Aku memeluk Na Mi erat, menenggelamkan tubuhnya ke dalam rengkuhanku. Sebelum bercerita, aku melihat Yi Eon mulai menunjukkan rengekan kelelahan pada Lana. Aku paham bagaimana reaksi balita di usia tiga tahun. Sudah mengerti apa yang mereka mau, untuk menunjukkannya mereka tidak segan untuk berteriak, dan menangis ketika apa yang mereka inginkan tidak tercapai.
Lana berusaha menenangkan, ia juga kelelahan menghadapi situasi saat ini. Dong Wook hyeong sudah berusaha mengambil Yi Eon dari pangkuan Lana tapi anak itu berontak ingin bersama ibunya. Tangisannya makin kencang. Lawakan Wooshik dan bujuk rayu Shin Hae pun tidak mempan. Yi Eon semakin merapatkan pelukannya pada Lana dan menangis sejadi-jadinya.
Aku menatap Na Mi yang melihatku, ia menunggu aku bersuara untuk menceritakan tentang dirinya dan Yi Eon. Seolah tidak peduli akan kegaduhan di dekatnya, ia mulai menunjukkan ekspresi menuntut. Kubelai rambut panjangnya, "Appa akan cerita Na Mi-ya tapi bagaimana kalau bersama Yi Eon di sofa ruang tunggu sebelah sana?" Aku menunjuk ruang tunggu lain yang memiliki sofa panjang.
Ingin sekali aku memberikan ciuman bertubi-tubi pada anakku setelah ia mengangguk dan rela berjalan mengikutiku saat aku mendekati Yi Eon lalu membujuknya untuk ikut bersamaku. "Yi Eon-ah, samcheon punya susu pisang. Mau meminumnya bersama Na Mi? Nanti samcheon berikan dua padamu."
Ajaibnya, anak itu berhenti menangis. Ia melihatku dengan sepasang bola mata bening nan teduh. Perlahan ia turun dari pangkuan Lana lalu menyambar tangan kananku. Bisa kulihat Lana mengucapkan terima kasih tanpa suara. Aku mengangguk lalu berjalan menggandeng dua bocah di samping kiri dan kananku.
Aku menyuruh anak-anak itu duduk tenang di sofa sementara aku berlalu menuju mesin minuman yang terletak tak jauh dari ruang tunggu. Berdoa semoga benar ada susu pisang. Kalau tidak, entah apalagi yang harus aku lakukan pada Yi Eon agar anak itu tidak menghampiri Lana terlebih dahulu. Beruntung malam ini Tuhan Maha Baik dengan menyisakan tiga susu pisang di dalam mesin. Segera aku memborong ketiganya dan menyerahkan dua sekaligus pada Yi Eon dan satu untuk Na Mi.
Na Mi tidak cemburu, karena biasanya malam hari tidak pernah kuperbolehkan meminum manis. Jadi, kalau hari ini kuizinkan, berarti suatu kemewahan untuknya. Aku duduk di tengah, menarik kedua anak yang sedang menikmati susunya lebih mendekat padaku. Lalu membuka kembali memori tahun-tahun sebelum malam ini ada.
Kehamilan Lana disambut suka cita oleh banyak orang, tak terkecuali ketiga kakak Hana. Berita itu terlalu cepat menyebar. Apartemen pasangan gila itu selalu ramai dikunjungi. Apakah aku iri? Sedikit, karena ketika Hana dulu mengumumkan tentang berita kehamilannya, tidak ada suka cita. Tamparan dan cacian adalah respon pertama yang diberikan keluarganya padaku dan Hana. Malu. Iya, mereka malu karena Hana hamil anakku saat itu.
Aku tidak menyesal sedikit pun Hana mengandung anakku. Karena Na Mi tetap menjadi anak yang selalu disayang dan selalu berakhir menjadi rebutan ketika ketiga kakak Hana bermain ke apartemen, menentukan hari itu Na Mi akan menginap di tempat siapa. Apa keadaan membaik antara aku dan ketiga kakak Hana? Tidak juga, masih sama seperti tahun sebelumnya. Hanya saja mereka tidak menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaan mereka padaku karena merasa Na Mi sudah bisa melihat mana yang benar, mana yang salah.
"Na Mi masih suka kau bawa ke kantor?" Joong Gi hyeong bertanya sembari menyuapkan sesendok melon pada Na Mi.
"Tidak sesering dulu."
"Wae?" Kali ini Seoga hyeong bersuara.
"Aku menitipkan pada Lana."
"Ya, Lana punya kehidupan Lee Junwoo. Dia juga sedang hamil, kenapa tidak menitipkan pada kami atau kau sewa pengasuh. Jangan menyusahkan Lana, aku saja sudah mengurangi jam kerjanya." Tentu saja suara ini berasal dari Dong Kook hyeong. Selayaknya ia menjaga Hana, manusia ini terlalu overprotektif pada Lana.
"Ne, akan aku pertimbangkan untuk menyewa seorang pengasuh." Aku tidak akan membantah, percuma. Di hadapan mereka aku hanya laki-laki yang tidak memiliki tanggung jawab pada anakku. Tidak apa, mungkin kenyataannya seperti itu.
Namun, sesering apa pun aku menghindar dan menolak bantuan Lana, perempuan itu entah kerasukan apa selalu menawarkan diri untuk menjaga Na Mi di kala aku sedang sibuk atau memang benar-benar harus ke kantor tanpa bisa membawa Na Mi. Aku selalu beralasan akan menitipkan anakku pada keluargaku atau keluarga Hana, tapi Lana seperti bisa mengendus kebohongan. Ia tetap memaksa dan tidak jarang mengeluarkan senjata pamungkas, akan membocorkan segala rahasiaku dengan Hana pada keluargaku. Itu berhasil karena terlalu banyak aib yang tidak pernah aku ceritakan pada keluargaku, perihal gaya berpacaranku dengan Hana dulu.
Aku pernah bertanya pada Lana kenapa ia selalu sukarela membantuku sedangkan ia sendiri sudah mulai punya kehidupan baru bersama Taekwon. Bukankah ia juga masih bekerja pada Dong Kook hyeong, kenapa mudah sekali menawarkan bantuan?
"Berlatih Lee Junwoo, aku mempersiapkan diri sebelum anak ini lahir." Ia menunjuk perutnya yang mulai membesar. "Lagipula Na Mi anak baik, tidak pernah merepotkanku. Di galeri, Dong Kook oppa juga senang ada Na Mi, kami bisa bergantian menjaganya. Di apartemen, si badut senang ada manusia yang selalu menertawakan kekonyolannya."
Entah kebaikan apa yang Hana atau aku lakukan di masa lalu sampai urusan menjaga Na Mi banyak sekali yang mengulurkan bantuan.
Berita menghebohkan terjadi beberapa bulan kemudian. Di saat aku sedang bersantai di apartemen sambil bermain bersama Na Mi, ponselku berdering berkali-kali. Aku sempat mengernyit kebingungan. Untuk apa Lana menghubungiku kalau jarak unit kami hanya 100 meter?
"Bukankah kau tinggal…"
"YA LEE JUNWOO KETUBANKU PECAH!!! CEPAT KEMARI DAN ANTAR AKU KE RUMAH SAKIT SEKARANG!!!" Sambungan telepon diputuskan secara sepihak.
Aku cuma bisa terdiam mendengar teriakan Lana, otakku memproses sangat lama sampai ponselku bergetar memunculkan nama Ok Taekwon.
"Lee Junwoo bantu Lana sekarang! Aku baru selesai rapat dan segera ke rumah sakit. Jangan sampai istriku lecet, apalagi sampai melahirkan di mobilmu." Aku masih menganga lebar, manusia macam apa di hari Minggu masih sibuk bekerja. Saat tanganku mulai bergerak untuk menggendong Na Mi suara Taekwon kembali terdengar. "Junho-ya."
"Eo?"
"Aku percaya padamu, jangan melanggar lalu lintas."
Sial, kepercayaan diriku menyetir mendadak sirna berkat perkataan Taekwon. Aku berjalan menuju unit apartemen Lana dengan langkah gontai. Mampukah aku membawa Lana ke rumah sakit tanpa membuat perempuan itu terluka atau menyusul sahabatnya?
Aku mengangkat Na Mi agar bisa melihat sosok bayi merah di dalam balutan kain biru namun dilapisi kembali dengan selimut krem bermotif kereta api dan mobil-mobil berkayu. Berbeda sekali seorang Lana dengan Hana. Kalau Hana waktu itu masih bisa melihat Na Mi, aku yakin Na Mi tidak menggunakan pernak-pernik dari rumah sakit. Ia akan mendandani Na Mi seperti model pemotretan.
"Appa," Aku tau Na Mi ingin mengekspresikan bahwa bayi di depan matanya sangat lucu tapi masih terbatas untuk mengucapkan secara panjang lebar.
"Eo, lucu. Tapi Appa takut sifatnya seperti Appa-nya." Kekehanku tidak salah, anak laki-laki Lana dan Taekwon mirip sekali dengan ayahnya. Aku sampai bingung di mana letak seorang Lana pada bayi ini.
"Omo, lihat bayi mungil itu. Tampan sekali seperti aku." Taekwon tiba-tiba ada di sampingku, "Kasihan Lana, akan punya dua anak laki-laki mulai hari ini."
"Kkamjjagiya." Nyaris aku menjatuhkan Na Mi, "aish, kenapa kau berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan sangat cepat." Seingatku tadi laki-laki ini masih duduk di sudut ranjang. Aku menurunkan Na Mi dan menarik kursi, menaikkannya agar bisa terus melihat bayi Yi Eon. "Kelana selamat, sebentar lagi kau akan menyusui dua bayi, mengganti popok dua bayi, dan sebentar, apa Taek hyeong masih suka dipakaikan baju olehmu, heh?"
"Eo, dangyeonhaji. Memakaikan bajunya, menyisiri rambutnya, menepuknya saat tidur malam. Aish merepotkan." Lana mencibir. Luka bekas operasi sesar yang terpaksa ia lakukan karena pembukaannya tidak bergerak maju sejak ia sampai dengan selamat di rumah sakit, tidak menyurutkan niatnya untuk bergerak turun dari ranjang dan mendekat ke arah box bayi.
"Ya, aku akan membantumu mengurus Yi Eon. Jadi kau tetap bisa mengurusiku." Taekwon menyampirkan sebelah tangannya ke bahu Lana.
"Ya Hyeong, aku rasa lebih merepotkan mengurusmu daripada Yi Eon. Haaa setelah ini aku menitipkan Na Mi pada siapa? Kalian pasti repot." Belum apa-apa aku sudah mengeluh dengan nasib Na Mi. Pada siapa akan aku titipkan selain dengan pasangan gila ini?
"Wooshik dan Shin Hae pasti lebih repot lagi." Taekwon mengedikkan bahunya. "Tak berniat menyewa pengasuh? Siapa tau pengasuhnya cantik dan cocok denganmu." Tanpa aba-aba tangan Lana mampir ke kepala Taekwon untuk memukul suaminya. Aku terkekeh, merasa ada yang membela.
"Mereka sudah punya dua pengasuh. Tidak akan pernah repot bagi mereka." Aku membungkuk terima kasih pada Lana. "Kalau pengasuh Na Mi ada yang mirip dengan Hana sampai sifat-sifatnya, sungguh aku akan membuka lebar pintu masuk apartemen. Kau punya kenalan seperti itu, Hyeong?
"Aish hati-hati bicaramu, Lee Junwoo!" Lana mencubit lenganku kencang. Aku meringis. Baik Hana, maupun Lana, mempunyai kekuatan untuk membuat kami, para kaum laki-laki, tunduk menggunakan kekerasaan mereka. "Sudahlah, Na Mi tak pernah merepotkan. Lagipula, Yi Eon akan di-handle oleh Taekwonie kesayanganku. Benar begitu, kan?" Anggukan kepala Taekwon membuatku bernapas lega. Aku tau, memang takdir sengaja mempertemukan aku dengan manusia-manusia konyol yang tetap mempunyai hati sebaik malaikat. Tidak, aku tidak akan mengatakan hal itu di depan mereka. Karena sudah dapat dipastikan, wajah tersipu malu yang menggelikan dengan kesombongan level dewa akan diperlihatkan di depan wajahku.
Aku menyandarkan kepala, menghentikan cerita tentang kelahiran Yi Eon. Jam rumah sakit mulai berdetak ke arah jam 11 malam. Dua balita tertidur pulas di masing-masing pahaku. Aku tersenyum, inikah rasanya memiliki dua anak? Bagaimana rupa anak keduaku kalau Hana masih hidup? Mungkinkah Tuhan berbaik hati membiarkan anak itu memiliki rupa sepertiku? Aku kembali mengekeh sendiri ketika memori perjalananku bersama Hana dalam proses membuat Na Mi muncul secara tiba-tiba. "Maafkan Appa Na Mi-ya, biarkan Appa bernostalgia tentang eommamu sebentar."