuk dahinya dengan telunjuk agar tersadar dari rasa kagumnya. "Jadi ada apa dibalik lemari-lemari besar itu?" Aku menunjuk lemari kayu di sudut kamar. "Sudah lama membuat ini? Kenapa aku baru tau?"
Hana menarik tanganku mendekati salah satu lemari. "Jangan tertawa." Peringatan Hana hanya membuatku semakin penasaran ada apa di balik lemari ini. Tangan halus Hana menggeser pintu lemari secara mulus. Aku menggeleng tidak percaya melihat pemandangan di hadapanku. Semua alat pemuas nafsu lengkap berjejer dan secara apik Hana menatanya sesuai ukuran.
"Damn, Park Hana." Umpatanku bukan karena kesal, tapi tak sabar mencoba hal-hal berbahaya ini bersama Hana. Terlebih setelah melihat sisi lemari lainnya yang menampilkan berbagai macam bentuk dan warna lingerie. Sial, ke mana saja selama ini Hana bersembunyi.
"Seharusnya lebih masuk akal kamar ini disebut 'sex room' tapi aku lebih suka menamainya 'kamar kamasutra' terdengar lebih sopan, kan?"
"Sopan?" Dari sudut mana pun kata-kata untuk sex tidak akan terdengar sopan. "Pernah mencoba dengan mantanmu?"
Hana menggeleng, ia menarik salah satu lingerie keluar dari dalam lemari berwarna salem. "Ini lingerie yang pertama aku beli. Dulu kupikir akan terlihat menarik kalau kupakai sendiri. Ternyata tetap membutuhkan pasangan. Aku takut laki-laki akan mundur kalau tau ternyata otakku punya…" Kata-katanya terputus, ia hendak mengembalikan lingerie itu saat tanganku menahannya. Aku mengerti bahwa tidak mudah menyampaikan tentang perasaan mengenai segala hal fantasi liar di kepala kepada orang lain. Terutama kami orang Asia dan mengingat kultur keluarga Hana seperti apa.
Aku mendekatinya, merendahkan tubuh agar sejajar pada Hana. "Pakai, akan kuperhatikan setiap bentuk tubuhmu saat menggunakannya. Kau ingin mewujudkan fantasimu, bukan?" bisikku menggodanya. Bulu-bulu halus di sekitar leher Hana meremang. Hana menoleh, ujung hidung kami bergesekan. Aku menahan senyum, ingin sekali mencumbunya habis-habisan. "Aku kunci pintu kamar, bergantilah Park Hana."
"Junwoo-ya, kau tidak merasa aneh?"
Aku menaikkan satu alis, "Aneh? Untuk apa? Akhirnya aku menemukan perempuan yang bisa mengimbangi sisiku yang lain. Cepat ganti, Park Hana." Aku mulai terdengar mendesaknya.
"Tapi.."
"Hana!" Dan, entah mengapa aku mulai berhitung.
"Ya, Lee Junwoo!"
"Dul."
"Otak mesum."
"Set, kau mau aku gantikan?"
Hana berjalan cepat menuju kamar mandi. Aku tersenyum penuh kemenangan. Sungguh saat itu aku benar-benar memastikan Lana dan Shin Hae tidak akan menginjakkan kaki mereka ke apartemen. Tanganku begitu cepat menghubungi Taekwon dan Wooshik untuk menanyakan keberadaan dua perempuan tengil itu. Dan, beruntungnya Lana sedang menemani suaminya pergi ke luar kota dan Shin Hae masih berkutat bersama calon mertuanya.
Hana menyembulkan kepala dari kamar mandi, memastikan aku masih berada di dalam kamar. Aku menyuruhnya keluar agar bisa segera melihat Hana dengan…
"Ya Lee Junwoo!"
Aku mendengus kesal saat suara Shin Hae menganggu kenanganku. Aku membuka mata hanya untuk melihat Shin Hae berkacak pinggang menatapku.
"Kau pasti sedang membayangkan hal-hal kotormu bersama Hana. Ish, pergilah berkencan. Mau membiarkan milikmu berkarat?"
"Dakcheo Myeong Shin Hae(2)! Kau mau apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan dan pernyataannya.
"Jibe gaja(3), Lana menyuruhku untuk membawa Yi Eon ke apartemen. Besok siang ia akan menjemputnya." Shin Hae bersiap untuk mengangkat Yi Eon dari atas pahaku sampai aku bergerak menahan kedua tangan Shin Hae.
"Di apartemenku saja. Kalau ada barang-barang Yi Eon yang dibutuhkan, aku tinggal menyeberang. Lana bisa di sini dulu mengurus suami sirkusnya, ada Na Mi yang bisa menemani anak ini main."
"Ah manne(4)," Shin Hae menjentikkan jarinya. "Memang seharusnya dulu bersama Hana kau berdua berbuat seperti kelinci, selalu berkembang biak di mana pun dan kapan pun. Jangan hanya di kamar kamasutra. Na Mi setidaknya kembar, kalau kalian tidak menggunakan pengaman sejak awal."
Aku bukan marah tetapi tertawa mengikik, sahabat istriku ini tentu penasaran kenapa aku tertawa seperti kerasukan. Aku menyuruhnya duduk sebentar, mengatakan padanya bahwa apa yang ia ucapkan mengenai tanpa pengaman akan mendapatkan bayi kembar adalah sebuah pemikiran bodoh dan menceritakan apa yang Hana utarakan saat berbulan-bulan kemudian kami sering berkunjung ke kamar kamasutra.
***
Hana keluar dari kamar kamasutra-nya membawa tiga box pengaman yang sudah kosong. Hana boleh jadi terlihat sangat terbuka tentang semua hal yang berhubungan dengan sex tapi dia tetap malu setengah mati ketika tingkah lakunya terciduk orang-orang terdekatnya. Seperti saat ini, ketika ia ingin membuang tiga box kosong itu. Shin Hae dan Lana yang sedang mampir ke apartemen menggeleng tidak percaya.
"Gas terooooossss. Bujug bener tiga box! Pantesan pada abis di apotek, diembat dia semua, Lan!" Shin Hae menepuk meja dapur berkali-kali agar Lana menoleh.
"Tuman emg si Hana! Belon aja gue doain bocor tuh kondom." Lana menimpali sambil tetap sibuk dengan ponselnya.
"Kagak njir, ini beberapa udah kedaluwarsa. Gue lagi ganti yang baru buat ntar malem." Hana menginjak pedal tempat sampah lalu membuang box-box kosong di tangannya. "Amit-amit ya Lan, doa lo suka gak bagus."
"Doa orang teraniaya suka terkabul tau! Elu menganiaya kami dengan beli kondom gak kira-kira!" Shin Hae mencibir.
"Lagian lu keniatan amat sih beli segitu banyak? Emang sekali jalan berapa ronde ampe kudu ganti kondom banyak-banyak?" Lana menoleh sebentar lalu kembali berkelana bersama ponselnya.
"Hah emang lo masih pake kondom Shin? Gak diterabas aja itu biar jadi anak?" Hana merebut pretzel yang sedang dipegang Shin Hae. "Gini ya diumur gue yang udah menyentuh kepala tiga ini, setelah melewati hambatan dan rintangan dari tiga kakak plus lo pada, akhirnya gue menemukan laki-laki yang bisa memenuhi ekspektasi gue untuk mau make itu kamar dengan segala imajinasi. Lagian gak sampe pagi ketemu pagi yaaa, gue juga ada limit. Capek tau ngangkang mulu."
"Alaaahh alesan mulu capek ngangkang. Colek dikit juga ngangkang lagi." Shin Hae melengos. "Lu ngape sik sibuk mulu dari tadi, hapeeeeee mulu dikekep dari tadi. Pantes ye, kagak hamil-hamil lu. Dua-duanya workaholic." Shin Hae mulai kesal melihat tingkah pola Lana dari tadi. Mulutnya bergerak menyindir, kupingnya setajam pisau saat mendengar celotehan Hana dan Shin Hae tetapi mata dan tangan terpaku pada benda pipih di hadapannya.
"Dih, duit nih duit." Lana tak menggubris cibiran Shin Hae.
"Lu tau gak sih, Junwoo tuh..." Hana menghela napas panjang dengan tatapan berbinar, "Kalo orang Spanyol tuh punya istilah Spanish Fly, nah Junwoo tuh my Korean Fly. Efeknya sebadan-badan." Hana mengikik membayangkan malam-malam panas bersama kekasihnya. "Duit mulu lu, lakik lu udah tajir ya. Perlu buat apean sih?" Hana berpindah tempat untuk mengintip isi ponsel Lana.
"Fly, fly. Mabok mulu lu!" Shin Hae menoyor kepala Hana.
"Ihhhhh lu kalo ngomong gini berarti si Ujang gak kasih efek apa-apa sama lo," sindir Hana.
"Gue saking bergetar sama Ujang, sampe tidak bisa berkiti-kiti." Shin Hae membuka paper bag lain berisi pretzel cheese kesukaannya.
Lana mulai jengah ditatap terus menerus oleh Hana. "Niiihhh ah, kepoan bener. Kakak lu nih ngerjain gue mulu! Herman, kaga ada liburnya gue meladeni yang mulia Lee Dong Kook!" Lana menyodorkan ponselnya dengan tabel jadwal terbuka.
"Woelah diemin aje dia juga gak bisa gerak kalo lo gak ada. Emang tamu galeri rame banget?" Hana memperhatikan layar ponsel Lana yang penuh warna dengan jadwal.
"Gue mah heran, dia nyuruh gue nyusun jadwal, tapi dia suka tiba-tiba nyempilin temu si anulah, cancel si inilah. Ya bikin jadwal sendiri ajalah!" Lana akhirnya membanting pelan ponselnya ke atas meja lalu menikmati pretzel hasil buruan Shin Hae.
***
Shin Hae tertawa terpingkal-pingkal bersamaku setelah mendengar cerita singkat berawal dari pengaman menjadi pekerjaan Lana yang tiada hentinya bergema. Sudut mata kami sampai berair. Dulu aku tidak paham bahasa aneh mereka bertiga tetapi setelah diberitahu Hana aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa tiga perempuan absurd bisa bertemu dalam satu waktu dan memiliki sifat sama gilanya?
"Ahh aku merindukan masa itu. Lalu kesan pertamamu saat berhubungan dengan Hana?"
"Sempurna." Sungguh berkali-kali ditanya pun jawabannya akan sama. Malam itu ketika aku pertama kali melihat Hana mengenakan lingerie salemnya. Aku berusaha keras menelan saliva-ku. Kulit putih langsat itu terpampang mulus lengkap dengan badan berisi di bagian-bagian yang tepat.
Apa aku langsung menerjangnya kala itu? Aku langsung menyeretnya ke kasur, luapan gairah itu tidak dapat kutampung lagi. Tercengang sesaat, saat mengetahui Hana masih seorang gadis. Di saat perempuan lain sudah merelakan kehormatannya sejak bangku sekolah, perempuan yang berada di bawah kungkunganku memberikan malam pertamanya padaku di usia menginjak kepala tiga. Apa aku bersyukur karena pertama baginya? Sangat, karena setelah itu kami seperti candu satu sama lain. Seperti kata Shin Hae kami selalu menyatu selayaknya kelinci berkembang biak.
________________________________________________________________________
1. Tidak, aku suka.
2. Diam, Myeong Shin Hae.
3. Ayo pulang.
4. Ah benar.