Chereads / One Time (Time Traveler) / Chapter 21 - Another Story from Ok Taekwon

Chapter 21 - Another Story from Ok Taekwon

Aku ingat satu setengah tahun setelah kepergiaan Hana, Wooshik meneleponku agar datang ke apartemennya. Sungguh berkumpul bersama Haneul dan teman-temanku yang lain saja sudah sangat jarang kulakukan tetapi aku tidak bisa mengatakan tidak pada empat manusia yang sudah banyak membantuku mengurus Na Mi secara bergantian.

Tepat pukul tujuh malam aku memencet tombol bel yang berada dekat di pintu masuk unit apartemen Wooshik dan Shin Hae. Wooshik menyambutku yang datang dengan membawakan buah tangan hasil pesanan nyonya Shin Hae yang terhormat sebelum aku berangkat ke apartemen mereka. Kalau bukan karena manusia-manusia ini, lebih baik malam minggu aku bersantai di apartemen dibandingkan harus merasakan padat merayapnya kota Seoul hanya untuk bertandang ke apartemen Wooshik dan Shin Hae. "Jadi ada perayaan apa ini?" Aku bertanya setelah melihat kehadiran Lana dan Taekwon di ruang tamu.

"Lee Junwoo, tidak ingat hari ini istri tercintaku ulang tahun?" Wooshik menepuk punggungku kencang, aku meringis, bukan karena kesal tapi apa dia tidak melihat aku sedang menggendong Na Mi?

"Ah matta, saengil chukae Shin Hae-ya. Sudah meminta anak kedua dari suamimu?" Aku tersenyum ramah sekaligus menggoda sambil memandang perut besar Shin Hae.

"Ya, ya, apa kau tak tahu perutku isinya langsung dua, hah?" Shin Hae menepuk perutnya. "Tanya dia, kapan dia akan punya anak." Shin Hae mengedikkan dagunya ke arah Lana.

"Dua? Kalian akan punya anak kembar?" Ok salahkan aku tidak pernah mengupdate dunia sosialku sampai berita kehamilan Shin Hae pun terdengar mengejutkan. Memang dibandingkan melihat perut Hana dulu, perut Shin Hae yang baru memasuki usia kandungan 17 minggu jauh lebih besar. Eh 17 minggu bukan? Aku tidak pernah bertanya pada Wooshik, ia selalu memberikan kabar padaku dan Haneul tapi sepertinya berita ia akan memiliki anak kembar dibiarkan hingga kami tau dengan sendirinya.

"Ish, punya anak bukan berarti berhenti party Lee Junwoo." Lagi dan lagi Wooshik menepuk punggungku. "Ah tapi benar. Kau, kapan Hyeong menyusul kami?" Wooshik sekarang memutar tubuhnya untuk bertanya pada Taekwon.

Lana dan Taekwon saling tatap, "segera," Lana mengikik. Tangan besar Taekwon merengkuh lengan istrinya begitu dalam. Ia menyalurkan kasih sayang itu penuh damba. Ah, sejak lama aku iri melihat pasangan ini. Tanpa banyak bicara, Lana dan Taekwon bisa menyampaikan apa yang mereka rasakan satu sama lain melalui sentuhan.

"Na Mi kurang untuk memancing? Aku tidak masalah kalau hari ini Na Mi menginap di apartemen kalian," ujarku dengan cengiran lebar dan membuka tali gendongan untuk menyerahkan bayi satu tahun lebih ini ke pasangan di hadapanku.

"Ani, kami akan 'segera' punya anak kami sendiri." Kali ini Taekwon yang mengikik. Aku memincingkan mata, kenapa Taekwon puas sekali saat menekankan kata 'segera'. Saat otakku sedang memproses dan menemukan senyuman penuh arti dari bibir Taekwon dan Lana. Mulutku tidak jadi bergerak untuk mengatakan sesuatu karena dua manusia yang tidak peka.

"Jamkkaman bicaramu mulai aneh Hyeong." Aku ingin sekali memukul kepala Wooshik, kenapa ia tidak menangkap maksud nada bicara manusia yang sudah menunjukkan cengiran sebegitu lebarnya.

"Segera? Segera apa? Segera buat? Segera ada? Ini apean sih, Lan? Helah bikin pusing aja lu pake teka-teki." Aku menghela napas panjang, 11 12 sekali sifat suami istri ini.

Aku benar-benar memukul kepala Wooshik sekarang dan menepuk punggung Shin Hae, "Aku ingin loncat bahagia tapi takut membuat kalian terlihat seperti orang bodoh. Their pregnant, right?" Aku menatap dua pasangan suami istri di depan kami.

"Hahaha. Yaaa, sembilan bulan lagi akan ada bayi." Lana mengerlingkan matanya, nampaknya dia juga sebal karena ada dua manusia yang tidak segera menangkap perkataannya dan Taekwon dari tadi.

"Gerombolan ini akan semakin ramai." Taekwon menimpali.

Satu detik, dua detik sampai semuanya saling menimpali dan berpelukan penuh suka cita. Aku turut mengucapkan selamat dan memeluk Lana serta Taekwon secara bergantian. Namun, berita kebahagiaan berganti menjadi menyedihkan untukku. Gerombolan kata Taekwon? Aku ingin kembali berhitung jumlah orang dewasa yang berada di ruangan ini. Benar hanya lima, masih sama seperti satu setengah tahun yang lalu. Hana tidak dapat kumasukan ke dalam hitungan berita bahagia ini. Senyumanku menjadi getir, oksigen di ruangan tamu mendadak hilang.

Aku membiarkan Na Mi berada di dalam gendongan Lana, sementara langkah selanjutnya mengantarkanku ke arah balkon apartemen. Sejenak aku melihat ke dalam, semuanya berpasangan. Berbagi rasa cinta dan kasih pada pasangan masing-masing, menanti kelahiran buah hati yang bersiap untuk meramaikan suasana saat kami berkumpul lagi nanti. Iya gerombolan ini semakin besar, tapi Hana-ku tidak ada, aku sendiri sekarang.

Pemandangan kota Seoul dengan lampu berkedip indah tidak bisa membuatku menghilangkan kenyataan, bahwa luka kehilangan ini tidak pernah kering, kembali basah saat orang lain disekitarku meneguk kebahagiaan. Aku cemburu karena tidak bisa lagi mencicipi kegembiraan seperti sedia kala. Ya Tuhan Hana, sedang tertawa senangkah kau di atas sana melihatku nelangsa seperti ini?

"Mencari udara segar, eh? Terlalu banyak berita juga membuatmu sesak?" Tepukan halus di pundakku menyadarkan saraf-saraf di sekujur tubuh untuk merespon kembali masuk ke dalam gelembung kebahagiaan saat itu.

"Ani, aku bahagia Hyeong. Jinjja haengbokhae untuk kalian berdua. Geunde, kupikir setelah satu tahun berlalu akan ada perubahan, ternyata masih sama." Aku masih berjalan di atas kesedihan yang sama Hana. Aku merindukanmu, setiap saat, setiap hari hati ini masih menyebut namamu agar bisa kembali.

"Apa yang sama? Perubahan seperti apa yang kau inginkan? Lana berubah, dia akan punya anak. Kami, maksudku. Kau berubah, sekarang bisa menangani Na Mi sendirian." Kulirikkan mata ini ke samping. Taekwon berbicara tapi tidak melihatku, tatapannya sendu ke arah pemandangan kota. Sebentar, dia terbawa suasanaku atau terlalu bahagia sampai terlihat menyedihkan?

Aku tidak tau harus mengeluarkan sesak ini seperti apalagi, sudah banyak kulakukan agar tidak kembali di luka yang sama. "Mungkin...mungkin kalau aku tidak panik malam itu, kalau aku mendengarkan Hana." Sial, sesak ini tidak pernah hilang meski sedang ada berita bahagia disekitarku. "Kau tau mengurus Na Mi sendiri, menjadi orang tua tunggal membuatku ingin melompati waktu kembali ke masa lalu, membiarkan Hana hidup lebih lama untuk mengurus anaknya."

"Aku jadi berpikir, bagaimana jadinya Lana kalau aku tak ada. Apa kalian akan saling membantu mengurusi anak satu sama lain?" Taekwon tertawa geli, sekarang netra hitam itu baru melihatku.

Aku mendelik mendengar pertanyaan Taekwon, "Ya, apa yang kau bicarakan? Kau akan hidup lama dan membantu Lana mengurus anak kalian. Aku berutang budi banyak pada kalian berdua, setiap ada waktu, kau dan Lana selalu membantuku untuk mengurus Na Mi. Jangan mengatakan hal aneh-aneh, Hyeong."

"Ckck.. hidup adalah misteri, Junwoo-ya. Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi besok."

"Memang kau mau cepat mati?" Ia ingin menyusul perempuan yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri?

"Bagaimana kalau aku tidak mau tapi takdir mengharuskan begitu?" Hening melingkupi kami beberapa saat. "Yang jelas, kalau aku tak ada, akan kutitipkan istri dan anakku pada kalian semua."

"Hyeong, gwaenchana? Kenapa bicaramu...ani kau baik-baik saja." Mengusir semua hawa-hawa aneh nan menyedihkan pada saat itu terlihat sulit. Kenapa selalu ada kesedihan dibalik kebahagiaan, Hana?

"Gwaenchana. Ayolah masuk." Kalau aku menolak sudah pasti tangan kekar Ok Taekwon akan menyeretku. Jadi, dengan setengah hati aku menurut. Malam itu aku habiskan untuk berpura-pura tertawa, ikut saling sindir agar tidak kutunjukkan kemelut awan hitam yang dari tadi sudah mengerubungiku. Mungkin ini salah satu alasan mengapa aku jarang berkumpul seperti dulu, selalu ada rasa sepi menyelimuti tapi tak ingin kuperlihatkan secara jelas. Di apartemen memang jauh lebih hening tetapi aku bebas mengekspresikan kesepianku.

Sebelum pulang, Taekwon mengajakku esok hari untuk pergi ke tempat peristirahatan Hana. Aku mengangguk setuju, paham bahwa mereka ingin berbagi berita suka cita ini pada istriku. Aku berdoa semoga hati ini sudah lebih baik. Aku selalu berjanji pada Hana, setiap datang mengunjunginya, hati yang sedih harus ditinggalkan karena aku tau di sana ia ingin mendengar aku tertawa secara sungguh-sungguh bukan dalam bentuk muka dua yang selama ini kuperankan demi tidak menimbulkan kekhawatiran.

"Han sohib lu akhirnya hamil nih." Itu adalah ucapan Shin Hae saat ia berjalan mendekati marmer dingin, tempat Hana-ku beristirahat, "Gue pikir kecebong Taek gak sanggup nerobos rahimnya si Lana." Bisikan Shin Hae terlalu kencang. Aku bahkan sampai menutup mulut agar tidak ada ledakan tawa yang keluar. Ck, aku lupa bercerita. Setelah berkali-kali Hana selalu memergokiku kebingungan ketika menemaninya berkumpul bersama Shin Hae dan Lana. Ia akhirnya memberikan les dadakan padaku tentang bahasa Indonesia. Tidak sekali, dua kali, hampir setiap hari ia selalu mengajariku. Ucapan-ucapan aneh yang sering tiga sahabat itu lontarkan juga menjadi bahan pelajaran.

"Anjir lu, cebong lah!" Lana melotot. "Sosis bratwurst noh, biar kebayang lu tiap makan sosis!"

"Bangcat punya Ujang gak segede ituh." Aku mengekeh menyamarkan tawa tertahan. Pandanganku otomatis melihat Wooyoung. Argh, Hana apa kau tertawa di atas sana? Sungguh ini lucu, terima kasih sudah mengajari bahasa planetmu.

"Ya Lee Junwoo, wae???" Wooshik menatapku heran. Ia seperti meminta bantuan untuk menerjemahkan apa yang dikatakan oleh istrinya dan Lana.

"Aniya, tanyakan pada istrimu. Ya Jagiya, ada berita penting dari sahabat gilamu." Aku berteriak, biarkan kalau ada peziarah lain melihat. Aku ingin meluapkan kesenangan. Lihat, aku selalu menjadi lebih baik saat berada di dekatmu Hana.

"Pesut, lagi ngapain lu?" Lana berdiri di depan marmer tinggi, bergantian dengan Shin Hae. "Gila lu, hamil juga gue akhirnya. Dasar si Tiway nggak inget kondom emang."

"Sengaja, tapi gue rasa sohib lu nih demen aja dikeluarin di dalem." Shin Hae memutar tubuhnya ke arah Taekwon, "Kau senang juga kan Oppa, saat sengaja melepas pengamanmu?"

"Sshhtt jangan bocorkan kalau aku sengaja!" Taekwon menempelkan telunjuknya di bibir, pura-pura berbisik seolah tak ingin rencana licik untuk membuahi Lana diketahui banyak orang.

"Ya, ya!" Lana melotot tidak lagi fokus untuk berbicara di depan marmer.

"Paling tidak kau tidak akan sendirian saat nanti aku tak ada..." Taekwon mendekati Lana. "Dalam perjalanan bisnis."

Entah hanya aku atau memang ekspresi Lana berubah tajam bercampur bingung dengan ucapan Taekwon. Sekitar dua detik tatapan itu dilayangkan tapi mendadak raut wajahnya kembali normal. Mencurigakan tapi aku tak mau mengonfirmasi apa pun.

"Mampus! Hamil bakal ditinggal lu. Lakik lu main cewe ntar, lu makin bengkak di apartemen." Shin Hae menimpali ucapan Taekwon.

"Sialan lu!" Lana menjitak Shin Hae. "Lihat saja, aku akan mengikutimu terus seperti hantu!" Lana lalu menunjuk wajah Taekwon, memberikan ancaman nyata.

"Ara." Taekwon mengusap kepala Lana. "Ya, Park Hana, sepertinya kau kerasan di sana, ya? Tak pernah sekali pun datang dalam mimpiku, eh? Jangan bilang kau bertemu arwah lain lalu punya sahabat baru!" Taekwon sedikit meninggikan suaranya, aku tau kedekatan mereka sebelum gerombolan ini ada. Ingin kukoreksi penuturan Taekwon, sahabat? Tidak kalian lebih condong seperti adik-kakak yang sering bergelut satu sama lain. Layaknya Hana dengan Dong Wook hyeong. "Aku tak tau, tapi bukankah harusnya kau tidak bisa bereinkarnasi kalau urusanmu belum selesai? Urusanmu kan banyak yang belum selesai, Hana-ya. Apa kau ada di sekitar sini? Apa kau masih bisa melihat kami? Apa kau tau bagaimana Na Mi tumbuh dengan baik?"

Sejenak setelah ucapan Taekwon, suasana berubah menjadi muram. Hening menaungi kami berlima. Tidak, ini tidak seharusnya menjadi suasana menyedihkan. Kami berkumpul agar hitungan untuk berbagi kebahagiaan ada Hana di dalamnya. Bukan ini yang kuinginkan saat menengok Hana.

Seperti ingin mendukung suasana, Na Mi yang baru lancar berjalan melepaskan peganganku lalu berjalan ke arah Taekwon. Aku membiarkan tangan kecil itu menarik celana panjang Taekwon. "Samcheon," Na Mi kala itu meminta Taekwon untuk menggendongnya. Apa yang dirasakan oleh anakku? Ia seperti menyadari sesuatu yang luput dari pandangan kami semua.

Taekwon membuka tangannya dan mengangkat Na Mi ke dalam gendongannya. "Hana-ya, apa akan baik-baik saja kalau anakku nanti dekat dengan Junwoo seperti ini?"

"Hyeong ada apa denganmu hari ini, heh?" Pertanyaan Wooyoung mewakili perasaanku. Cukup aneh melihat laki-laki yang biasanya berkelakuan sinting, mendadak melodrama sejak kemarin malam.

"Samcheon…eomma." Na Mi menepuk pundak Taekwon agar melihat arah tunjuknya yang tertuju padaku. "Eomma." Butuh beberapa detik sebelum akhirnya aku sadar Na Mi mulai menangis dipelukan Taekwon. Na Mi menangis? Ia tidak pernah meneteskan setitik air mata pun setiap kami kesini. Eomma katanya? Hana ada di sampingku? Otomatis aku menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, mencari tanda-tanda keberadaan istriku. Kosong, aku hanya melihat wilayah makam ini masih sama seperti beberapa detik yang lalu. Kau memberikan tanda apa Jagiya pada anakmu?

"Gwaenchana, Nami-ya. Samcheon akan sampaikan kalau kau tumbuh menjadi anak yang manis, yang selalu merindukan eomma." Wajahku menegang sekarang mendengar setiap untaian kata dari mulut Taekwon. Ia berbicara seakan-akan bertemu Hana sebentar lagi. Aku melihat wajah Lana, Shin Hae, dan Wooshik. Ada gerutan kesedihan tapi datar menanggapi kalimat berbaris yang baru saja diucapkan manusia di depan mereka.

"Kau dengar, Hana? Na Mi sangat manis dan selalu merindukanmu. Begitu pula kami semua di sini." Pelukan Taekwon pada Na Mi mengencang, diciumi kepala anakku penuh kasih sayang. Tatapannya berpindah pada Lana yang berair mata, tangannya terulur untuk mengusap pucuk kepala istrinya.

"Ya, ya, janjiku tak menangis bisa gugur hari ini karena kelakuanmu." Lana menepuk lengan Taekwon yang hanya dibalas senyuman. Tunggu ini aneh, banyak pertanyaan membanjiri setiap sel otakku. Benang kusut ini akan bermuara ke mana? Dan, untuk sepersekian detik entah alam yang menyampaikan atau memang Hana benar-benar ada di sampingku. Sayup-sayup bersamaan angin berembus menyentuh kulit pipiku, suara yang kukenal berbisik.

"Seru sekali melihat kalian ada di sini. Terima kasih sudah menjaga Na Mi Jagiya, tolong bantu Lana setelah ini. Aku rindu sekali pada kalian."

Aku diam. Di ruang tunggu rumah sakit, di depan kamar rawat inap Ok Taekwon nyaris empat tahun kemudian. Ingatan kejadian di apartemen Wooshik dan makam Hana menjadi tabir pembuka semua pertanyaanku.

Semua akhirnya terjawab. Pembicaraan aneh Taekwon dan tangisan Na Mi aku temukan malam ini.

Aku membawa anakku ke dalam pangkuan, mengelus kepalanya lembut. Tidak ada air mata yang kusembunyikan.

"Setelah ini Appa ceritakan hari kelahiran Yi Eon dan hari-hari membahagiakan saat kau hadir Na Mi-ya. Mau berjanji dengan Appa?"

"Janji?" Tangan halus kecilnya menyentuh sudut mataku, berusaha mengerti apa arti air mata yang kukeluarkan.

"Kita bantu bulik Lana dan Yi Eon supaya tidak kesepian dan tertawa seperti biasanya, aratchi?"

Anggukkan Na Mi menjadi janjiku pada Hana untuk membantu Lana melewati lorong-lorong gelap yang mulai menghampirinya.